CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (9/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Sembilan

(Raden Mas Kalong muncul ke tengah ketegangan antara rombongan santri, Marsiung dan Nyi Demang Sendangsih)

MURTADLO : Raden Mas Kalong!

KALONG : Kalong. Tak usah pakai Raden Mas.

MARSIUNG : Apa lagi ini! Datang cecunguk baru, Berlagak, menakut-nakuti. Raden Mas Raden Mas!

KALONG : Aneh. Apa urusan kalian dengan soal takut, menakut-nakuti dan ditakut-takuti?

ANAK BUAH

MARSIUNG : Kau jangan berlagak seolah-olah kau adalah seorang Pangeran dari Kraton.

KALONG : Memang bukan.

TIWUL : Raden Mas Kalong ini lebih suka tidak dikenal sebagai orang Kraton, karena itu kita tak usah memanggilnya dengan Raden Mas segala.

MARSIUNG : Bohong!

WULUH : Bohong yang mana. Bohong bahwa ia Raden Mas atau bahwa ia bukan Raden Mas?

ANAK BUAH

MARSIUNG : Licik!

(Muncul Ki Carik Sukadal, menyambung anak buah Ki Marsiung)

SUKADAL : Memang licik.

MARSIUNG : Ki Carik Sukadal!

SUKADAL : Kalong ini memang licik.Tapi itulah satu-satunya cara untuk membuat kalian tidak terkencing-kencing mendengar bahwa ia orang besar dari Istana.

MARSIUNG : Lho, Ki Jogoboyo. Marilah semua ini kita bicarakan bersama-sama dengan hati tenteram. Bukan begitu, Nyi Demang?

SENDANGSIH : Ya. Kita nilai bersama dengan kepala dingin, apa yang sebenarnya sedang terjadi.

MARSIUNG : Berbahaya, Nyi Demang. Yang terjadi ini sungguh sangat berbahaya. Seperti beling dalam usus. Tak tampak, tapi membuat orang mati mendadak.

SENDANGSIH : Kata-katamu tidak jelas, Jogoboyo

KALONG : Itulah beling namanya. Tidak jelas, tapi membuat orang tumpas.

SUKADAL : Kuharap Raden Mas jangan memperkeruh keadaan.

MARSIUNG : Jangan percaya bahwa ia seorang Raden Mas, Ki Carik!

TIWUL : Ya. Sebaiknya Ki Carik Kadal tak usah percaya.

WULUH : Supaya tidak pingsan ketakutan.

KALONG : Tidak penting apakah aku Raden Mas atau bukan. Urusanku di sini adlah untuk menyaksikan bagaimana para pamong tlatah Mataram menangani soal-soal kecil seperti ini.

SUKADAL : Jangan khawatir. Kami sangat membiasakan rebuk. Kami membenci kekerasan. Begitu bukan, Nyi Demang?

SENDANGSIH : Tepat, Kadal.

SUKADAL : Tepat ingat, kearifan setinggi apapun yang bisa kami lakukan, itu sama sekali tidak untuk membuktikan apapun kepada siapapun, termasuk kau (kepada Kalong), kecuali untuk darma bakti itu sendiri.

MURTADLO : Aku justru ingin membuktikan kepada Raden Mas Kalong bahwa yang mengacau bukanlah kami melainkan Ki Marsiung dan rombongannya.

MARSIUNG : Gojleng-gojleng!

MURTADLO : Para penduduk bergembira menonton dan bahkan terlibat dalam pertunjukan kami. Mereka menembang bersama kami, membunyikan tetabuhan dan menari bersama kami. Mereka juga senang para santri ini menemani mereka di sawah, membantu mencangkul, serta mengajak anak-anak dolanan.

MARSIUNG : Itu penafsiran kalian!

MURTADLO : Tak ada yang perlu ditafsirkan. Penerimaan ikhlas para penduduk atas kedatangan kami adalah bukti yang sudah berbicara dengan sendirinya tanpa memerlukan penafsiran apapun.

KALONG : Mas Santri Murtadlo. Penafsiran memang bisa lain-lain. Kenyataan yang sama bisa lain wajahnya jika dilihat dari sisi yang berbeda. Bisa saja bagi pamong dusun ini, apa yang kalian lakukan bukanlah untuk tujuan kegembiraan penduduk itu sendiri, melainkan untuk mencapai tujuan lain yang kalian sembunyikan.

SUKADAL : Itu kata-kata anak muda yang dewasa.

MARSIUNG : Baru kali ini sehat akalmu, Kalong.

KALONG : Akalku selalu sehat, Ki Marsiung. Oleh karena itu aku menafsirkan bahwa apa yang dilakukan oleh para santri ini adalah semata-mata demi kebaikan dan kesejahteraan penduduk dusun Trembesi ini.

