Perahu Retak (8/17)
Jawa - Islam
di awal Kerajaan Mataram
Delapan
(Rupanya rombongan Ki Marsiung menghampiri, keasyikan para santri tiba-tiba terhenti dan perhatian penduduk menjadi terbelah. Beberapa lama suasana menjadi lengang dan tegang. Kedua kelompok itu saling berhadapan).
MURTADLO : Kenapa kalian mengganggu?
MARSIUNG : Kenapa kalian mengganggu?
MURTADLO : Kalian yang mengganggu
MARSIUNG : Kalian yang mengganggu
MURTADLO : Kalian!
MARSIUNG : Kalian!
JIMAN-KIJING : Aku bilang kalian yang mengganggu!
ANAK BUAH
MARSIUNG : Aku bilang kalian yang mengganggu
JIMAN-KIJING : O, kalian nantang rupanya
ANAK BUAH
MARSIUNG : O, kalian nantang rupanya.
JIMAN : Apa sih pusaka yang kalian andalkan
MARSIUNG : Turunan Kiai Sangkelat.
ANAK BUAH
MARSIUNG : Kalau kutanyakan, apa sih pusaka yang kalian andalkan? – kalian pasti menjawab: turunan Kiai Syahadat.
MARSIUNG : Kalian pikir kalian saja yang punya syahadat. Kalian pikir kalian ini pemilik tunggal Islam. Sekarang jangan banyak cakap, Aku, Jogoboyo dusun ini, meminta dengan hormat kepada kalian agar segera meninggalkan dusun kami ini, karena kalian telah menimbulkan keresahan penduduk.
MURTADLO : Sekarang jangan banyak cakap. Aku Murtadlo, pemimpin pertunjukan rakyat ini, meminta dengan hormat agar kalian segera meninggalkan tempat ini, karena kalian telah menimbulkan gangguan atas kemesraan kami dengan penduduk.
ANAK BUAH
MARSIUNG : Lho, orang asing kok mengusir tuan rumah!
MARSIUNG : Santri selalu merasa benar sendiri!
MURTADLO : Para santri dan penduduk yang ada di sini adalah tuan rumah pertunjukan ini. Kalianlah orang asing.
MARSIUNG : Ini dusun kekuasaan kami. Kami mendapat mandate penuh dari Nyi Demang Sendangsih, bahkan dari Tumenggung Karang Gumantung dan Tumenggung Cekal Bhirowo, untuk menindak tegas siapa saja yang mengancam keamanan.
MURTADLO : Kalian yang mengancam keamanan cinta antara penduduk dan para santri. Dan lagi kami mendapat mandate penuh dari Allah, panglima alam semesta, untuk menyebarkan ajaran-ajaran dan cintaNya.
MARSIUNG : O, ini rombongan Nabi-Nabi rupanya!
MURTADLO : Mungkin kami memang penerus kerja para Nabi. Tapi pasti kami bukan petugas dari Kerajaan Nyai Roro Kidul yang kini makin menguasai alam pikiran rakyat Mataram.
MARSIUNG : Terserah kalian penerus Malaikat atau Jin. Tapi semua di muka bumi ini ada aturannya. “Desa mawa cara, Negara mawa tata”.
MURTADLO : Semua di muka bumi ini ada aturannya. Bintang-bintang ada tatanannya. Pepohonan, burung-burung, angina, jin, manusia, semua patuh kepada putaran nilai agung yang berasal dari tangan Penciptanya.
MARSIUNG : (Menggeram) Mbegegeg Ngutowaton!
ANAK BUAH
MARSIUNG : Ini benih-benih pemberontakan terhadap kekuasaan Mataram!
ANAK BUAH
MARSIUNG : Jangan paksa kami untuk menggunakan kekerasan.
JIMAN-KIJING : Jangan paksa kami untuk menggunakan kekerasan
MARSIUNG : Marsiung! Ini Marsiung! Pernah dengan kalian siapa Ki Marsiung?
MURTADLO : Kebetulan belum.
MARSIUNG : Druhun dimemonon lengeng! Ayo anak-anak, kita telikung kaki mereka, kita copot kepalanya untuk kita jadikan senggot di sumur!
MURTADLO : Ayo anak-anak, kita lantunkan sebait kasidah, kita tiup seruling Nabi Daud, kita tabuh gendering Khidlir, agar awan mendung terkesima oleh cahaya cinta!
(Ketika kedua rombongan itu tampak bersiap untuk saling beradu kekuatan, tiba-tiba muncul Nyi Demang Sendangsih).
SENDANGSIH : Alangkah gampangnya hati terbakar.
MARSIUNG : Nyi Demang!
MURTADLO : Nyi Sendangsih!
SENDANGSIH : Sejak awal aku mengikuti keasyikan ini. Kalian tak bisa melihatku karena mata kalian hanya memperhatikan keasyikan kalian sendiri.
MARSIUNG : (Melanjutkan Sendangsih, kepada Murtadlo)
Kalian hanya memperhatikan kepentingan kalian sendiri!
SENDANGSIH : Marsiung! Apa kau pikir nama baik desa kita akan terangkat oleh sikapmu yang berangasan itu?
MARSIUNG : Para santri ini yang memaksa, Nyi Demang. Mereka mengacau situasi dusun kita.
MURTADLO : Ki Jogoboyo Marsiung dan anak buahnya ini telah memotong kegembiraan rakyat bersama kami.
SENDANGSIH : Apakah sedemikian dahsyat persoalan ini sehingga kalian masing-masing bersikap seperti hendak memadamkan gunung meletus? Kau sudah tua, Marsiung, dan kau sudah dewasa, Murtadlo. Tidak bisakah kalian belajar menjinakkan perbedaan pendapat?
MARSIUNG : Menjinakkan bagaimana, Nyi Demang. Mereka ini mempengaruhi penduduk untuk memeluk kepercayaan baru yang mereka tidak paham.
MURTADLO : Agaknya menurut Ki Marsiung penduduk desa ini sedemikian bodoh-bodohnya sehingga bisa kami pengaruhi.
MARSIUNG : Nyi Demang! Mereka pura-pura mengajak penduduk nembang dan menari, ngaji pura-pura omong baik-baik, tapi diam-diam mereka membisikkan penduduk soal upeti, soal tuan tanah, soal Kawula-Gusti, kebebasan asasi manusia… apa itu!
(Dari suatu sudut terdengar suara tertawa lelaki, tidak keras, hanya nakal dan menjengkelkan)