CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (1/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Para Tokoh

    • Syech JANGKUNG, Guru pengembara
    • Kiai TEGALSARI, Pimpinan Pesantren
    • Raden Mas KALONG, Murid Jangkung
    • Nimas JAMBUWANGI, adik Kalong
    • Warok GAGANG SUBENDO
    • Warok WONGSO JOLEGO
    • Tumenggung KARANG GUMANTUNG
    • Tumenggung CEKAL BHIROWO
    • Ki MONDOROKO, Penasihat Kraton Mataram
    • Nyi Demang SENDANGSIH, Demang Trembesi
    • Carik SUKADAL, Pamong Trembesi
    • Ki Jogoboyo MARSIUNG, Pamong Trembesi
    • SUKIJING, SUJIMAN, TIWUL, WULUH, PARA SANTRI
      (Kumpulan Rakyat, SANTRI, atau pemeran lain yang diperlukan)

Satu

(Semacam Padepokan di lereng bukit
Di tlatah timur wilayah Kerajaan Mataram, abad ke-16.

  • Syech Jangkung yang terkadang tampak serius dan mendalam, di saat lain sinting.
  • Raden Mas Kalong yang gagah dan menggebu-gebu.
  • Nimas Jambuwangi yang manja tapi bersungguh-sungguh.
  • Jangkung melatih Kalong, Jambuwangi memperhatikan sambil sesekali terlibat).

JANGKUNG : Kalong.

KALONG : Ya, Guru.

JANGKUNG : Kau masih punya peluang untuk meragukan pilihanmu. Cobalah berpikir ulang.

KALONG : Tidak, Guru.

JANGKUNG : Kau rela adikmu Jambuwangi membantuku untuk melatihmu?

KALONG : Dalam posisi itu, ia bukan adikku, melainkan juga guruku.

JAMBUWANGI : Kakak seperguruan! Bukan Guru! Jaga lidahmu, Kakang!

KALONG : Ya. Maafkan aku.

JANGKUNG : Jadi kau benar yakin dengan keputusanmu?

KALONG : Yakin, Guru.

JANGKUNG : Menempuh jalan yang berbeda dengan yang ditempuh oleh ayahandamu sendiri, Pangeran Benowo?

KALONG : Maaf, Guru. Aku tak bersedia sembunyi di balik kekalahan yang ditutup-tutupi dengan kearifan.

JANGKUNG : Itu pernyataan besar, Kalong. Sampai beberapa abad mendatang sejarah tetap saja berputar-putar dalam rahasia yang terkandung di balik kalimatmu itu. Tapi aku ingin bertanya dulu, apakah Pangeran Benowo itu kalah?

KALONG : Mengalah, untuk akhirnya sungguh-sungguh kalah. Bungkam, untuk akhirnya benar-benar tenggelam.

JANGKUNG : Hati-hati mengucapkan kata, Kalong. Pada suatu hari kau bisa dipermalukan oleh jarak yang terentang antara ucapan mulutmu, dengan hatimu, dengan pikiran dan kenyataan hidupmu.

KALONG : Maka aku belajar untuk utuh, Guru.

JANGKUNG : Padahal kau datang kepadaku untuk belajar berkelahi.

KALONG : Tidak, Guru. Belajar mempertahankan diri.

JANGKUNG : Ayahandamu adalah pendekar segala pendekar. Kakekmu, Hadiwijawa atau si Karebet itupun tak bisa mengatasi kesaktiannya. Apalagi Jebeng Sutawijaya paman angkatmu itu. Namun justru puncak kesaktiannya itulah yang membuat ayahandamu memutuskan untuk tidak pernah berkelahi.

KALONG : Ia sibuk dengan dirinya sendiri, Guru. Ia asyik dengan kearifan, kemuliaan, dan keagungan pribadinya sendiri. Padahal yang menjadi persoalan di Mataram bukanlah kebanggaan atas mahkota-mahkota kepribadian, melainkan perlawanan terhadap kekuasaan yang menjebak-jebak!

JANGKUNG : (Tertawa) Kau ini bayi, Kalong! Cobalah belajar bernapas dulu!

KALONG : (Napas dan gerak)

JANGKUNG : Satu langkah kebenaran berjalan, Kalong, sepuluh langkah kejahatan melampauinya.

KALONG : (Napas dan gerak)

JANGKUNG : Kebenaran pontang-panting.

KALONG : (Meningkat)

JANGKUNG : Kalong. Apa warna kebenaran?

KALONG : Putih, Guru.

JANGKUNG : Dan warna kejahatan?

KALONG : Hitam.

JANGKUNG : O, jadi kehidupan ini hitam putih. Yang putih dipuja, yang hitam dikutuk?

KALONG : Tidak. Karena manusia berwarna putih sekaligus hitam.

JANGKUNG : Di manakah rumah persemayaman bagi warna hijau, kuning, ungu, biru atau kelabu?

KALONG : Juga di sel-sel darah setiap manusia. Nilai kehidupan berkutubkan putih dan hitam, tapi manusia menelan semua warna.

JANGKUNG : Sehingga wajah dan kepribadiannya tidak menentu?

KALONG : Ya. Tidak menentu. Tapi juga kaya, karena itu. Manusia memilih satu atau dua warna untuk dipoleskan di wajahnya, dan itu bisa berganti setiap pagi dan sore.

JANGKUNG : Atas pertimbangan apa manusia mengganti warna? Kebaikan? Keindahan? Kebahagiaan? Ketentraman?

KALONG : Selera, dan keuntungan. Manusia tidak terutama berpikir baik atau buruk, melainkan enak atau tidak enak, menguntungkan atau tidak menguntungkan …..

JANGKUNG : Serakah atau tidak serakah. Hmmm. Keserakahan berlari bagai angin badai. Menyeret. Menerbangkan manusia ke ruang-ruang kehampaan.

KALONG : (Napasnya terus menaik)

JANGKUNG : Manusia tergulung-gulung, berputar-putar bagai angin siklon, membanting dirinya sendiri.

KALONG : (Makin menaik)

JANGKUNG : Jadi, Kalong, siapakah yang menang?

KALONG : Dunia.

JANGKUNG : Dan yang kalah?

KALONG : Manusia

JANGKUNG : Kau — yang kalah! Batinmu tidak bertahan mengendap. Jiwamu teraduk-aduk. Napasmu tersengal-sengal.

KALONG : Ampun, Guru.

JANGKUNG : Maka cobalah bergerak melampaui waktu!

KALONG : Ya, Guru.

JANGKUNG : Gerakan badan, bukan mulut!

KALONG : (Gerak dan berteriak)

JANGKUNG : Jangan berteriak. Itu membuatmu bodoh.

KALONG : Maaf, Guru.

JANGKUNG : Kadangmu Sutawijaya telah melakukan apa saja, membeli dan menjual apa saja untuk menggerogoti waktu dengan kekuasaannya. Dalam waktu sehari kau bisa tertinggal bertahun-tahun. Kadangmu Sutawaijaya …..

KALONG : (Mendadak memekik) Guru! Jangan sebut nama yang membuat hatiku koyak-moyak!

(Raden Mas Kalong bergerak dan berteriak-teriak seperti orang mengamuk. Tapi kemudian dengan satu sentuhan kecil di antara pundak dan lehernya oleh tangan Syech Jangkung, Kalong menjadi lunglai dan terengah-engah)

Lainnya

Perahu Retak (16/17)

Perahu Retak (16/17)

Mataram dan agama baru yang dipeluknya sedang diuji. Apakah mereka akan melangsungkan perkawinan dan bekerjasama yang seimbang dan adil, ataukah akan saling menjadi musuh di belakang kegelapan masing-masing.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Perahu Retak (8/17)

Perahu Retak (8/17)

Terserah kalian penerus Malaikat atau Jin. Tapi semua di muka bumi ini ada aturannya. “Desa mawa cara, Negara mawa tata”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib