Perahu Retak (17/17)
Jawa - Islam
di awal Kerajaan Mataram
Tujuh belas
(Lengang suasana.
Syech Jangkung memukul-mukulkan tongkatnya di tanah.
Sangat perlahan-lahan. Meningkat. Pelan lagi. Mendadak ketukannya mengeras dan cepat sejadi-jadinya.
Irama bunyi tampak sangat mempengaruhi Raden Mas Kalong.
Tatkala ketukan itu mengeras, Kalong berteriak)
KALONG : Telah kubunuh Si Kadal, Guru, dan aku bertanggung jawab atas setiap nyawa lalat yang kusantap!
(Tetap terdengar pelan ketukan tongkat Syech Jangkung, namun Guru itu tak bergeming sejengkalpun dari tempatnya).
Aku tidak mimpi memperoleh pernghargaan sebagai pahlawan anti kekerasan.
Tidak ada keris anti kekerasan. Tidak ada pusaka anti kekerasan. Anti kekerasan adalah omong kosong dari mereka yang khawatir kemapanannya terancam. Penghargaan anti kekerasan hanya diberikan oleh orang-orang kaya, priyayi-priyayi kaya, kerajaan-kerajaan kaya, yang takut dihajar oleh perampok-perampok budiman.
(Syech Jangkung terus mengetuk-ngetukkan tongkatnya).
Tanggapi kata-kataku, Guru!
(Kalong menghampiri Gurunya).
Para penguasa yang berteriak-teriak tentang anti kekerasan sesungguhnya melakukan kekerasan dan kekejaman yang tak ada bandingannya terhadap jiwa berjuta-juta orang.
Kekerasan yang canggih, yang tidak tampak sebagai kekerasan, namun langsung memukul pusat jantung dan menghisap darah!
JANGKUNG : (Mendadak membalikkan wajahnya ke arah Kalong)
Aku ingin menyaksikan bagaimana kedua matamu kau arahkan tepat ke pusat mataku, pusat mata Syech Jangkung.
(Tidak disangka oleh Syech Jangkung, Kalong langsung menghadapkan wajahnya dan menatapkan matanya).
Bukan main. Betapa kerasnya sorot matamu. Dan betapa cupetnya!
(Syech Jangkung menudingkan satu tangannya ke wajah Raden Mas Kalong).
Angkat satu tanganmu, tuding wajahku! Ayo!
(Begitu Kalong menggerakkan sebelah tangannya, Jangkung menggerakkan tangannya sangat cepat, menimpa tubuh Kalong sehingga anak muda itu terhuyung-huyung hamper jatuh ke belakang)
(Syech Jangkung berbalik dan meninggalkannya)JANGKUNG :
(Tetapi Kalong tetap berusaha tegak dan menatap ke arah Gurunya)
JANGKUNG : Zaman makin maju. Manusia makin canggih. Murid-murid belajar memanah, untuk ditancapkan ke dada Guru mereka. Kakekmu Karebet adalah murid kinasih wong agung Sunan Kalijaga, dan Sutawijaya adalah cucu murid. Adapun Arya Penangsang adalah murid utama orang tua sareh yang bergelar Sunan Kudus.
Tapi dua murid dari dua sahabat itu saling mengacungkan tombak dan pedang untuk tertikamkan ke dada Guru mereka masing-masing.
Nama agung Kalijaga dan Kudus tertikam sepanjang masa!
(Syech Jangkung mendadak berlaku seperti gila. Menghambur ke sana ke mari, nembang sumbang, bermain tongkat, tidur menelentang dan segala macam)
Kalong, kau tahu siapa yang membakar-bakar hati Arya Penangsang untuk memperjuangkan haknya, kalau perlu dengan kekerasan? Aku. Aku, Kalong. Aku. Gurumu yang sedang kau hinakan ini.
KALONG : Kalau demikian, mengapa Guru mempersalahkan aku?
JANGKUNG : (Tertawa) Tadinya aku merasa bangga, karena kupikir darah di tanganmu itu darah banteng, tetapi ternyata darah tikus.
KALONG : (Menghadap ke sebuah arah) Sutawijaya!
Bantengkah kau? Ini tanganku!
JANGKUNG : Sutawijaya adalah banteng yang tidak saja pemberani, tapi juga berwawasan jauh ke depan. Wawasannya jauh ke depan. Itulah bedanya denganmu.
KALONG : Aku tumpas Carik Kadal justru karena aku berpikir jauh ke depan, Guru. Kalau benih dibiarkan, ia akan menjadi pohon besar yang merambah-rambah.
JANGKUNG : (Tertawa lagi) Kalong. Banyak orang menyebut aku seorang pendekar. Aku sendiri, melihat diriku tak lebih dari seorang gila. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa Syech Jangkungmu ini manusia yang selalu belajar.
Bahkan aku juga berguru kepadamu, Kalong, betapa tololnya kau.
Aku baker Penangsang untuk memperjuangkan haknya. Sebab aku tahu bangsa kita kelak akan dijajah, dan akan terus dijajah kalau mereka tidak membuang pakaian rumah kemapanannya, kemudian mengambil apapun – pedang, tombak, kayu, gada, bamboo – untuk senjata berperang melawan penjajah.
Aku pengaruhi Penangsang untuk melawan Hadiwijaya karena tidak akan ada kemerdekaan yang dicapai tanpa menengadahkan dada.
Kemudian aku belajar pada kegagalan Penangsang. Tapi aku juga mengerti untuk tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Benowo ayahandamu. Bertahun-tahun aku mencari kuda-kuda yang tepat di antara kegagalan Penangsang dan pelarian Benowo.
Sekarang tiba-tiba kau memperosokkan diri ke dalam kekeliruan yang kusesali dari masa silam. Kau ambil nasi dari tungku sebelum ia matang…
KALONG : Kupanggul, Guru, kupanggul di pundakku segala tanggung jawab dan akibat dari perbuatanku!
JANGKUNG : Kau panggul sejarah ini sendirian, tolol? Kau meledakkan cambuk, padahal pasukanmu masih belum lahir. Beratus-ratus Kiai dan beribu-ribu santri masih bernikmat-nikmat dininabobokkan oleh Sutawijaya.
Kau ini Santri Pinggiran, Kalong….
(Menghadap ke suatu arah)
Kalian semua ini santri-santri Khidlir yang terbuang dan belum bisa dipahami. Perahu kalian retak di tengah samudera, padahal banyak di antara kalian yang belum belajar berenang…
(Menuding Kalong)
Kau telah melakukan kesalahan kecil yang lebar. Dan itu akan terulang, terulang lagi, di Jepara, Pati, Surabaya, Banyuwangi, di mana-mana. Lihatlah, dendam kekuasaan akan membengkak, dan tunggu saatnya di mana ribuan Kiai akan dibantai…. Tunggu abad demi abad di mana kaummu tidak kunjung paham akan dirinya sendiri. Kaummu akan menjadi budak kekuasaan, menjadi kambing-kambing yang digiring oleh anjing-anjing, diawasi oleh barisan serigala-serigala, demi kepatuhan kepada harimau sang Raja.
(Menggila)
Dan sekarang kau membusungkan dada karena telah mencekik seekor tikus, pdahal di hadapan keprigelan Sutawijaya, kau ini anak kelinci!
KALONG : Jadikan aku macan, Guru! Hantam aku! Pukul aku! Tendang aku! Siksa aku! Injak-injak aku!
JANGKUNG : (Tertawa keras) Kalau kau jadi harimau, Kalong, kau akan dikalahkan cukup dengan menyediakan kandang. Hidupmu akan terkurung dalam kandang-kandang kekuasaan!
(Mengamuk, menyerang Syech Jangkung sejadi-jadinya
Syech Jangkung menghindar dan menghindar meskipun sesekali meladeninya sehingga Raden Mas Kalong terjatuh-jatuh.
Ketika tenaga Kalong sudah menyurut, Syech Jangkung duduk bersila dan membiarkan muridnya memukulinya, menendangnya, sampai akhirnya kehabisan tenaga sama sekali dan terkulai menelentang.)
(Sayup terdengar Palaran dari mulut Syech Jangkung)
Selesai