CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (15/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Lima belas

(Di suatu tempat yang remang-remang, Ki Mondoroko Juru Martani menemui dua tamunya, Syech Jangkung dan Kiai Tegalsari)

MONDOROKO : Betapa aneh perbincangan yang Kiai dan Syech usulkan. Kalau hal pembunuhan di Ponorogo, aku sangat paham. Tetapi masalah yang kedua, apa telingaku yang sudah terlalu renta ini tidak salah dengar?

JANGKUNG : Sama sekali tidak. Nayia Roro Kidul. Memang itulah masalah yang ingin kami tanyakan.

MONDOROKO : Apa itu masalah bagi Syech dan Kiai?

JANGKUNG : Masalah bagi seluruh rakyat Mataram.

TEGALSARI : Dan semua orang Jawa.

MONDOROKO : Setahuku, itu urusan pribadi Nandalem Jebeng Sutawijaya.

TEGALSARI : Urusan pribadi. Tepat sekali.Seluruh tanah Mataram, semua gunung, pepohonan, sungai, ikan dan buah-buahan Mataram, memang urusan pribadi Sutawijaya.

JANGKUNG : Bagi penglihatanku, penglihatan mata orang hutan semacam aku ini, Ki Mondoroku, Nyai Roro Kidul itu sihir.

MONDOROKO : O, alangkah dahsyatnya!

JANGKUNG : Nyai Roro Kidul adalah tahayul yang sengaja disebarkan. Tidak jelas melalui pintu dan saluran mana, tahu-tahu semua orang kecil di negeri ini diam-diam merasa ketakutan. Dulu mereka segan dan hormat kepada para Wali, dan itulah landasan kekuaran batin mereka di depan gerbang Kerajaan, sebab para Wali itu mewakili hari nurani dan nasib mereka. Tetapi kepada Nyai Roro Kidul, yang terjadi bukanlah segan dan hormat, melainkan ketakutan. Juga rasa terasing, karena bagaimana mungkin Ratu Laut Kidul mewakili hati para rakyat manusia.

TEGALSARI : Sihir itu tidak jelas ujung pangkalnya. Sebab yang paling bersangkutan dengannya, yakni Panembahab Senopati dan penasehatnya yang lembut dan tajam bagai mata pedang para Malaikat, selalu mengelak jika ditanyakan kepada mereka masalah itu.

MONDOROKO : Ah, Syech dan Kiai. Apakah tidak memalukan kalau orang-orang tua semacam kita meributkan soal-soal sepele.

TEGALSARI : Sepele, Ki Mondoroko?

JANGKUNG : Cukup bagiku. Jelas sudah bahwa bagi Ki Mondoroko rakyar Mataram itu sepele.

MONDOROKO : Ah, Syech ini mengada-ada.

TEGALSARI : Maksud Ki Mondoroko, Nyai Roro Kidul itu memang mengada-ada? Alias sebenanya tidak ada?

JANGKUNG : Mengada-adakah juga gelar Sultan yang kemudian diganti menjadi Panembahan?

MONDOROKO : Kenapa kita jadi pening oleh persoalan bahasa, Syech dan Kiai?

TEGALSARI : Karena sepatah kata bisa menentukan apakah sebilah pedang disarungkan atau ditancapkan?

MONDOROKO : Tuhan memahami bahasa setiap makhluk-Nya dan tidak minta orang hutan belantara macam kita menggunakan bahasa padang pasir.

JANGKUNG : Tuhan tidak membatasi bahasa , tapi mengalungkan nilai kebenaran di leher setiap manusia. Tatkala para Wali melatarbelakangi kepemimpinan Demak dan Pajang, kebenaran tidak tergenggam di tangan Raja, melainkan di tangan kebenaran itu sendiri. Itulah hikmah adanya agama. Tapi kemudian oleh Nyai Roro Kidul, nilai kebenaran bisa direbut kembali oleh tangan Raja. Setiap kerdipan mata Raja adalah kebenaran. Setiap ucapan Raja, langkah kaki Raja, ludah dan batuk Raja, adalah kebenaran.

MONDOROKO : Kiai dan Syech. Betapa terpukulnya hatiku oleh kata-kata itu. Tapi aku sudah cukup tua untuk tetap bersabar menyatakan bahwa bukankah Mataram menerima Islam dengan baik-baik?

TEGALSARI : Setahu kami bukan menerima baik-baik Ki Mondoroko, melainkan terpaksa menerima.

JANGKUNG : Terpaksa menerima kemudian berupaya menjinakannya, karena jika kebenaran dilaksanakan sungguh-sungguh kebenaran, bagi kerajaan hal itu merupakan ancaman.

MONDOROKO : Kami sendiri merasa bahwa Mataram dengan Islam telah menyatu seperti sungai dengan airnya, seperti matahari dengan cahayanya.

JANGKUNG : Mataram menjadi bagian dari Islam atau Islam menjadi bagian dari Mataram?

MONDOROKO : Seperti suami dan istri, Syech. Masing-masing adalah bagian, tapi masing-masing juga keseluruhan.

