CakNun.com

Pesan Mbah Nun, Jangan Sampai Kita Hilang Iman

Liputan 1, Mocopat Syafaat 17 Agustus 2022, TKIT Alhamdulillah Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta
Redaksi
Waktu baca ± 3 menit

Alhamdulillah semalam kita telah mengikuti Mocopat Syafaat edisi Agustus 2022. Pada segmen awal, bareng-bareng kita melaksanakan Tawashshulan dipimpin oleh Mas Islamiyanto dan Bapak-bapak KiaiKanjeng selama kurang lebih satu jam. Qabliah, Iftitah, Salam Limalaikatillah, Katur Dhumateng Kanjeng Nabi, Baiat Tauhid, Salam Taslim, Maqamat Hajat hingga ‘Indal Qiyam dan Doa Ikhtitam kita lantunkan dan panjatkan dengan khusyuk.

Seorang ibu menggendong anaknya sambil menyimak Mocopat Syafaat Agustus 2022.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Semua teman-teman yang hadir — baik yang mengenakan baju putih seperti saat Tawashshulan di Kadipiro maupun yang berbusana biasa seperti selama ini kita jumpai di Mocopat Syafaat maupun Sinau Bareng di manapun, karena memang Maiyahan tidak mensyaratkan uniform tertentu — menyelami setiap lafadh-lafadh yang dibacakan dan masuk ke dalam suasana mendekat kepada Allah Swt dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Baju, kaos, jaket, sarung, apapun yang sehari-hari teman kenakan tidaklah dipahami sebagai kurang sesuai dengan suasana khusyuk, malah sebaliknya, semua itu adalah kepolosan dan keapaadaan yang dibawa untuk matur kepada Allah Swt. Seperti pernah dikatakan Mbah Nun, kepintaran, kealiman, apalagi kesombongan, dan lain-lain sejenis tidak bisa dibawa sebagai bekal ngadep kepada Allah. Yang layak dibawa adalah kepolosan, kerendahan hati, rasa bersalah, dan deeksistensi diri.

Mulai tadi malam, Tawashsulan yang biasanya digelar di Rumah Maiyah Kadipiro diintegrasikan dengan Mocopat Syafaat menjadi segmen pembuka. Maka tadi malam kita lihat tiga meja bertaplak kain putih yang kemarin-kemarin kita lihat saat Tawashshulan di Kadipiro telah berpindah ke Mocopat Syafaat. Segera setelah Tawashshulan usai, meja tersebut dilangsir ke belakang, ketika Mbah Nun beserta tamu-tamu bergabung ke tengah-tengah kita semua.

Semalam Mbah Nun mengajak serta ke panggung: Pak Tanto Mendut, KH. Abdul Muhaimin, Pak Mustofa W Hasyim (tentu saja, kan beliau sudah ikonik puisi rusak-rusakan di Mocopat Syafaat), Pak Eko Winardi pemeran Pak Rajek dalam pementasan WaliRaja RajaWali barusan di TIM Jakarta, Mas Janis Langgabarana, Gus Amak Pacitan, dan Mas Seto Nurdiantoro Pelatih PSS Sleman.

Setelah beliau-beliau dipersilakan lenggah, Mbah Nun memulai berbicara kepada anak-anak cucunya jamaah Mocopat Syafaat. Wajah-wajah anak cucu yang sebelumnya lebih banyak sublim, khidmat, dan khusyuk saat Tawashshulan pada sesi awal kini mulai bergeser dari atmosfer sakral balik kembali ke suasana santai dan enjoy. Senyum happy mulai merekah. Mereka sudah menyelesaikan kekhusyukan, maka sekarang punya hak untuk kembali ke “hidup” sehari-hari, srawung, gembira, omong-omong, santai, dll. Seperti itu kan ya dialektika atawa putaran dalam menjalani hidup?

Tetapi di dalam kebersamaan dengan Mbah Nun dalam atmosfer gembira, rileks, dan akrab justru banyak memancar butir-butir ilmu yang anak-anak cucu akan memetiknya. Ilmu terasa diantarkan dalam cara yang enak, jauh dari menggurui, apalagi mendoktrin. Dari awal menyapa penuh cinta kepada anak cucu, Mbak Nun telah berbicara tentang posisi dan peran malaikat dalam hidup. Menurut beliau, tak seorang pun yang tidak dituntun oleh malaikat dan bahwa kita seyogianya punya sifat malaikatiyah, atau wani urip malaikatan. Maka di dalam Tawashshulan ada bagian baku bernama Salam Limalaikatillah.

Kemudian tentang dzikir dan wirid sebagai metode berdoa kepada Allah, Mbah Nun menggambarkan bagaimana proses semua itu beliau jalani dengan setiap hari “dimasukkan ke dalam laboratorium”. Diteliiti selalu, jika ada yang kotor dalam persepsi dan hati, beliau bersihkan sampai clear. Beliau memberikan contoh. Kalau kita berdoa dengan membaca dzikir sebanyak jumlah atau angka tertentu, jangan sampai bergantung pada angka itu, tetapi ketulusan yang dijadikan kondisi yang harus dibangun, kemudian ketulusan yang kita bangun itu pun juga hendaknya jangan membuat kita mengklaim apa-apa menyangkut hasilnya. Jangan sampai ada GR sedikit pun.

Tetapi, di dalam membaca doa, Mbah Nun juga mengecek efektivitasnya. Jika tidak efektif, mungkin ada yang perlu dibenahi dalam, misalnya, pilihan bacaan apa yang dibaca. Itulah sebabnya prinsip dalam Tawashshulan, ada bagian-bagian yang boleh dipilih untuk dibaca sesuai dengan kondisi atau konteks spesifik yang dialami oleh teman-teman yang barangkali berbeda dari satu lingkaran ke lingkaran lain. Dalam Tawashshulan, bagian yang difokuskan sebagai penanda kondisi, konteks, dan kebutuhan kita dalam berdoa disebut dengan Maqamat Hajat.

YouTube video player

Dan seterusnya, Mbah Nun memberi contoh tak pernah berhenti dalam ngrasakke dan ngonceki setiap langkah batiniah yang dijalaninya. “Digogohi terus, koyo nggogoh yuyu,” begitu Mbah Nun memberi analogi untuk proses bahwa dalam setiap laku kita berdoa, berdzikir, memohon kepada Allah, dilakukan tidak hanya dengan mengucapkan doa, tetapi segala sisinya perlu diteliti, dicermati, diakuratkan senantiasa. “Kita boleh gelo atau menyesal, tapi jangan sampai kehilangan iman dan tetap khusudhdhon kepada Allah. Kita boleh putus asa kepada dunia, tapi tidak boleh putus asa kepada kedermawanan Allah,” Mbah Nun memberikan contoh lain yang terkait.

Masih banyak hal dicontohkan Mbah Nun dalam kita menjalani suluk kepada Allah melewati jalan-jalan kehidupan di dunia ini dengan macam-macam hal terjadi dan bagaimana kita meng-handle semua itu dalam pikiran, batin, dan hati kita agar kita tidak hilang iman kepada Allah Swt.

Setelah menyampaikan babaran ilmu mengenai setiap diri hendaknya mengawal setiap langkah batin masing-masing, kemudian bergiliran beliau memberikan kesempatan kepada tamu-tamu untuk berbicara. Mbah Nun merespons beliau-beliau, dengan pandangan, maupun dengan mengajak KiaiKanjeng menghadirkan nomor-nomor lagu. Suasana padu antara ilmu, gembira, asik, dekat, indah, bergulir hingga akhir. (caknun.com)

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version