CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (6/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Enam

(Kegiatan Syech Jangkung, Raden Mas Kalong dan Nimas Jambuwangi terhenti oleh suara tepuk tangan riuh.
Rupanya Kiai Tegalsari berserta santri-santrinya telah memperhatikan mereka sejak tadi)

TEGALSARI : Luar biasa. Luar biasa, Syech, caramu melatih Kalong. Keras dan kejam. Kami khawatir ia akan pingsang berpuluh-puluh tahun lamanya.

(Semua tertawa)

JANGKUNG : Selamat datang, Kiai. Tadi, begitu kurasakan Kiai dan para santri ini hadir, sengaja latihan ini kuperkeras. Supaya kami tidak terlalu diremehkan oleh pendekar-pendekar batu padas dari Ponorogo pimpinan Kiai Tegalsari.

(Semakin akrab)

TEGALSARI : (Kepada para santrinya) Anak-anak, Syech Jangkung menyebut kalian pendekar-pendekar batu padas.

SEORANG SANTRI : Tepat, Syech. Batu memang gampang pecah.

JAMBUWANGI : Pecah dan mencair. Guru ini pasti lupa bahwa para santri Kiai Tegalsari adalah justru pendekar-pendekar yang menguasai ilmu air.

JANGKUNG : O, benar, benar. Alangkah pikunnya aku. Ilmu air. Ilmu Khidlir. Ilmu mengalir. Lembut tapi sesekali sanggup menjadi banjir.

JAMBUWANGI : Air, kalau dibakar, ia pura-pura terbakar, dengan carai menjadi uap. Nanti sesudah api pembakar itu lega hatinya karena merasa menang, diam-diam uap akan menjelma kembali menjadi air, tanpa kurang suatu apa.

TEGALSARI : (Kepada para santrinya) Anak-anak, kapan-kapan bergurulah kalian kepada Syech Jangkung, untuk belajar menyusun kata-kata pujian.

JAMBUWANGI : Kiai keliru. Tak ada orang di muka bumi ini yang pelit pujian melebihi guru kami. Beliau selalu membentak dan menggertak. Mengecam dan menghajar kami dengan kemarahan. Tapi memang itulah satu-satunya cara agar kakangku Kalong si burung perkutut itu bisa berubah menjadi ayam kampung yang tidak manja.

TEGALSARI : Benar kata-kata adikmu itu, Kalong?

KALONG : Adikku Jambuwangi ini selalu menggodaku karena Guru sangat memanjakan. Kalau kutantang berkelahi, dengan licin ia menjawab: “Aku tidak bersedia meladeni tantangan pendekar banci yang beraninya cuma melawan perempuan…..”

(Sangat mesra cara mereka bergurau)

JAMBUWANGI : Itulah caraku untuk melindunginya, Kiai. Karena itu pula Kakang Kalong diam-diam melatih diri secara amat keras dan terkadang melebihi takaran. Tapi kami memang memerlukan itu, Kiai. Menurut Guru, hari-hari di depan kami akan berlangsung lebih keras dan kejam dibanding yang pernah kami alami selama ini. Para priyagung di Kraton dan sekitarnya – mungkin termasuk kami – sebenarnya selalu saling lirik-melirik untuk mengincar perubahan kekuasaan yang tak bisa diduga oleh siapapun.

TEGALSARI : Persis. (Tiba-tiba serius nadanya) Oleh karena itu, sekarang, Syech, sekarang…..

JANGKUNG : Sekarang, Kiai?

TEGALSARI : Ya. Sekarang.

JANGKUNG : Kalong!

KALONG : Ya, Guru.

JANGKUNG : Kulepaskan kau sekarang, ditemani oleh Jambu adikmu. Pergi belajarlah kepada santri-santri ini. Cobalah belajar menangani persoalan yang sederhana dulu. Setiap butir kata-katamu telah kugenggam di tanganku, sehingga setiap saat kubuka tanganku ini untuk melihat apakah kata-katamu itu kau hidupi atau tidak.

KALONG : Aku junjung tinggi wanti-wanti Guru.

(Kalong, Jambuwangi dan para santri pamit dan berlalu)

TEGALSARI : Ki Mondoroko menanti kita, Syech, tepat tengah malam nanti.

JANGKUNG : Di mana?

TEGALSARI : Di lereng utara Gunung Lawu. Tepatnya di ujung hutan gamping tengah.

JANGKUNG : (Tertawa) Terima kasih, Kiai. Semula kupikir penasihat Kerajaan Mataram itu menunggu kita di Istana.

