CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (10/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Sepuluh

(Makin massuk malam. Di tengah hutan belantara.
Tumenggung Karang Gumantung dan Tumenggung Cekal Bhirowo yang halus, penuh sopan santun, tapi terasa menyembunyikan sesuatu. Mereka mencegat santri Sujiman dan Sukijing).

KARANG : Anak-anak manis….

CEKAL : Tergesa-gesa berangkat mengaji….

KARANG : Sebab kalau terlmbat sedikit saja….

CEKAL : Pak Kiai mencambuk punggung mereka….

(Tertawa mereka berdua.
Jiman dan Kijing terpana)

KARANG : Duduk-duduklah tenang bersama kami di sini.

CEKAL : Memandangi rembulan dengan hati yang santai.

KARANG : Tergesa-gesa hendak mengejar apa.

CEKAL : Sedang bumi kehidupan ini sangat lapangnya.

JIMAN : Terimakasih bahwa orang berpangkat seperti Ki Tumenggung Karang Gumantung dan Ki Tumenggung Cekal Bhirowo ini bersedia menyapa orang kecil macam kami.

KIJING : Tapi tampaknya kami belum bisa santai-santai, karena kami ini tak berpangkat sama sekali.

(Setiap kali Jiman dan Kijing hendak melangkah pergi, dua Tumenggung itu menghalangi)

(Muncul kemudian Ki Warok Gagang Subendo dan Ki Warok Wongso Jolego, yang selalu tertawa-tawa lebar, yang polos dan telanjang seperti alam)

JOLEGO : Anak-anak manis….

SUBENDO : TInggalkan dua orang tua yang sama sekali tidak manis ini….

JOLEGO : Melangkahlah dengan hati yang santai….

SUBENDO : Kalian perlu sedikit tergesa-gesa….

JOLEGO : Karena Guru kalian Kiai Tegalsari dan Syech Jangkung pasti gelisah perasaannya….

(Kedua Warok melangkah ke tempat yang memungkinkan Jiman dan Kijing terbebas dari cagatan dua Tumenggung)

SUBENDO : Maafkan tindakan kami, Ki Tumenggung berdua. Kami khawatir kalau dua santri itu nanti akhirnya mengerti bahwa kematian kawannya ternyata ada kaitannya dengan Tumenggung berdua, maka mereka akan menagamuk di sini.

CEKAL : Sepengetahuan kami, yang suka mengamuk adalah kaum Warok seperti Ki Sanak berdua ini.

JOLEGO : Memang! Justru karena kami yang ingin mengamuk, maka mereka kami beri jalan untuk pergi.

SUBENDO : Tidak pantas kalau santri mengamuk meskipun terkadang mereka tak punya cara lain kecuali mengamuk.

KARANG : Juga tidak pantas kalau warok tidak mengamuk. Karena itu, silakan, mengamuklah.

CEKAL : Kebetulan sekali kami telah terlatih menjinakkan banteng mengamuk dan kerbau gila.

JOLEGO : Kita dibilang kerbau, kakang Subendo.

(Setiap kali, di tengah meladeni percakapan yang saling sindir-menyindir itu, terdengar hentakan gerak suara tertawa kedua warok, memecahkan kesenyapan malam dan bagai mengguncang-guncang pepohonan)

(Setiap kali pula, sambil meladeni percakapan, dua Tumenggung itu berusaha mencuri kesempatan untuk berlari menghilang, menghindari pertemuan lebih panjang dengan Warok. Tentu saja dua Warok itupun selalu berupaya mencegat mereka)

SUBENDO : Kita disebut kerbau. Tapi itu bagus! Dulu Mas Karebet mencegat kerbau ngamuk, sekarang malah dua kerbau mencegat dua Tumenggung yang hendak melarikan diri.

JOLEGO : Karena kerbau yang kini memang istimewa. Kerbau yang selalu menolong para petani untuk membajak dan menggaru sawah. Sedangkan para Tumenggung kerjanya malah membajak petani.

SUBENDO : Membajak petani, menanduk kiai-kiai, membunuh santri.

KARANG : Apa maksudmu!

CEKAL : Sabar Dimas Karang Gumantung. Memang susah jadi pejabat. Kalau ada rakyat hidup susah, pejabat yang disalahkan. Kalau ada santri mati, pejabat yang didakwa.

SUBENDO : Adi Wongso Jolego. Memang susah jadi warok. Kalau ada pejabat salah, warok dilarang menyalahkan. Kalau ada Tumenggung perintahkan penekanan dan pembunuhan, warok diwajibkan bungkam.

JOLEGO : He, Tumenggung! Kami orang dusun yang bodoh ini tahu kenapa kalian ingin cepat pergi menghindar dari kami. Pertama-tama kalian perintahkan cecunguk-cecunguk kalian di Trembesi untuk melenyapkan Sahil karena anak itu mengetahui rencana-rencana busuk kalian untuk menumpas orang-orang yang kalian anggap musuh Mataram di wilayah Ponorogo. Kemudian jejak kematian Sahil gagal mereka sembunyikan, dan sekarang kalian cemas cecunguk-cecunguk kalian itu akan dipaksa mengaku dan membeberkan semua rencana itu oleh para santri!

SUBENDO : Kalian jebak Kiai Tegalsari dan Syech Jangkung untuk pergi ke utara gunung Lawu agar segala kejadian itu tersembunyi di belakang punggung mereka. Kalian menyangka bahwa itu semua bisa kalian lakukan dengan gampang, karena kalian lupa meperhitungkan kami para warok!

KARANG : Aku tahu. Aku tahu sekarang, Kakang Cekal Bhirowo.

CEKAL : Tahu apa, Adimas?

KARANG : Rupanya pekerjaan utama kaum warok adalah mengigau.

