Puasa sebagai Hakikat Hidup
Kembali acara “Menjelang Senja” digelar untuk menemani teman-teman di bulan Ramadhan 1443 H kali ini. Sinau Bareng persembahan Sukun Kudus ini disiarkan secara livestreaming via channel YouTube PR Sukun, CakNun.com, KiaiKanjeng, dan Murianews TV mulai pukul 16.30 WIB dan selesai menjelang tiba waktu berbuka puasa.
Dalam “Menjelang Senja” edisi perdana kemarin sore, teman-teman bisa menikmati beberapa nomor musik KiaiKanjeng. Konten utama “Menjelang Senja” adalah nomor-nomor musik KiaiKanjeng yang dihadirkan bukan saja buat dirasakan keindahahan dan kenikmatannya, tetapi dengan lagu-lagu ini Mbah Nun dan KiaiKanjeng akan bercerita ihwal sejarah lagu-lagu tersebut sehingga teman-teman kekinian bisa mengetahui sejarah dan kreativitas lagu-lagu yang diciptakan KiaiKanjeng.
Sebelum melangkah ke sana, mendasari serial “Menjelang Senja” untuk Ramadhan kali ini, Mbah Nun menguraikan puasa sebagai hakikat hidup. Tentu akan ada kaitannya juga dengan musik. Mbah Nun mengajak teman-teman KiaiKanjeng dan para jamaah via YouTube untuk memahami puasa bukan hanya sebagai syariat agama Islam saja, tetapi sebagai hakikat hidup. Artinya, sudah merupakan kemestian bahwa dalam hidup ini ada yang namanya ‘puasa’. Hidup akan kacau kalau tidak ada puasa. Menurut Mbah Nun, puasa adalah syariat Islam yang salah satu tujuannya adalah mengingatkan kita bahwa hidup itu puasa.
Mengambil contoh dari musik sekaligus merespons pertanyaan Mas Doni KK tentang hubungan musik dan puasa, Mbah Nun memberikan contoh hakikat puasa dalam bermain musik. Salah satu bentuk puasa adalah menahan diri tidak melakukan sesuatu atau mengambil sikap berhenti. Dalam satu lagu, ada saat satu alat musik berhenti untuk memberikan kesempatan alat musik lainnya berbunyi. Kalau semuanya bunyi, tanpa ada bagian di mana salah satu atau beberapa alat musik lain diam, maka musik tak akan tercipta dengan baik. Demikian pula dalam hal irama dan nada. “Yang satu begini, yang lain puasa,” kata Mbah Nun.
Itulah satu contoh dari Mbah Nun tentang bagaimana disiplin puasa merupakan bagian dari penataan komposisi suatu lagu. Mbah Nun menegaskan ada pembagian secara ruang dan waktu. Tanpa kesadaran puasa, orang tak bisa bermusik. Setiap pemusik harus siap berpuasa.
Tauhid, Menemukan Keterkaitan
Menarik ke sisi mendasarnya, Mbah Nun mengatakan cara memahami puasa yang demikian itu berangkat dari mindset berpikir, sebagaimana selama ini telah ditanamkan di dalam Maiyah, bahwa kita harus bisa menemukan kaitan antara satu hal dengan hal lain. Tak ada hal yang tak ada hubungannya dengan hal lain. Tidak ada ‘apa’ tanpa yang selain ‘apa’. Tak ada ‘siapa’ tanpa yang selain ‘siapa’.
Mengapa mesti menemukan hubungan satu hal dengan hal lainnya? Menurut Mbah Nun, keterkaitan satu hal dengan hal lain itulah yang sebenarnya merupakan salah satu makna utama tauhid. Di depan penglihatan kita, realitas tampak bukan hanya beda-beda tetapi mungkin kita pahami terpisah satu sama lain. Namun, dalam perspektif tauhid, semua itu ada kaitannya. Maka, menurut Mbah Nun tauhid adalah menyatukan apa-apa yang oleh mata dan pemahaman kita tampak terpisah-pisah menjadi berada dalam suatu keterkaitan. Tauhid berumpun kata dengan wahhada yang berarti menyatukan dan wahid yang berarti satu. Dengan kata lain, tauhid mengajarkan pemahaman yang utuh, integral, tidak parsial, tidak terpisah-pisah.
