CakNun.com
Sebuah lakon tradisi

Perahu Retak (2/17)

Cermin perselisihan

Jawa - Islam

di awal Kerajaan Mataram
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 1 menit
Naskah Drama Perahu Retak karya Emha Ainun Nadjib.

Dua *)

(Rombongan Santri diikuti oleh sejumlah penduduk desa Trembesi, Murtadlo, pimpinan para santri itu tampaknya sedang mendongeng atau mengemukakan sesuatu yang tampaknya baru bagi mereka, sehingga terdengar gemeremang tanggapan-tanggapan, baik dari penduduk maupun santri lain, Sujiman, Sukijing, Tiwul dan Wuluh)

“Berapa luas ruang?”, kata pimpinan santri.

(Penduduk dan santri lain riuh menjawabnya).

“Berapa jumlah bintang?”, kata pimpinan santri itu lagi.

(Penduduk dan santri lain riuh menjawabnya, Juga kemudian pertanyaan-pertanyaan).

Papan tanpa tulisan
Teratai tanpa telaga
Lampu menyala tanpa sumbu
Bernyanyi padahal bisu
Matahari bersinar malam hari
Tanggal satu tapi bulan purnama…
Apa ya maknanya.

*

*) Kejadian ini tidak terikat oleh ruang dan waktu dari kejadian Syech Jangkung melatih. Sketsa pergaulan Para Santri Kiai Tegalsari dengan penduduk dusun Trembesi ini diletakkan di ‘sela’ Jangkung-Kalong sekadar untuk pertimbangan variasi pengadeganan.

Lainnya

Perahu Retak (9/17)

Perahu Retak (9/17)

Penafsiran memang bisa lain-lain. Kenyataan yang sama bisa lain wajahnya jika dilihat dari sisi yang berbeda.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Perahu Retak (10/17)

Perahu Retak (10/17)

Lurah-lurah kami adalah tangan-tangan tersembunyi yang menerbitkan matahari, menumbuhkan tanam-tanaman dan membunyikan kicau burung-burung.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib