Pèncèng, Presiden India Kepulauan: Betapa Anehnya Nama Indonesia
Tiba-tiba saja saya iseng memikirkan nama negara kita. Rasanya seperti ada yang aneh dengan nama “Indonesia”.
Semua berawal dari ketiga teman saya ini.
Gara-gara sering telat merespons saat ngobrol, Dedi Purwanto dijuluki Bolot. Ngobrolnya sama Minanurrahman Aris Baihaqi, yang kami panggil Bondet.
Kawan kami yang lain, Ahmad Wafirul Khija — hanya karena bentuk kepalanya sedikit tidak simetris — nama yang begitu indah dan bermakna pemberian orang tuanya itu, tidak berlaku buat kami. Dia kami sebut Pèncèng. Kalau kami kumpul, isinya saling meledek.
Selama dua puluh tahun pertemanan, Dedi sering protes dipanggil Bolot. Meskipun protesnya sambil ketawa, karena sadar kalau itu panggilan sayang kami untuknya.
Minggu lalu, protes itu diulanginya lagi. Kami bergeming. Tapi protesnya kali ini memantik saya untuk berpikir. Bukan untuk akhirnya iba kepadanya. Tidak. Dia tetap kami panggil Bolot.
Indonesia, Sebuah Nama yang Aneh
Saya bekerja sebagai Amazon Fulfillment Associate. Rekan kerja saya multietnis: Bule, Afrika-Amerika, Latino, dan Asia. Dari ratusan orang di kantor, saya satu-satunya orang Indonesia.
Setiap berkenalan, mereka selalu menyangka saya dari Filipina. Mungkin dalam pandangan mereka, jidat dan mata saya mirip Manny Pacquiao. Padahal, kalau masker dibuka, saya malah dikira orang Nepal. Tapi kepada mereka saya tetap tegas, senang, dan bangga bilang: saya orang Indonesia!
Namun gara-gara protes si Bolot tadi, kebanggaan “saya orang Indonesia” menjadi sedikit tergelitik. Membuat saya menelisik asal-usul nama Indonesia.
Bolot jelas tidak pernah senang dan bangga mengenalkan diri dengan sebutan atau panggilan dari kami itu. Karena nama itu tidak mencerminkan, tidak mewakili budaya dan peradaban dirinya. Dedi tidak pernah merasa telinganya bolot.
Agaknya nama Indonesia pun begitu. Dalam hemat saya, nama negara kita rasanya kok kurang merepresentasikan mayoritas manusia penghuni ribuan pulau yang terletak pada koordinat 95º hingga 141º bujur timur dan 6º lintang utara hingga 11º lintang selatan ini.
Setidaknya, ada dua alasan mengenai itu.
Pertama, dari aspek etimologis, asal kata “Indonesia” bukan dari bahasa lokal, melainkan Yunani. Pertanyaannya, siapa dari penduduk Sumatera hingga Papua yang dalam kesehariannya berkomunikasi pakai bahasa Yunani sejak ribuan tahun lalu?
Saya akui, ada goresan Yunani dalam perjalanan hidup saya. Sebagai anak kecil generasi 90-an, dulu saya pikir ajian Debu-debu Intan dan Meteor Pegasus itu dari Yunani. Ternyata bukan. Saking cupu-nya, saya baru tahu kemudian bahwa jurus-jurus dalam serial animasi Saint Seiya yang tayang di Indosiar itu, hanya mitologinya saja yang berhubungan dengan Yunani, sebagai dasar cerita. Kartun itu pun juga ternyata dari Jepang.
Walaupun sempat pula Yunani menjadi sangat melekat dalam hati saya ketika beranjak dewasa. Tepatnya ketika anak asuhan Otto Rehhagel membuat Cristiano Ronaldo menangis di kampungnya sendiri — Portugal dihajar Yunani pada final Piala Eropa 2004. Ini membuat saya kalah taruhan yang kedua. Yang pertama saat AC Milan dipecundangi Liverpool dalam final Liga Champion. Saya menjadi busuk kuadrat!
Kedua, arti kata Indonesia itu sendiri. Dalam bahasa orang-orang kampungnya Eyang Aristoteles, “Indo” berasal dari kata Indos atau India, dan “nesia” berasal dari Nesos, yang bermakna kepulauan. Artinya, Indonesia itu maksudnya India Kepulauan. Nah, persoalannya, saya bukan sepupunya Inspektur Vijay apalagi keponakannya Tuan Takur. Saya merasa pujakesuma–putra Jawa kelahiran Sumatera, bukan India.
Lalu, apakah dengan kata lain, manusia yang hidup di pulau-pulau ini berarti murni orang Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Madura, hingga Papua, tanpa ada percampuran dari manusia di benua lain termasuk dari India? Tentu tidak.
Jika digali kembali, tidak ada kelompok manusia yang mendiami sebuah wilayah yang murni dari ras tertentu. Secara alamiah dan sejak dulu kala, manusia bertahan hidup dengan berpindah, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan alam. Alhasil, beberapa ras manusia bercampur dan beranak-pinak di wilayah tertentu, salah satunya di kepulauan ini.
Kabarnya, pulau-pulau di nusantara ini, dahulu merupakan satu daratan dengan wilayah yang kini menyebut dirinya dengan India, Pakistan, Bangladesh dan saudara-saudaranya itu. Artinya, ada kemungkinan manusia di Asia Tenggara dan Asia Selatan hari ini, memiliki nenek moyang yang bersaudara dekat.
Untuk membuktikan kemungkinan itu, ada baiknya saya ikut tes DNA lewat Ancestry atau 23andMe untuk mengetahui apakah ada kemungkinan saya ini saudaranya Abang Shah Rukh Khan atau saudarinya Kakak Priyanka Chopra Jonas.
Sampai di sini, berarti tidak aneh dong kalau kita pakai nama Indonesia?
Sebentar.
Asal Nama Indonesia
Kalau melihat sejarahnya, nama Indonesia ini ditetapkan seturut dengan kelahiran konsep negara-bangsa. Yaitu, sekelompok manusia hidup di masing-masing wilayah, dengan batas geografis yang jelas, yang disebut negara. Lahirnya sekitar 100 tahun lalu dari manusia yang hidup di Eropa sana.
Di Eropa, konsep ini merupakan salah satu buah dari Renaisans, sekitar tahun 1400 hingga 1500-an. Layaknya Doctor Strange yang memperoleh ilmu kanuragan di pegunungan Himalaya, manusia Eropa yang merasa tercerahkan ini berlayar, merantau ke negeri yang jauh, hingga sampai di kepulauan Asia Tenggara ini.
Mereka tiba pada awal abad ke-16, dan beberapa masa kemudian mengoloni pulau-pulau dan sepakat membagi. Pulau ini kekuasaanku, dan pulau itu kekuasaanmu. Daratan itu hakku, kalau daratan ini hakmu.
Empat ratus tahun kemudian, negara-negara manusia tercerahkan di Eropa itu saling berantem. Jepang pun ikutan dengan mencaplok wilayah koloni Eropa di Asia, sampai akhirnya keok dihajar Amerika. Saat Jepang tak berdaya, orang-orang di nusantara yang sudah gerah dengan kolonialisme melihat sebuah kesempatan untuk merdeka.
Orang-orang yang melihat kesempatan ini adalah yang terdidik dengan pengetahuan Eropa, yang terpapar konsep negara-bangsa. Kesempatan itu diambil, lalu dideklarasikanlah bahwa mulai saat itu kita hidup merdeka, berdaulat dari bangsa mana pun. Peristiwa itu kita kenal dengan Proklamasi tahun 1945.
Peristiwa Proklamasi menjadi momentum kesadaran hidup merdeka. Mungkin saat itu, yang sedang tren adalah hidup bersama dalam naungan sistem negara-bangsa. Maka bersepakatlah para tokoh nusantara ini untuk bernegara juga. Dari bermacam bentuk negara, mereka memilih bentuk Republik, dengan nama: India Kepulauan. Eh, Indonesia.
Pemilihan nama ini memanglah tidak ujug-ujug. Tujuh belas tahun sebelum Proklamasi, beberapa dari tokoh yang menjadi pemimpin negara baru ini — kala itu usia mereka sekitar 25 tahun — berkumpul dan bersumpah bersama, belum bernegara, tapi bertanah air satu dengan nama Indonesia.
Menurut data yang tercatat, mereka yang bersumpah ketika itu hampir seratus orang–yang dibayangkan mewakili puluhan juta penduduk lainnya.
Saya berkhayal, seandainya peristiwa itu terjadi pada masa sekarang, mereka akan membuat tagar #SumpahPemuda di Twitter. Yang ikut meramaikan bisa jutaan orang dan pasti trending topic. Peserta kongres bisa hadir offline dan untuk mereka yang mager bisa online melalui Zoom. Terasa lebih mewakili penduduk tanah air.
Sebagai istilah yang pada tahun-tahun awal abad ke-20 (1900-an) sedang banyak berseliweran dalam perbincangan dan alam pikir anak muda berpengetahuan Eropa, nama “Indonesia” tampaknya dirasa tepat oleh mereka.
Berbagai Pilihan Nama Negara
Bila ditarik lebih jauh ke belakang, manusia yang hidup di kepulauan ini memang belum pernah bersepakat untuk berikrar bersama, hidup dalam satu sistem tata sebesar negara seperti hari ini, dan menamai diri mereka dengan sebuah nama. Semua masih nyaman dengan lingkup negara sebesar Samudera Pasai, Siak, Mataram, Bali, Gowa, Ternate, Tidore, Madura, dlsb.
Maka ketika memerdekakan diri, negara besar ini belum punya referensi nama atas diri mereka sebelumnya. Ini berbeda dengan Bolot, Bondet, dan Pèncèng tadi, yang sudah punya nama asli pemberian orang tua mereka: Dedi, Aris, dan Firul. Negara ini “yatim piatu” dan belum pernah punya nama asli.
Jika diberi nama Nusantara, sepertinya juga kurang tepat. Istilah itu konon muncul dari sudut pandang Gajah Mada sebagai penduduk pulau Jawa, yang bertekad menyatukan Nusa (pulau-pulau) yang berada di Antara (seberang/luar Jawa). Kalau begini, berarti Nusantara itu tidak termasuk pulau Jawa.
Sebutan-sebutan lain pada masa lalu, juga ternyata pernah ada untuk kita. Itu diberikan oleh orang-orang nun jauh di sana, sependek informasi dan pengetahuan mereka tentang kita.
Seandainya dulu sudah ada Wikipedia, mungkin teman-teman di Cina tidak hanya menyebut kita sekadar orang-orang yang tinggal di Nan-hai (kepulauan selatan). Sementara orang India menamai kita orang dari Dwipantara (kepulauan seberang). Lain lagi kalau bertemu orang Arab, mereka menandai kita sebagai orang Jaza`irul Jawi (kepulauan Jawa). Meskipun mereka sering juga mendengar istilah Samathrah (Sumatera), Sholibis (Sulawesi), dan Sundah (Sunda). Pokoknya setiap bertemu, kita bagi mereka tetap saja kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Sama halnya dengan orang-orang Eropa, yang sebelum bisa berlayar jauh, mengenal kalau tetangga mereka di sebelah timur-selatannya, alias manusia yang tinggal di benua Asia, hanya terdiri dari orang Arab, Persia, Cina, dan India. Kala itu, manusia yang mendiami Asia Selatan dan Asia Tenggara, semuanya mereka sebut orang India.
Sayangnya, hingga akhirnya benar-benar sudah menjejakkan kaki di kepulauan ini, orang Eropa tetap menyebut kita orang Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien, alias orang India yang tinggal di kepulauan. Atau Oost Indie, East Indies, Indes Orientales, yang maksudnya adalah orang India yang berada di timur.
Pada akhirnya, semakin ke sini, secara politik Belanda menamai wilayah kita Nederlandsch-Indie (India/Hindia-Belanda). Jepang pun saat di sini sebentar, ikut bilang kalau kita ini orang To-Indo (India Timur).
Mungkin karena peradaban dunia yang berlangsung dan kita hidupi hari ini, adalah peradaban yang lahir dari rahim enaisans di Eropa, maka yang melekat sebagai nama negara kita, pada akhirnya juga yang berasal dari pemikiran mereka.
Sampai di sini, terkait dengan pemberian nama, saya jadi teringat sebuah cerita candaan, yang dulu sempat saya dengar dalam Maiyahan. Ada cerita seorang bapak, yang ingin menamai anak laki-lakinya dengan nama Arab, supaya terkesan Islami. Setelah tanya sana-sini, ada yang jahil menyarankan nama, dan celakanya, ia pun suka. Bapak itu menamai anaknya, dengan sebuah nama yang tanpa ia tahu artinya, tapi terdengar gahar: Zakar Kabir (kemaluan pria yang berukuran besar).
Perlukah Nama Indonesia Diganti?
Kabarnya, di Eropa belakangan ini terjadi koreksi nama-nama negara. Orang Belanda memutuskan sejak 2020, mereka tidak menyebutkan negaranya dengan Holland lagi, tapi sebagai Netherland.
Pak Recep Tayyip Erdogan, bulan Januari 2022 juga menetapkan nama baru negaranya bagi masyarakat internasional, dengan memakai nama yang menurutnya merupakan representasi dan ekspresi terbaik dari budaya, peradaban, dan nilai-nilai rakyat Turki. Nama baru itu adalah Türkiye, bukan lagi Turkey, yang di Amerika artinya kalkun.
Saya memikirkan perihal nama negara ini memang iseng saja. Tapi kok ya sampai terbawa mimpi. Dalam mimpi itu, Bolot, Bondet, dan saya menjadi Menteri Koordinator negara kita, yang sudah punya nama baru. Presidennya adalah Pèncèng.
Lalu, kami semua ikut pertemuan G20 di Bali. Saya sebagai Menko Investasi, meminta presiden memperkenalkan dirinya: “Nama saya Pèncèng, presiden Republik India Kepulauan”.
Chicago, 14 Februari 2022