CakNun.com

Pengayoman Para Rabbah untuk Nusantara

Amin Ungsaka
Waktu baca ± 5 menit

Saya menyaksikan pementasan drama “Mlungsungi” di Padhangmbulan pada 16 April 2022. Malam itu suasana Padhangmbulan tidak seperti biasanya. Ya, karena memang ada agenda spesial yaitu pementasan drama “Mlungsungi” oleh Reriyungan Teater Yogyakarta yang beranggotakan lintas generasi dan lintas latarbelakang para pemain dan pendukung. Jamaah yang datang pun membludak. Sementara itu, menyambut perhelatan pementasan drama “Mlungsungi” ini, sejak beberapa hari sebelumnya panitia Omah Padhangmbulan telah banyak melakukan rapat dan persiapan untuk mematangkan langkah menyambut pentas drama “Mlungsungi” ini.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Sejak siang hari berlangsungnya acara, teman-teman Omah Padhangmbulan tampak sibuk bekerja sesuai job desk-nya. Dari kejauhan panggung tampak megah dibalut dengan latar belakang hitam-hitam, di pojok kanan depan ada semacam podium trap langit berlantai putih, dan pojok kiri depan terdapat podium juga berlantai hitam dan ada beberapa tali menjuntai ke bawah, tampak seperti sel tahanan. Siang itu pula sudah mulai pemasangan lighting untuk mendukung dan memperindah jalannya pentas drama “Mlungsungi”.

“Tiketnya Hati Bersyukur Infaq Semampunya,” demikian tagline pada x-banner pintu masuk yang mempertegas bahwa pentas drama “Mlungsungi” merupakan teater rakyat. Mbah Nun pernah menyampaikan teater rakyat itu dari rakyat dan untuk rakyat. Apa yang dilakukan Mbah Nun bersama Keluarga Ndalem Padhangmbulan dan dibantu teman-teman Omah Padhangmbulan adalah mempermudah dan memperingan jamaah Padhangmbulan untuk menikmati pentas drama. Sesuai tagline-nya, yang penting datang dengan hati yang bersyukur, perihal infaq semampu rasa syukur nyengkuyung hajatan pentas drama ini.

Pembawa acara malam itu menjelaskan latar belakang terbentuknya reriungan seniman lintas generasi Yogyakarta sampai tercetusnya pentas drama “Mlungsungi”. Pembawa acara menyampaikan bahwa pentas drama “Mlungsungi” tercetus dari pertemuan reriungan para seniman lintas generasi yang berlangsung pada 21 November 2021 di Rumah Maiyah Kadipiro. Yang hadir pada waktu itu lebih dari 100 orang yang bersepakat untuk mengadakan pentas drama yang terdiri atas berbagai kelompok kesenian, tetapi bersepakat tidak membawa bendera dan nama kelompok apa pun.

Pada pementasan drama “Mlungsungi” malam itu yang unik dan baru dalam perspektif dunia peran adalah hadirnya peran Para Rabbah. Para Rabbah tersebut terdiri atas Mbah Dunung, Mbah Kilir dan Mbah Bayan. Selain berperan sebagai Mbah yang mengayomi para penerus generasi negeri Nusantara, Para Rabbah juga memiliki posisi peran kuasa yang penting di langit. Sebab Para Rabbah menyatakan diri bahwa ketiganya merupakan anak dari Sang Hyang Wenang dari sebuah telur. Lapisan-lapisan telur kulit paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya (Batara Guru). Mereka mengaku memiliki kompetitor bernama setan dan iblis. Para Rabbah berkompetitor berusaha menerangi manusia, sedangkan setan dan iblis berperan sebaliknya.

***

Peran Para Rabbah penting dan menyumbang perspektif baru bagi tetua bangsa, dalam tugas mengayomi generasi penerusnya. Sebab peran Para Rabbah menjadi penyampai berita langit dan sekaligus menjadi pengayom yang memiliki pandangan mata yang jernih dan lantip dalam memandang setiap hal — yang dibutuhkan generasi penerus negeri Nusantara dalam memandang setiap hal. Pandangan itu misalnya terlihat pada adegan masuknya pinisepuh, yang membawa kursi kosong sambil mengamati kondisi negeri Nusantara yang ditinggalkannya dari balik waktu kehidupan.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Menurut Para Rabbah, para pinisepuh dari balik selubung waktu memerlukan tilik kepada anak cucunya. Mungkin ada sesuatu yang penting yang perlu disampaikan. Sebab menurut hasil pengamatan para Rabbah dari salah satu tingkatan langit, seperti dkatakana Mbah Bayan, terasa adanya hawa kegelisahan di Nusantara. Mbah Bayan seperti sedang mengajak kita masuk ke dalam diri, merenungi keadaan yang sedang kita alami.

Dalam proses mengajak merenung ke dalam diri kepada setiap jamaah yang penuh hidmat dan perhatian menyimak pementasan drama ini, Para Rabbah juga mengajak kita mengamati keadaan sekitar, keadaan negara misalnya. Dalam pengamatan Para Rabbah, Sang Prabu Durgoneluh yang sedang berkuasa di negeri Nusantara ini sedang mlungsungi dengan cara tidur atau sedang tidur tapi mengaku sedang berbenah diri (mlungsungi).