CEKAL : Sebenarnya bukan mengigau, Adimas. Itu sekedar pelarian dari usaha perlawanan yang selalu gagal.

(Setiap kali dua Tumenggung hendak meloloskan diri, dua Warok menghalangi)

JOLEGO : Rupanya perlawanan kita selalu gagal, kakang Subendo.

SUBENDO : Yang gagal adalah kegagalan. Kalau perlawanan – ya perlawanan. Perlawanan selalu berhasil sebagai perlawanan bila ia dikerjakan. Ia gagal hanya kalau tak dilaksanakan.

CEKAL : Aku juga tahu sekarang, Adimas Karang Gumantung.

KARANG : Apa gerangan, Kakang Cekal Bhirowo?

CEKAL : Pekerjaan lain kaum warok adalah menutupi kekalahan cukup dengan kata-kata yang dibalik-balik.

KARANG : Tetapi yang tak pernah kumengerti adalah kenapa para warok selalu menunjukkan nada permusuhan terhadap Mataram.

JOLEGO : Kau dengar, Kakang? Nada permusuhan.

SUBENDO : Agaknya permusuhan adalah sebuah tembang, Adi.

JOLEGO : Kenapa, oh, kenapa warok memusuhi Mataram.

SUBENDO : Karena, oh, karena warok dimusuhi Mataram.

JOLEGO : Kenapa, oh, kenapa warok dimusuhi Mataram.

SUBENDO : Karena, oh, karena warok dianggap tidak setia kepada Mataram

JOLEGO : Mataram selalu berpikir bahwa Mataram adalah Pusat dunia….

SUBENDO : Mataram selalu merasa bahwa Tuhan menciptakan bumi dan semua penghuninya ini demi supaya mereka menyembah Mataram….

JOLEGO : Patuh dan menunduk-nunduk kepada Mataram….

SUBENDO : Mengirim upeti tahunan ke Mataram….

JOLEGO : Berpikir secara Mataram….

SUBENDO : Berpakaian secara Mataram….

JOLEGO : Makan minum seperti orang Mataram….

SUBENDO : Buang air kecil maupun besar seperti orang Mataram.

JOLEGO : Agama Islampun harus dijalankan secara Mataram.

SUBENDO : Para priyagung Mataram itu kelihatannya saja Islam, padahal sebenarnya Mataram….

JOLEGO : Aneh dan lucu ya, kakang….

SUBENDO : Kekuasaan memang selalu aneh dan lucu. Bahkan tak seorangpun bisa menduga berapa puluh tahun Panembahan senopati itu akan berkuasa. Sebab menurut kabar, syarat menjadi Raja Mataram ialah harus lebih dulu punya pengalaman paling sedikit lima tahun sebagai Raja Mataram!

CEKAL : Jadi, Adimas Karang Gumantung, malam ini kita mendapat ilmu bahwa Mataram seharusnya berpikir secara warok.

KARANG : Memerintah secara warok, bahkan kalau perlu Mataram yang mengirimkan upeti tahunan kepada kaum warok.

CEKAL : Tapi yang sungguh sukar kumengerti, Adimas, para warok ini tampaknya bekerja sama dengan kaum santri. Padahal bukankah Panembahan Senopati sendiri adalah juga seorang santri.

KARANG : Dan Ki Mondoroko adalah seorang Kiai.

SUBENDO : Adi! Panembahan Senopati adalah santri Roro Kidul.

JOLEGO : Dan Ki Mondorolo Juru Martani adlah Kiai Gondhal Gandhul.

KARANG : Maaf, Ki Warok. Kata-kata Ki Warok yang terakhir itu sungguh-sungguh harus disebut sebagai penghinaan kepada sesepuh kami!

CEKAL : Sesepuh seluruh warga Kraton dan rakyat Mataram!

SUBENDO : Syukur, syukur, Adi. Mereka ternyata masih bisa merasa terhina. Berarti masih punya perasaan.

JOLEGO : Masih manusia.

(Ketegangan itu menjadi tidak lagi berselisihan dan melingkar, melainkan mulai berhadap-hadapan)

KARANG : Kakang, tampaknya kita memang harus mendayagunakan tangan kita kepada orang-orang yang makin tidak tahu diri ini.

CEKAL : Setiap mulut bebas berbicara. Tapi terhadap mulut yang terbuka lebar, setiap tangan juga bebas menamparnya.

SUBENDO : Tampar! Tampar kami, Ki Tumenggung. Kami ini orang dusun. Negeri kami adalah sawah-sawah, sapi, kerbau, kambing dan ayam. Kerajaan kami adalah angin, cuaca, langit dan bintang-bintang. Sehingga kami tidak pernah bisa paham kenapa tiba-tiba kami dianggap menjadi bagian dari kekuasaan Mataram!

JOLEGO : Raja kami adalah penguasa alam semesta. Tumenggung kami adalah pergantian siang dan malam. Lurah-lurah kami adalah tangan-tangan tersembunyi yang menerbitkan matahari, menumbuhkan tanam-tanaman dan membunyikan kicau burung-burung.

KARANG : Berbicaralah dengan bahasa yang jelas.

CEKAL : Kami tidak pernah mempelajari bahasa burung-burung.

JOLEGO : Kalau begitu inilah, bahasa sapi jantan!

(Hampir saja warok — warok itu melompat kearah dua Tumenggung, jika tidak tiba-tiba terdengar suara tembang yang memukau perhatian dan mencengkeram kesadaran empat orang itu)

Lainnya

Perahu Retak (16/17)

Perahu Retak (16/17)

Mataram dan agama baru yang dipeluknya sedang diuji. Apakah mereka akan melangsungkan perkawinan dan bekerjasama yang seimbang dan adil, ataukah akan saling menjadi musuh di belakang kegelapan masing-masing.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version