Pendulum Jilbab
Belum lama ini Yogyakarta dihebohkan oleh kasus seorang siswa sekolah menengah yang di-bully oleh lingkungan sekolah negeri karena belum mau mengenakan jilbab. Karena tekanan bulliying ini demikian hebat membuat pelajar sekolah menengah ini trauma dan mengunci dalam kamar mandi sehingga diperlukan pendampngan psikologi untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Dan solusinya kemudian, pelajar putri ini pindah sekolah.
Kasus ini menjadi heboh karena bermula pada pemaksaan mengenakan jilbab pada siswa sekolah negeri itu. Banyak pihak mengecam tindakan ini. Dalam sebuah diskusi kecil dengan aktivis masyarakat sipil muncul pendapat bahwa sekolah negeri adalah sekolah negeri, bukan sekolah agama. Maka penerapan seragam sekolah pun hendaknya netral dari aspirasi, ekspresi, dan inspirasi agama. Bahkan di medsos muncul kehendak agar seragam sekolah negeri dikembalikan seperti dulu, pada zaman Orde Baru, ketika siswa sekolah tidak mengenakan jilbab.
Ketika di zaman Orde Baru ada larangan berjilbab bagi siswa sekolah negeri, ini merupakan pendulum ekstrem aspirasi kaum sekularis yang menginginkan hilangnya aspirasi dan ekspresi beragama di ruang publik, mirip dengan di Perancis. Kemudian para aktivis pendidikan yang beragama Islam berpendapat bahwa Islam adalah agama publik, maka ekspresi beragama pun perlu diberi kesempatan tampil di ruang publik. Misalnya di kantor, di sekolah, di pasar, di tempat pertemuan-pertemuan anggota masyarakat. Perjuangan melawan larangan berjilbab pun berhasil dan jilbab menjadi gejala sosial dan gejala budaya yang meluas ke mana-mana, sampai sekolah negeri pun ada kecenderungan para siswanya mengenakan jilbab.
Nah, karena banyak pejuang Islam yang mungkin kurang sabar, maka ada yang melakukan pemaksaan pemakaian jilbab, dan yang tidak berjilbab di-bully seperti dalam kasus di sebuah sekolah menengah negeri itu. Ini berarti pendulum perubahan sosial telah bergerak ke titik ekstrem yang lain. Kalau di zaman Orde Baru pendulumnya bergerak pada posisi dan kordinat melarang berjilbab, sekarang ada kecenderungan pendulum bergerak pada posisi dan koordinat mengharuskan bahkan memaksa berjilbab. Mereka yang beragama dengan semangat penuh, mirip dengan gejala beragama puber, belum mencapai maqom beragama secara dewasa untuk mencari keseimbangan gerak pendulum perubahan menuju titik tengah, titik menuju keseimbangan sosial.
Inti masalah sebenarnya pada tidak ada paksaan dalam agama. Termasuk dalam berjilbab. Berjilbab berdasar kesadaran sendiri sebenarnya oke saja. Dulu awalnya muncul banyak perempuan Indonesia mengenakan jilbab malah mendapat tekanan. Ada larangan untuk berjilbab di beberapa tempat. Yang berjilbab dikucilkan di beberapa kasus. Ini merupakan episode sejarah yang cukup memilukan, memprihatinkan dan sangat melukai perasaan umat Islam Indonesia.
Kemudian Cak Nun membangun kesadaran berjilbab dengan mementaskan drama kolosal Lautan Jilbab yang sukses ditonton puluhan ribu orang. Mencapai puncak rekor penonton untuk sebuah petunjukan drama musikal dan puitik, yang sayangnya orang-orang teater banyak yang tidak mencatatnya sebagai prestasi yang dibanggakan. Padahal pertunjukan Lautan Jilbab ini sungguh signifikan, terutama pada dampaknya, pada perubahan sosial di Indonesia. Sebab setelah dipentaskannya Lautan Jilbab itu larangan berjilbab ditiadakan. Ini sebenarnya perlu disyukuri sebagai bagian dari kebebasan ekspresi beragama. Dan berlangsung puluhan tahun sampai kemudian muncul mode hijab dan sebagainya.
Perempuan Indonesia berjilbab menjadi sesuatu yang biasa dan biasa saja. Lautan jilbab, bahkan samudera raya jilbab menghiasi Indonesia dalam kehiduan sehari-hari. Dalam kondisi yang demikian memang sebaiknya tidak ada tindakan dan perilaku yang berlebihan (ghuluw) sampai memaksa dan melarang orang untuk tidak berjilbab. Termasuk di sekolah negeri. Jadi jangan sampai pendulum sosiologinya bergerak secara ekstrem, dari dilarang berjilbab menjadi dilarang tidak berjilbab. Keduanya sama-sama berwajah represif. Saya pernah meneliti proses sosiologi jilbab ini dalam konteks yang lebih luas lalu saya tulis menjadi novel berjudul Perempuan Badai.
Proses-proses dalam berdakwah dengan menggunakan pendekatan sosiologis menurut Pak Kuntowijoyo ada tiga. Proses humanisasi (amar makruf), proses liberasi (nahi mungkar) dan transendensi sekaligus spiritualisasi (tukminunabillah). Ketiga proses ini hendaknya seimbang, selaras dan serasi sehingga secara wajar terjadi proses yang disebut tahsinul muamalah (ndandani masyarakat) menuju tahsinul hayah (ndandani kehidupan).
Tentu saja untuk sampai pada kemampuan dan kapasitas serta kualitas untuk bisa melakukan tahsinul muamalah dan tahsinul hayah seseorang perlu lebih dahulu melakukan tahsinul fikri (ndandani pikiran), tahsinul qulub (ndandani hati), tahsinul kalam (ndandani bahasa, kata-kata dan wacana) dan tahsinul khuluq (ndandani perilaku). Ini disebut proses tahsinun nafsi (ndandani pribadi) Kalau proses-proses ndandani pribadi sudah dilewati maka upaya tahsinul muamalah (ndandani masyarakat) menuju tahsinul hayah (ndandani kehidupan) bisa dilakukan dengan smooth, clear, and clean.
Nah yang sering menjadi masalah adalah orang melompat-lompat. Proses tahsinun nafsi belum jangkep sudah mau dan melakukan tahsinul muamalah dan tahsinul hayah. Kalau ini dilengkapi spektrum proses-proses sosiologis dengan proses antropologis dan proses psikologi sosial bisa lebih asyik lagi. Sayangnya, belum banyak yang menekuni hal ini.
Dari spektrum beragama yang jangkep misalnya, untuk menuju ke kedewasaan beragama maka seseorang memerlukan instrumen beragama yaitu (1) pengetahuan beragama (2) ketrampilan beragama (3) pengalaman beragama (4) ekspresi beragama yang semua beroperasi atau berproses secara simultan saling mendukung yang semuanya akan membuat seseorang dewasa dalam beragama. Dalam pada itu secara nilai terjadi juga proses internalisasi nilai, sosialisasi nilai, pelembagaan nilai (institusionalisasi nilai) dan infrastrukturisasi nilai misalnya melalui pendidikan.
Semua proses ini kalau diberi konteks ndandani pribadi, ndandani masyarakat dan ndandani kehidupan (tahsinun nafsi, tahsinul muamalah, tahsinul hayah) akan nyambung, saling berelasi dan yang penting: fungsional. Pendidikan beragama yang fungsional bisa dipahami sebagai proses-proses yang kaya kemungkinan di atas yang sebaiknya dilakukan secara jangkep, tidak gothang.