Selain mengajak merenung ke dalam, mengamati keadaan sekitar, Para Rabbah juga mengajak untuk mundur ke belakang, menengok kecanggihan peradaban bangsa Jawa. Peradaban Jawa dijelaskan oleh Para Rabbah mempunyai kecanggihan bisa mengenal leluhurnya sampai 18 generasi. Bahkan Para Rabbah menyebutkan nama-nama pada setiap generasi dari: bapak, kakek, buyut, canggah, wareng, udek-udek, gantung siwur, gropak sente, debok bosok, galih asem, gropak waton, cendeng giyeng, cumpleng, ampleng, menyaman, menya-menya, dan trah tumerah. Para Rabbah menyebutkannya dengan saksama.

Berdiri pada tugas pengayoman kepada anak cucu negeri Nusantara, Para Rabbah seperti sedang menyuntikkan energi keyakinan dan optimisme dengan berbicara lantang dalam dialognya kepada dunia. Kepada negara yang merasa super power seperti Amerika, China dan Rusia, Para Rabbah mengatakan jangan sekali-kali meremehkan negara yang peradabannya mencakup 18 generasi. Sekarang menurut Para Rabbah, mereka (negera super power) boleh merasa berkuasa. Tetapi akan tiba saatnya nanti bahwa bangsa Nusantara akan diperkenankan Tuhan menjadi pusat dan memimpin kemakmuran dunia.

Selain berperan membangkitkan jiwa semangat dan membesarkan hati jamaah yang hadir, atau dalam pementasan drama disebutkan penerus generasi negeri Nusantara, Para Rabbah juga menyampaikan kritik kepada kita semua, bahwa memang sejak dulu gajah menang melawan manusia. Tetapi sekarang manusia merasa menang melawan apa saja. Manusia saking merasa menang sendiri sampai Tuhan diusir dari kesadaran dirinya. Rabbah menyatakan bahwa ideologi yang berlangsung pada peradaban manusia saat ini adalah merebut Tuhan dari manusia. Menyingkirkan manusia dari kesadaran bertuhan.

Maka, Rabbah tidak berharap terlalu jauh kepada manusia sekarang ini. Menurutnya mlungsungi pada diri mereka cukuplah berupa terbukanya kesadaran dirinya tentang apa dan siapa dirinya, berperan sebagai apa dan mampu melakukan apa!

***

Selain menengara sikap kita sebagai hamba kepada Tuhan, sebagai manusia kepada sesama makhluk hidup, Para Rabbah juga mencermati kita sebagai warga suatu negara yang oleh Tuhan kita dikehendaki untuk lahir dan hidup menjadi warga negara itu. Para Rabbah mengamati bahwa bangsa Nusantara sedang dirundung masalah. Di pusat pemerintahan sedang berlangsung perebutan oligarki untuk berebut kursi kepemimpinan pada 2024. Siapa saja yang berkuasa dua tahun lagi, Para Rabbah yakin bahwa rakyat Indonesia masih bisa tenang-tenang saja. Tapi Para Rabbah tidak bisa membayangkan keadaan yang akan berlangsung ke depan. Berdasarkan pengamatan Para Rabbah terhadap kecanggihan cara mensikapi hidup rakyat Nusantara, Para Rabbah memiliki kesimpulan bahwa rakyat Nusantara mampu bahagia tanpa sebab.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Para Rabbah kembali menegaskan kepada jamaah dengan mengatakan bahwa yang jelas Bangsa Nusantara membutuhkan reriungan nasional untuk mlungsungi. Salah satu alasan terbesar dari ketegasan Para Rabbah yang menyarankan untuk reriungan nasional adalah karena warga Nusantara sekarang ini sedang saling curiga dan tidak saling legowo.

Pada adegan terakhir, Para Rabbah kembali hadir memberi pernyataan keteguhan dalam bersikap. Perubahan memang menyakitkan. Jer Basuki Mawa Bea. Reriungan tiga generasi ini tidak sedang bermain drama, tetapi sedang berdoa memohon dikabulkan oleh Allah. Tetapi jika tidak dikabulkan jangan kaget. Sebab, seperti dikatakan Mbah Nun usai pementasan, yang penting kita sudah total berdoa yang terbaik dengan berusaha menggagas Reriungan Seniman Tiga Generasi Yogyakarta, yang melahirkan terlaksananya pementasan drama “Mlungsungi” ini. Perkara tidak dikabulkan doa kita oleh Allah jangan kaget. Karena yang terpenting kita tetap dan harus ridla menerima segala apa pun kemungkinan yang terjadi. Tetapi jangan pula tidak membayangkan bahwa seperti pada pementasan Lautan Jilbab, yang terjadi justru melebihi apa yang dibayangkan.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Jazz Tujuh Langit

Jazz Tujuh Langit

Ada yang berbeda dalam tata panggung Kenduri Cinta edisi April 2013 yang jatuh pada tanggal 12.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta