CakNun.com

Ribuan Mil untuk Iman, Ikhlas, dan Ridla

Ericka Irana
Waktu baca ± 3 menit

Saya sering mendengar tiga serangkai kata: iman, ikhlas, dan ridla, dalam setiap kesempatan Sinau Bareng maupun acara-acara rutin Maiyahan melalui kanal youtube caknun.com atau kanal lainnya. Tiga kata ampuh yang ringan diucapkan ini ternyata tidak mudah diterapkan dalam kehidupan.

YouTube video player

Tepat beberapa jam lalu, saya juga sedang menonton salah satu video unggahan terbaru dari youtube caknun.com, tentang algoritma shodaqoh. Dalam video tersebut, Mbah Nun menyinggung tentang iman dan ridla yang menjadi salah satu trigger bagi saya untuk memberanikan diri menulis lagi.

Selama ini saya sering mengurungkan niat untuk mengirimkan tulisan ke redaktur caknun.com, selain merasa sungkan, juga merasa apa yang saya tulis kok rasanya kurang oke untuk ditampilkan. Sebenarnya tulisan saya lebih kepada ingin memberikan “testimoni” akan apa yang saya rasakan selama menjadi jamaah virtual baik sinau bareng maupun maiyahan.

Ilmu-ilmu yang disampaikan Mbah Nun akan connect secara otomatis dengan fase kehidupan kita, apa yang disampaikan beliau saat ini bisa jadi menjadi kunci jawaban kehidupan kita di masa yang lain. Tidak sedikit pitutur Mbah Nun yang selalu relate dengan kehidupan yang saya alami, dan pastinya menjadi obat mujarab untuk kegelisahan maupun pituduh perjalanan

Selama ini, apa yang disampaikan Mbah Nun selalu nyantol, seolah menjadi tombo terhadap kerumitan-kerumitan hidup yang sedang saya hadapi. Kata orang Belanda, ALTIJD ZEKER untuk mengistilahkan sesuatu yang hampir 100 persen kepastian atau keyakinannya, cocog iwak endog lah pokoke! Kuncinya selalu pas!

Dalam suatu kesempatan, Mbah Nun menuturkan tentang iman dan taqwa, bahwa orang yang beriman dan bertaqwa, maka Allah akan menjamin rezekinya, memberikan kemudahan atau jalan keluar atas segala kesulitannya. Maka saya coba menerapkan ini dalam hidup ketika sedang dirundung masalah, dengan minimal ibadah lebih rajin, sedekah lebih banyak, sabar pun ditambah, maklumlah saya masih tergolong manusia yang mendekat banget kepada Allah, ketika banyak masalah dan sering lupa ketika jalan hidup sedang los dol tanpa hambatan.

Sebulan dua bulan sudah saya terapkan ilmu iman dan taqwa, eh kok ya masih masalah tidak kunjung selesai. Lalu saya coba merenung, kira-kira apa yang salah dan perlu diperbaiki lagi. Oh ternyata, Mbah Nun juga pernah dawuh, bahwa kita harus punya ilmu tawakkal, menyerahkan segalanya kepada Allah, dan meyakini bahwa segala ketetapan-Nya adalah yang terbaik.

Berserah diri kepada Allah itu, ternyata bukan hanya ya wis biar Allah saja yang mengatur segalanya, tetapi kita juga perlu menyelaraskan pikiran, hati, hingga jasad kita untuk benar-benar berserah lalu disambung dengan ikhlas. Namun kadang tanpa kita sadari, kita justru mengatur Allah dengan berpura-pura menyerahkan segala urusan, tapi pikiran kita masih keukeuh menginginkan sesuatu yang kita anggap itulah yang terbaik bagi kita. Setiap hari kepala kita dipenuhi doa dan harapan agar itulah yang menjadi solusi dari keruwetan hidup, padahal jasad, lisan kita selalu bilang: ya saya cuma bisa pasrah, berserah dan tawakkal; tapi sejatinya hati kita juga masih tidak rela dan ridla dengan kenyataan.

Saya juga pernah menangis, mengeluh, marah kepada Allah, kenapa saya harus menjalani segala kerumitan ini, padahal saya sudah shalat, puasa, sedekah, berbuat baik. Seolah menuntut ganti rugi kepada Allah terhadap semua “kebaikan dan ketaatan” yang telah saya lakukan, dan saya lupa akan dosa-dosa yang pernah saya lakukan. Hingga akhirnya saya menemukan jawaban dalam perjalanan sunyi, bahwa Tuhan sedang ingin menunjukkan manisnya iman, taqwa, tawakkal, dan mengajarkan ilmu ikhlas dan ridho di sela-sela rimbunnya bunga tulip yang sedang bermekaran.

Ealah… Gusti… kok adoh men olehe nyekolahno, gur ate ngelmu iman, taqwa, ikhlas, lan ridla harus terbang ribuan mil dan menetap di Belanda selama hampir 5 tahun, untuk menemukan kunci jawaban kehidupan. Dari apa yang saya alami, ridla itu ketika seluruh tubuh, lisan, pikiran, hati dan jiwa kita menyatu menerima segala ketetapan Allah tanpa tapi, tanpa debat!

Pada titik itu, saya justru mampu menertawakan apa yang saya alami, kesedihan, kegelisahan dan semua kerumitan hidup yang Allah pernah ujikan kepada saya. Lalu saya justru mengejek diri saya sendiri, sambil bergumam… Ealah Rik… lagek diuji ngene ae loh… olehmu nangis gerung-gerung, padane wong ga nduwe Gusti Allah ae! Jare bonek… tapi nangisan!

Sambil menghela napas panjang, saya mengucap syukur kepada Allah, diberi kesempatan mengembara sampai ke negeri Belanda, bermaiyah dalam sunyi, hingga menemukan kunci-kunci kehidupan. Maturnuwun kepada Mbah Nun, dan seluruh keluarga besar Maiyah dimanapun berada, yang selalu mengajarkan urip sing panggah murup.

Almere, 29 Juli 2022

Lainnya

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Salah satu pertanyaan workshop dalam Sinau Bareng di balai desa Condongcatur pada hari Jum’at malam 20 Desember 2019 menarik perhatian saya.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil