Perahu Retak (13/17)
Jawa - Islam
di awal Kerajaan Mataram
Tiga belas
(Warok Gagang Subendo dan Warok Wongso Jolego)
JOLEGO : Aku malu
SUBENDO : Malu aku
JOLEGO : Sungguh memalukan
SUBENDO : Memalukan sungguh
JOLEGO : Kalau warok-warok macam kita ini membunuh, aku yakin dunia masih bisa memahami, meskipun tidak memaafkan. Tapi kalau ada Pamong membunuh rakyatnya sendiri, itu kadal namanya.
SUBENDO : Kadal tak pernah meletak-letakkan dirinya untuk membunuh sesamanya. Jadi kadal itu masih lumayan, Adi
JOLEGO : Apapun namanya, Tobil, Belo, Pedet,. Tapi ini sugguh-sungguh memalukan harga diri Ponorogo
SUBENDO : Karena itu sekarang juga aku harus ke Mataram! Kau cepat ke Trembesi, temani santri-santrimu itu
JOLEGO : Ke Mataram, Kakang?
SUBENDO : Ya
JOLEGO : Mereka sakti-sakti, Kakang.
SUBENDO : Aku tidak mengurusi adu kesaktian. Aku mempertanyakan kematian.
JOLEGO : Jadi kau takut, Kakang?
SUBENDO : Menyun! Apa yang harus kutakutkan dari Raja yang untuk menaklukan Madiun terpaksa menjual anak perawannya sendiri mentah-mentah!
(Wongso Jolego melesat pergi sambil tertawa terbahak-bahak)
(Ketika Gagang Subendo pun hendak berangkat, Kiai Tegalsari dan Syech Jangkung menyapanya)
TEGALSARI : Ki Warok Gagang Subendo bagai hendak terbang seperti rajawali. Aku akan nglurug ke Mataram agaknya.
SUBENDO : Benar, Kiai. Aku ingin menghirup udara kota Mataram. Aku ingin tahu apakah terkandung di dalamnya bau amis darah
JANGKUNG : Bagaimana kalau kami saja yang berangkat, Ki Warok
SUBENDO : Lho! Sebagai penduduk Ponorogo aku merasa berkewajiban untuk ikut menuntaskan persoalan ini!
TEGALSARI : Bukankah aku juga penduduk Ponorogo?
JANGKUNG : Yang mati terbunuh itu adalah santri Kiai kita ini. Tidakkah Ki Warok bisa merelakan urusan ini kepada orang yang paling berkepentingan dan paling bersedih?
SUBENDO : Bersedih? Syech ini bagaimana. Mentang-mentang aku ini orang abangan lantas disangka tidak mampu merasa sedih. Apalagi santri dibunuh secara tidak jantan.
JANGKUNG : Abangan. Lantas kamu ini orang apa?
SUBENDO : Syech dan Kiai ini orang alim. Maha santri.
TEGALSARI : Tokoh-tokoh kota di Mataram juga santri, bukan?
SUBENDO : Kejawen, Kiai, kejawen!
JANGKUNG : Itu soal penafsiran, Ki Warok.
SUBENDO : Penafsiran apa! Penafsiran Tombak Kiai Plered, penafsiran Bende Mataram, atau penafsiran gondal-gandul!
JANGKUNG : Bukan begitu , Ki Warok. Islamnya Ki Mondoroko berbeda dengan Islamnya Kiai Tegalsari, juga berbeda dengan Islamnya Ki Warok sendiri.
SUBENDO : Islamku adalah Islam tanah ladang, Islam cangkul, Islam sabit, Islam rumput dan parit-parit. Agamaku adalah penolakan terhadap segala jenis perampok yang merampas tanah dan cangkulku.
TEGALSARI : Kalau begitu Ki Warok ini bukan abangan. Ki Warok ini santri, sebab menolak kekuasaan sepihak dan perampokan.
JANGKUNG : Pernahkah Ki Warok melihat bahwa pesantren Kiai Tegalsari ini menunjukkan pamrih kekuasaan di Ponorogo?
SUBENDO : O, tidak, tidak, Syech. Bahkan Kiai dan Syech berdua ini bersedia menerima manusia kotor macam kami kaum warok. Kalau bagi para santri dan ulama pada umumnya, kami ini najis, najis!
TEGALSARI : Kalau begitu relakanlah kami berangkat ke Mataram.
JANGKUNG : Kita berbagi tugas. Ki Warok kuharapkan menemani para santri di Trembesi
SUBENDO : Baiklah. Baiklah. Tapi tolong, Syech dan Kiai, bawa hati kamdan hangatnya darah kami!
(Mereka berpisah jalan)