Berdasarkan perspektif keberkaitan itu, menurut Mbah Nun, maka tidak mungkin kita mengingat Allah sambil melupakan daun-daun. Atau sebaliknya, melihat daun-daun tetapi tidak seraya ingat Allah atau sambil tidak melihat kaitannya dengan Allah. Karenanya, berbicara tentang daun ini, Mbah Nun meminta KiaiKanjeng membawakan lagu berjudul Bisikan Daun-Daun. Setelah menyimak penjelasan tentang tauhid sebagai menemukan kaitan antara satu dengan lain hal, bukan tidak mungkin kata ‘Bisikan’ di situ dipahami tidak dalam arti konotatif dan sastrawi, tetapi denotatif dalam arti daun memang berbisik menyampaikan pesan. “Islam atau tauhid adalah setiap saat kita menemukan dan menghayati ketemunya segala sesuatu satu sama lain,” kata Mbah Nun.
***
Kembali kepada puasa sebagai hakikat hidup, satu contoh menarik yang disampaikan Mbah Nun adalah tentang imam shalat. Nabi mengajarkan agar seorang imam tidak berlama-lama dalam mengimami, dikarenakan mungkin ada banyak lansia yang akan tidak kuat kalau shalat dengan waktu yang lama atau banyak orang-orang yang harus segera kembali kepada pekerjaan masing-masing. Maka imam tersebut perlu berpuasa. Meskipun dia mungkin bisa membaca surat yang panjang-panjang, dia berpuasa dengan memilih surat yang pendek-pendek saja, demi mengakomodasi kondisi para makmumnya. Puasa sebagai hakikat hidup mengajarkan kepada kita untuk tidak melampiaskan kebisaan kita menurut kemauan kita sendiri, melainkan mau menahan diri karena mempertimbangkan kemaslahatan lebih luas.
Di sinilah, Mbah Nun menjelaskan bahwa puasa adalah mengerti kapan saat ‘iya’ dan kapan saat ‘tidak’, dan kemudian memahami pula ‘mengapa iya’ dan ‘mengapa tidak’.
Memahami puasa dengan pijakan makna tauhid sebagai menemukan keterkaitan antara satu hal dengan hal lain dengan salah satu outputnya adalah menemukan hakikat satu hal berada pada hal lain seperti menemukan puasa pada musik dan pada imam shalat di atas, landasan lain yang dipakai Mbah Nun adalah anjuran Allah agar kita mau berpikir (ta’qilun). “Agama tidak hanya berisi perintah, tetapi juga deretan afala ta’qilun (Tidaklah kalian berpikir?) sebagaimana Allah menyerukannya di dalam Al-Qur’an,” tegas Mbah Nun.
***
“Menjelang Senja” terkonsep secara informal dan santai. Pakde-Pakde KiaiKanjeng tidak mengenakan seragam, melainkan baju bebas. Pesan-pesan Mbah Nun disampaikan dalam suasana santai pula melalui obrolan bersama vokalis KiaiKanjeng dan para pemusik. Semuanya terlibat aktif. Mbah Nun yang duduk di kursi lesehan merespons setiap pertanyaan atau lontaran.
Selain memaparkan puasa sebagai hakikat hidup, Mbah Nun juga berbicara tentang pentingnya sikap ridla dan apa yang dimaksud dengan ridla tersebut. Sementara itu, lagu yang dipersembahkan KiaiKanjeng, selain Bisikan Daun-Daun, adalah Pambuko, Assalamu ‘Alaik Zainal Anbiya’ yang dirangkai dengan Malauna ya Maulana La Tansana, dan Pung Ketipak Ketipung.