Rumuskan Kembali Kesaudagaran Menurut Islam
Minggu siang kemarin, 15 Mei 2022, Mbah Nun memenuhi undangan Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) yang sedang mengadakan acara “Safari Bisnis dan Halal Bihalal 1443 H” bertempat di Aula Gedung Pimpinan Wilayah Muhamammadiyah (PWM) Yogyakarta di Jalan Gedongkuning Rejowinangun Kotagede Yogyakarta.
Dalam kesempatan itu, Mbah Nun diminta berbicara mengenai topik utama acara yaitu “Membangun Ekonomi Berkebudayaan dan Berkemajuan”. Dengan dimoderatori Pak Munichi Edress, pada ending pemaparan, Mbah Nun mengajak teman-teman JSM untuk melakukan konsolidasi pemahaman tentang perniagaan dan kesaudagaran menurut Islam. Mbah Nun mendorong dilakukannya kajian-kajian yang berupaya merumuskan kembali perniagaan dan kesaudagaraan Islam secara komprehensif dan multispektrum. Jika hal ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, Mbah Nun yakin berkah teman-teman dalam berbisnis atau berekonomi akan beda.
Pandangan Mbah Nun tersebut beliau kemukakan sesudah beliau mengajak teman-teman JSM mengamati banyak silang-sengkarut dan problem-problem mindset yang perlu dibenahi. Sebagai misal, selama ini masih dominan cara melihat ekonomi sebagai satu bidang di sisi bidang-bidang lain, padahal menurut Mbah Nun hidup tidaklah demikian. Hidup adalah ruang besar dengan beragam pintu, bukan satu ruang dengan berbagai kamar. Selain itu, kita kurang terbiasa melihat sesuatu dalam tatanan spektrum. Contohnya, ada istilah etika bisnis. Harus dipastikan betul manakah yang lebih merupakan kepala, etika atau bisnis? Termasuk ekonomi sendiri berada dalam spektrum yang lebih luas apa, misalnya akhlak dan taqwa.
Kekacauan mindset yang demikian menurut Mbah Nun jika dirunut ke belakang adalah karena kita mengikuti cara berpikir Renaissance yang melihat hidup tidak dalam satu kesatuan. Contoh paling jelas adalah kita selalu didorong untuk mendikotomikan dunia dan akhirat. “Ilmu yang mencelakakan hidup adalah yang mendikotomikan dunia dan akhirat. Hidup itu abadi. Hidup itu di dunia sekaligus akhirat,” tegas Mbah Nun.
Dalam konteks inilah, Mbah Nun merasakan bahwa selama ini umat Islam tidak punya pegangan dan pedoman, dikasih Barat, ngikut ke Barat, dan pada saat bersamaan tidak menghormati pendahulu-pendahulu atau nenek moyang.
JSM merupakan wadah yang diinisiatifi oleh individu-individu warga Muhammadiyah yang berkecimpung dalam dunia bisnis untuk mengembangkan pilar ketiga (bidang ekonomi) Muhammadiyah. Karenanya, dalam Safari Bisnis dan Halal Bihalal kemarin hadir para pelaku bisnis di lingkup Muhammadiyah dengan beragam latar belakang bidang kegiatan dari usaha minimarket, properti, logistik, hingga perbankan syariah. Dalam konteks merumuskan kembali kesaudagaran menurut Islam, Mbah Nun berpesan agar-agar teman-teman JSM belajar dari Piagam Madinah dan cara Rasulullah membangun dan membenahi kehidupan ekonomi di Madinah.
Lebih mendasar lagi, untuk merespons tema “Membangun Ekonomi Berkebudayaan dan Berkemajuan” dengan perspektif Islam, Mbah Nun menyiapkan tak kurang dari 13 ayat Al-Qur’an untuk menjadi pijakan dan spektrum lebih luas untuk mendapatkan cara pandang yang lebih tepat dalam memahami bisnis, usaha, perniagaan, perdagangan, dan ekonomi. Misalnya, dari QS. As-Shaff: 10 didapat pemahaman bahwa kriteria perdagangan dalam Islam adalah apabila perdagangan itu dapat menyelamatkan pelakunya dari Adzab Allah. Bagi Mbah Nun prinsip ini sangat jelas dan mestinya dapat dioperasionalkan menjadi nilai dan acuan dalam berdagang. Karena itulah, setelah mengurai sejumlah ayat Al-Qur’an itu, Mbah Nun mengatakan, “Ekonomi membutuhkan agama, dan agama harus diterapkan salah satunya lewat ekonomi.”