Ruwat (Desa), Menjalani Islam Itu Sendiri
Satu kesempatan Sinau Bareng tak jarang merupakan pendalaman dari Sinau Bareng sebelumnya, terlebih karena ada kesamaan tema. Seperti Sinau Bareng tadi malam di lapangan Desa Sima Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Pemerintah Desa Sima sedang menyelenggarakan rangkaian kegiatan Ruwat Bumi Desa Sima yang dipuncaki dengan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Tema Sinau Bareng di Lapangan Desa Sima ini sama dengan tema Sinau Bareng sebelumnya pada tiga hari lalu (25/08/22) di Lapangan Desa Tambak Oso Waru Sidoarjo Jawa Timur, lebih dari 500 kilometer jaraknya dari Desa Sima Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang ini, yaitu Ruwat Desa atau Ruwat Bumi.
Melalui metode workshop tiga kelompok Jamaah yang diminta menjawab soal yang diajukan Mbah Nun, para jamaah diajak menelaah apa dan bagaimana memahami kegiatan Ruwat Desa atau Ruwat Bumi. Ini salah satunya dikarenakan kadang ada yang berpendapat tradisi Ruwat Desa adalah sesuatu yang bid’ah. Semetara dari pendalaman semalam, Ruwat Desa dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan anugerah kepada masyarakat desa. Seperti tercermin dalam agenda Ruwat Bumi Desa Sima itu sendiri. Pagi hari sebelum Sinau Bareng warga mengadakan arak-arakan hasil Bumi sebagai tanda mereka bersyukur atas anugerah yang Allah berikan melalui Bumi di Sima ini.
Ketiga kelompok workshop juga memiliki pandangan yang sama bahwa Ruwat Desa adalah ungkapan rasa syukur atas anugerah yang diterima dari Allah. Ruwatan merupakan kegiatan membersihkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh Allah. Ruwatan adalah doa agar kita dihindarkan dari hal-hal yang negatif serta agar kita dapat hidup aman, tenteram, dan nyaman. Sebagai tradisi yang baik, ketiga kelompok juga sepakat bahwa Ruwatan perlu dilestarikan dan bukan merupakan bid’ah yang buruk.
Dalam proses merefleksikan Ruwat Bumi atau Ruwat Desa, Pak Lurah Sima Arif Nafan Lubis–akrab disapa Mas Aan – menambahkan bahwa ruwatan juga mengalami pergeseran atau evolusi makna. Dulu ruwatan identik dengan adanya peristiwa wabah seperti gagal panen dlsb sehingga masyarakat mengadakan acara Ruwatan. Seiring perkembangan zaman, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, kebutuhan akan Ruwatan akan mencakup bagaimana kita menyikapi informasi-informasi yang berkembang. Itulah sebabnya, menurut Mas Aan, Ruwatan Bumi di Desa Sima memerlukan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Dalam salah satu respons yang diberikan kepada tiga kelompok ini, Mbah Nun juga menerangkan bahwa dalam pengertian sehari-hari Ruwatan identik dengan “buang sial”. Di sini Ruwatan merupakan proses menelusuri diri secara introspektif mengapa kita mengalami sial. Mungkin karena banyak bermaksiat. Mungkin kurang bersyukur. Dari sini Ruwat berarti membuang perilaku buruk sehingga harapannya “sial” yang ada tersebut dibuang oleh Allah dari diri kita.
Sesudah mengajak anak-cucu jamaah Maiyah menyelami dunia batin orang Jawa dalam menjalani ruwatan sebagai rasa syukur atas anugerah Allah, wujud doa agar dihindarkan dari hal-hal negatif, serta keinginan untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, maka menurut Mbah Nun, Ruwat Desa atau Ruwat Bumi adalah menjalani Islam itu sendiri sebab Islam mengajarkan untuk bersyukur, mengajarkan berdoa, dan mengajarkan membersihkan atau memperbaiki diri (ishlah).