MARSIUNG : Druhun! Druhun!

SUKADAL : Kau harus siap berbeda pendapat, Jogoboyo….

MARSIUNG : Ini bukan soal perbedaan pendapat. Yang aku jalankan ini mandat dari Ki Tumenggung Karang Gumantung dan Ki Tumenggung Cekal Bhirowo!

SENDANGSIH : (Sangat terkejut) Apa, Marsiung? Mandat dari Tumenggung? Akulah orang pertama pemegang kewenangan di dusun ini. Kalau ada perintah dari atasan, akulah yang pertama-tama menerimanya dan yang pertama-tama mempertanggung jawabkannya.

Gung Binthara! Pasti ada sesuatu yang tidak beres! Sekarang aku ambil keputusan: Kau, Marsiung, Murtadlo…. atau – baiklah – kau juga Kalong dan Carik Kadal, ikut aku ke Pendopo Kademangan untuk memperjelas semua ini secara lebih tertib, yang lain silahkan menunggu….

(Kalimat Nyi Demang Sendangsih terpotong oleh suara Nimas Jambuwangi yang muncul dari suatu arah)

JAMBUWANGI : Tidak usah menunggu, Nyi Demang. Segala sesuatunya telah jelas.

SENDANGSIH : Siapa kau?

JAMBUWANGI : Tidak penting siapa aku. Yang harus kita selesaikan adalah sesuatu yang akan aku tunjukkan kepada Nyi Demang.

SENDANGSIH : Apa maksudmu?

JAMBUWANGI : Sebenarnya aku sudah tidak sabar. Tapi rupanya Kangmas Kalong keenakan berbasa-basi di sini.

KALONG : Jangan salah paham, Nimas. Sengaja hal ini kuulur-ulur supaya makin terbuka topeng-topeng yang kita cari dari wajah orang-orang ini.

MARSIUNG : Igauan apa lagi ini!

JAMBUWANGI : Marsiung! Kali ini pandai-pandailah menahan mulut!

MARSIUNG : Menyun! Apa kamu ini anak Malaikat, sehingga berani-berani membentak Ki Marsiung?

JAMBUWANGI : Namaku Jambuwangi. Jambuwangi adalah orang yang Marsiung tidak boleh seenaknya bicara. Jambuwangi berbeda dengan siapapun lainnya yang ada di sini.

MARSIUNG : Kamu perawan kencur dari mana?

JAMBUWANGI : Dari puncak Gunung Lawu. Datang ke mari untuk mematahkan lehermu menjadi sepuluh bagian!

MARSIUNG : Wewe gombel….

KALONG : Tutup mulutmu!

(Semua terkesima oleh bentakan Kalong, yang kemudian amat cepat berlari ke suatu tempat, lantas kembali membopong di tangannya segumpal tubuh yang lunglai)

(Semua tergeregap, Murtadlo dan para santri lainnya spontan menghampiri. Memekiklah mereka setelah melihat bahwa yang dibopong Kalong adalah jenasah santri Sahil)

TIWUL : Aku tidak terima!

WULUH : Aku menuntut!

MURTADLO : Jiman! Kijing! Cepat kalian pergi menyusul Kiai Tegalsari dan Syech Jangkung untuk memberitahukan kekejaman ini!

SUKIJING : Ki Marsiung harus membayar dengan nyawanya!

JAMBUWANGI : Kalau soal Marsiung, cukup dengan menggerakkan jari-jari. Tapi ini adalah benih dari permasalahan besar yang menyangkut Kerajaan dan seluruh rakyat.

MURTADLO : Kijing! Jiman! Cepat pergi! Nyi Demang! Aku kejar urusan ini sampai ke ujung bumi!

SENDANGSIH : Aku orang pertama yang akan mengejar pembunuh yang mempermalukan dusunku ini.

SUKADAL : Jangan khawatir, Nak Santri. Keadilan adalah segala-galanya di dusun Trembesi ini. Yang penting sekarang kita selenggarakan dulu pemakaman sebaik-baiknya….

SENDANGSIH : Beri aku waktu satu dua hari untuk meneliti dan menilai semua ini. Tanganku sendirilah yang pertama-tama menjambak rambut siapa saja yang bersalah!

(Suara Nyi Demang Sendangsih ditimpa kemudian oleh suara raungan nada tinggi Murtadlo dan para santi lainnya, sambil menengadah ke langit, mengangkat tangan tinggi-tinggi)

Lainnya

Perahu Retak (8/17)

Perahu Retak (8/17)

Terserah kalian penerus Malaikat atau Jin. Tapi semua di muka bumi ini ada aturannya. “Desa mawa cara, Negara mawa tata”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version