TEGALSARI : Di situlah letak duka zaman ini, Syech. Seluruh rakyat percaya kata-kata itu. Bahkan juga tak sedikit di antara kaum Ulama yang hidupnya mengabdi kepada pemilikan tanah, rumah dan ketentraman dunia.

MONDOROKO : Kiai, Syech! Aku ini bukan ahli filosofi. Aku sekadar seorang abdi masyarakat yang selalu merindukan Persatuan Matara. Itu saja.

TEGALSARI : Persatuan Mataram. Sihir sakti yang akan meninabobokkan berpuluh-puluh generasi.

JANGKUNG : Atas nama Persatuan Mataram, apa saja boleh dilakukan oleh Raja. Demi Persatuan Mataram nyawa orang yang tak sependapat boleh dimusnahkan. Demi Persatuan Mataram , rakyat kecil boleh diperas, boleh diusir dari kampungnya sendiri.

MONDOROKO : Syech Jangkung dan Kiai Tegalsari yang kujunjung tinggi. Adakah kita sekarang ini sedang melakukan perbincangan sesame orang tua, atau perlahan-lahan sedang merencanakan pertentangan?

TEGALSARI : Perang telah dirintis oleh gagasan kekuasaan Mataram sendiri, Ki Mondoroko.

MONDOROKO : Apa telingaku tidak salah dengar, Kiai?

TEGALSARI : Para pamong di berbagai wilayah menghalangi kegitan santri-santriku. Terkadang bahkan dibantu oelh sejumalah Ulama Istana yang memusuhi kami. Dan sekareang ini kami dating ke mari karena salah seorang santriku terbunuh.

MONDOROKO : Astaga! Siapakah yang membunuhnya?

JANGKUNG : Itu pertanyaan kami kepada Ki Mondoroko!

MONDOROKO : Alangkah hebatnya aku, orang tua yang terbongkok-bongkok badannya dan tersengal-sengal napasnya, dianggap tahu sesuatu tentang pembunuhan yang terjadi nun jauh di sana.

TEGALSARI : Karena memang wilayah Mataram yang luas ini hanyalah sepetak kecil dalam otak Ki Mondoroko.

MONDOROKO : Betapa sakitnya aku. Sehingga aku sendiri kaget mendengarnya. Tapi baiklah. Aku berjanji meminta Anakmas Panembahan Senopati untuk mengirim Kelompok Penyidik atas kejadia itu. Di mana itu, Kiai? Syech? Ponorogo sebelah mana?

JANGKUNG : Kalau selicin ini Ki Mondoroko, tak bisa kubayangkan Mondoroko-Mondoroko di abad-abad yang akan datang! Dan betapa tololnya aku, yang tak pernah sungguh-sungguh menyadari bahwa kaum penguasalah kakek-neneknya segala maling yang teriak maling.

MONDOROKO : Aku sudah terlalu tua untuk membantah setiap kesalahpahaman atasku. Tetapi aku menjamin bahwa Mataram akan menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas dan seadil-adilnya.

TEGALSARI : Ribuan kali terdengar kata semacam itu , ribuan kali pula ia tak dilaksanakan.

JANGKUNG : Sesungguhnya, meskipun kami ini rakyat kecil yang tak berarti apa-apa, naun selalu beritikad membantu Mataram, asalkan hak-hak kemanusian benar-benar diperhatikan, Tetapi yang selama ini kami saksikan, sama sekali tidak demikian.

MONDOROKO : Kiai! Apakah tamparan yang bertubi-tubi ke telingaku ini memang tantangan utnuk bertanding?

TEGALSARI : Seandainya perang kesaktian badan bisa menyelesaikan persoalan, betapa senangnya aku. Namun saying, perang hanya punya kemampuan untuk menambah jumlah dendam.

JANGKUNG : Kalau kita berdua bertabrakan, Ki Mondoroko, aku tidak punya kemungkinan lain kecuali menang. KI Mondoroko tahu itu. Tetapi yang memedihkan hati setiap orang yang berakal sehat adalah betapa landasan berpikir kekuasaan Mataram akan memelihara dendam demidendam tanpa habis-habisnya.

MONDOROKO : Bukankah kita bisa bersepakat untuk menerima ini semua dengan hati yang lapang, Syech?

JANGKUNG : Menerima pembunuhan di Trembesi dan kebrutalan-kebrutalan lain dengan hati yang lapang?

MONDOROKO : Sekali lagi, soal itu akan kami berswkan. Siapa yang bersalah, akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

TEGALSARI : Ki Mondsoroko mengulang-ulang kalimat yang sama, yang telah Ki Mondoroko sediakan sejak jauh sebelum pembunuhan dan segala kebrutalan itu dilangsungkan.

JANGKUNG : Karena itu kami tidak percaya, Ki Mondoroko. Namun kami tetap bersedia memberi peluang sampau pada suatu hari kami akan datang kembali menagih!

(Terkekeh-kekeh suara tertawa Ki Mondoroko, mengiringi kepergian Syech Jangkung dan Kiai Tegalsari)

Lainnya

Perahu Retak (6/17)

Perahu Retak (6/17)

Aku ini orang Jawa. Aku juga orang Islam. Mungkin harus ditambah pula: aku ini orang tlatah Mataram. Yang mana yang utama di antara ketiganya?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version