CakNun.com

Ruwat (Desa), Lebih Mendalam dari Me-Rawat

Liputan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Lapangan Desa Tambak Oso Waru Sidoarjo, Kamis, 25 Agustus 2022
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 6 menit

Bagaimana dengan teman-teman muda-mudi, bapak-bapak dan ibu-ibu warga Tambak Oso yang menjadi panitia? Sangat terasa mereka senang (bangga) dengan kehadiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng di mana acara berlangsung penuh isi, makna, dan kegembiraan. Mereka terharu bisa menjadi tuan rumah bagi ribuan orang yang hadir dalam Sinau Bareng tadi malam.

Menurut Mbah Nun “ruwat” adalah tindakan dan laku yang lebih mendalam daripada “rawat”.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Usai acara, ketika KiaiKanjeng telah dipersiapkan jamuan makan, mereka melayani dengan sebaik-baiknya. Menu makannya pun beragam, masih ditambah es buah pula. Siapa di antara KiaiKanjeng yang sudah mengambil makan, bingung mau makan di mana, Mas-Mas Banser pun sudah bersiap mengambilkan kursi dan mempersilakan duduk dengan sangat baik.

***

Rasa senang yang paling tampak mata tentu adalah saat musik KiaiKanjeng terjalinkan dengan para jamaah. Musik-musik yang sengaja dihadirkan untuk menciptakan interaksi yang menggembirakan, dari yang dikonsep dialogis melalui workshop yang dipimpin para vokalis KiaiKanjeng sampai musik dalam bentuk medlei, seperti medlei Era yang dibawakan di penghujung acara. Semua bisa ikut bergoyang, menggerakkan badan. Bahkan salah seorang pentolan suporter “Bonek” Persebaya yang ikut duduk di panggung, dan kemudian ikut bernyanyi mengeluarkan suaranya yang keras dan “garang” saat tiba pada lagu Rock dalam medlei tersebut. Eh, tapi pas lagu Campursari, dia juga ikut.

Rasa senang karena merasa bahwa forum ini sangat lengkap ragam muatannya juga terasa, misalnya, ketika Mbah Nun menghadirkan shalawat-shalawat yang berisi doa seperti Shalawat Asghilidh dholimin bidh dholimin, kemudian doa agar Allah meringankan beban pada masalah-masalah yang mungkin menimpa kita melalui nomor “Ya Allah ya Adhim Antal Adhim.” Tentu saja tak ketinggalan do’a yang langsung terucapkan oleh Mbah Nun setiap kali teringat sesuatu tentang dan untuk anak-cucu dan semua yang hadir, “Tak dongakno sing lagi angel, segera di- gampangke. Sing peteng, ndang dipadangno (Saya doakan, siapa saja yang sedang dalam kesulitan, segera dimudahkan oleh Allah. Siapa yang sedang berada dalam kegelapan, segera diberi terang oleh Allah). Dan ungkapan-ungkapan doa lainnya yang berkali-kali muncul sebagai bentuk rasa cinta Mbah Nun kepada anak-cucunya.

Pengertian Ruwat

Peristiwa “senang” dan “senang-senang”, menurut Mbah Nun, juga merupakan jalan bagi sampainya suatu ilmu. Ilmu tak harus berbentuk kalimat-kalimat kognitif berisi pengertian, definisi, dan analisis-analisis intelektual. Tetapi, berbarengan dengan peristiwa senang dan senang-senang yang berlangsung dalam Sinau Bareng, Mbah Nun tetap piawai mengalirkan ilmu sehingga sebenarnya tak bisa dipisah-pisah antara senang dan senang-senang dengan ilmu.

Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Tambak Oso, semua tertawa tersenyum menikmati keindahan.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Kita mulai dari Ruwatan Desa yang merupakan tema Sinau Bareng tadi malam. Menurut Mbah Nun “ruwat” adalah tindakan dan laku yang lebih mendalam daripada “rawat”. Dari sini, Mbah Nun meminta hadirin menyebut apa saja yang baik dalam konteks ruwatan desa ini. Mereka menjawab, di antaranya; rasa syukur, rukun/guyub, dan reresik. Nah, menurut Mbah Nun, yang disebut “Ruwat” adalah mengumpulkan, menghimpun, dan mencatat hal-hal yang baik itu, sementara hal-hal atau sifat-sifat yang buruk perlu disingkirkan.

Dalam pandangan Mbah Nun, Ruwat Desa ini sangat baik, lebih-lebih negara yang seharusnya punya “Ruwat Negara” malah tidak punya tradisi ini. Mestinya setiap 17 Agustus adalah momen “Ruwat Negoro”. Dianalogikan, Ruwat Desa itu bobotnya adalah medali emas, sedangkan negara dalam babak penyisihan pun belum lolos.

Maka Mbah Nun berdoa, “Mudah-mudahan Tambak Oso malam ini diresmikan oleh malaikat mendapat medali emas.”

***

“Bukan soal pintar, tapi soal mau sinau atau tidak. Pintar itu gampang.”

“Banyak kisah dari masa lalu yang harus dimaknai. Dan jangan gampang mensyirik-syirikkan atau membid’ah-bid’ahkan. Tidak lantas sesuatu tidak terjadi pada masa Nabi, maka bisa kita katakan bid’ah.”

“Sebanyak mungkin takjublah kepada Allah.”

Usai workshop kelompok jamaah melantunkan Ya Thaybah, Lir-Ilir, dan Shalawat Badar dengan pola dan formasi yang dipandu para vokalis KiaiKanjeng, “Ini namanya tadbir. Pada saatnya setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.”

Lainnya