TEGALSARI : Orang tua itu tahu persis bahwa bagi Syech, istana hanya ada dua. Di ujung langit dan di hutan belantara.

JANGKUNG : Tapi aku tahu bukan itu soalnya. Aku tahu Mataram menghindarkan tanah Kraton dari jejak kaki para Penerus Wali Sanga, sebab Nyai Roro Kidul tidak bersedia dimadu. (Tertawa keras)

Gonjang-ganjing! Inilah guratan awal dari wajah sejarah hari depan bangsa kita di Pulau jawa ini serta kepulauan lain di Nusantara!

TEGALSARI : Syech, apakah kita sedang bertakabur bahwa kita adalah penerus para wali?

JANGKUNG : Kita ini buangan, dan bukan Wali.

TEGALSARI : Mudah-mudahan tak seburuk itu, Syech. Tapi jelas Ki Mondoroko sangat menghormati pilihan pengembaraan hidup Syech. Penasihat Sutawijaya itu sudah mengenal sangat banyak orang gila… (Tertawa)

Oleh karena itu aku berharap perjalanan kita ini tak usah merupakan perjalanan yang keras. Apalagi harus ada kaitannya dengan tetesan darah.

JANGKUNG : Apakah itu tidak lebih baik, Kiai, dibanding samudera darah yang akan menggenangi hari-hari mendatang kalau hubungan antara Mataram dengan Islam tidak dibenahi?

TEGALSARI : Mataram yang mana, Islam yang mana. Tetapi, Syech, jangan-jangan kalimatmu itu muncul dari ketidaksabaran.

JANGKUNG : Kewaspadaan, Kiai. Arya Penangsang telah tumpas arang keranjang. Itulah hasil terakhir dari ketidaksediaannya mengirim upeti ke Kerajaan, karena dia tidak pernah tega menghisap darah rakyatnya yang melarat-melarat….

TEGALSARI : Hmm.

JANGKUNG : Kalau pertentangan paham kepercayaan antara Mataram dan Islam termuati oleh soal-soal kekuasaan dan kemiskinan, tak seorangpun bisa menjamin bahwa Arya Penangsang Arya Penangsang baru tak akan lahir. Juga tak ada yang menjamin bahwa Arya Penangsang di masa datang pasti juga akan kalah. Padahal kalau Penangsang menang, dan kalau orang Islam harus berbaju dan bermahkota kekuasaan, aku tidak menjamin bahwa itu akan merupakan jalan lempang.

TEGALSARI : Syech. Kalau kekuasaan yang telah dialihkan dari pantai ke pedalaman ini berhasil digeser kembali ke pesisir yang lebih memiliki keterbukaan dana kesamaan, tidakkah itu suatu kemungkinan yang menggembirakan?

JANGKUNG : Kemungkinan apa, Kiai?

TEGALSARI : Kemungkinan untuk menghindarkan pertentangan pulau antara Jawa dan Islam.

JANGKUNG : Antara Jawa dan Islam, Kiai, sesungguhnya setiap diri kita adalah tlatah peperangan antara dua hal itu. Aku ini orang Jawa. Aku juga orang Islam. Mungkin harus ditambah pula: aku ini orang tlatah Mataram. Yang mana yang utama di antara ketiganya? Sebenarnya aku tak percaya bahwa ini suatu perbenturan. Tapi kenapa sejarah hari depan bangsa kita menamparku dengan getaran itu, Kiai?

Perbenturan antara mereka yang mengutamakan Mataram dengan yang mengutamakan Jawa serta dengan yang mengutamakan Islam. Silang sengkarut, silang sengkarut, silang sengkarut…..

TEGALSARI : (Menyeret Syech Jangkung) Ayolah Syech! Ayo, Ki Mondoroko menanti kita.

JANGKUNG : Kenapa tidak si Jebeng Sutawijaya si pengarang kisah Nyai Roro Kidul itu sekalian!

TEGALSARI : Mondoroko pengkhayalnya, Syech. Tapi sudahlah.

(Berlalu)

Lainnya

Perahu Retak (16/17)

Perahu Retak (16/17)

Mataram dan agama baru yang dipeluknya sedang diuji. Apakah mereka akan melangsungkan perkawinan dan bekerjasama yang seimbang dan adil, ataukah akan saling menjadi musuh di belakang kegelapan masing-masing.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Perahu Retak (15/17)

Perahu Retak (15/17)

Lima belas

(Di suatu tempat yang remang-remang, Ki Mondoroko Juru Martani menemui dua tamunya, Syech Jangkung dan Kiai Tegalsari)

MONDOROKO : Betapa aneh perbincangan yang Kiai dan Syech usulkan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib