Padhangmbulan, 29 Tahun Istiqamah Menata Hati Menjernihkan Pikiran
Pengajian Padhangmbulan semalam (11/09/22) sekaligus merupakan momentum memeringati ulang tahunnya yang ke-29. Sejak 1993 hingga 2022 Padhangmbulan berlangsung istiqamah sebagai sebuah pengajian keummatan, kerakyatan, dan kebangsaan yang fenomenal dengan watak mandiri, otentik, berdaulat, dan merdeka. Dalam kurun 29 tahun itu pula, Padhangmbulan telah melewati periode-periode kekuasaan dan pemerintahan di Indonesia.
Ketika salah seorang peserta workshop tadi malam merespons pertanyaan Mbah Nun dengan mengungkapkan bahwa dari Mbah Nun dia mendapatkan cara dan sudut pandang pemikiran yang luas, maka itu pertanda bahwa sesungguhnya di Padhangmbulan sudah 29 tahun pula Mbah Nun beserta keluarga beliau istqamah menemani umat dan rakyat untuk senantiasa memiliki pemikiran yang luas dalam melihat berbagai hal dari soal politik nasional hingga persoalan di dalam masyarakat dan umat itu sendiri. Selama itu pula Padhangmbulan menjadi laboratorium berpikir.
Demikian pula ketika juru bicara kelompok lain mengatakan bahwa dari Mbah Nun dia mendapatkan nasihat yang membesarkan hati, makan selama 29 tahun pula sejatinya Padhangmbulan tak hanya berjalan sebagai majelis ilmu, yang selalu berangkat dari Al-Qur’an dengan dua pendekatan sekaligus yaitu tafsir tekstual dan kontekstuak, tetapi juga sebagai tempat di mana hati rakyat dibesarkan oleh Mbah Nun di tengah-tengah keadaan yang tidak selalu mudah dan membutuhkan mental yang tangguh, mulai skala pribadi, masyarakat, hingga negara. Dengan hati yang telah dibesarkan dan dikuatkan, mereka menjadi siap untuk berpikir dan menyikapi situasi dengan pertimbangan yang matang.
Berbicara tentang keluasan, semalam fenomena keluasan juga muncul dari KiaiKanjeng. Bersama KiaiKanjeng, Mbah Nun tidak hanya membawa semua anak-cucu dan jamaah untuk bareng-bareng melantunkan nomor Hasbunallah aransemen KiaiKanjeng, Tombo Ati beragam jenis musik, Shalawat Badar Madura yang dilanjut Nothing Compares to You, tetapi mempersembahkan berbagai macam aliran musik yang dapat dimainkan oleh Gamelan KiaiKanjeng. Ini untuk memberi contoh bahwa KiaiKanjeng bukan kelompok musik yang mendiami secara status suatu aliran, tetapi berbagai benua musik bisa dibawakan, disentuh, dan dikreatifi oleh Gamelan KiaiKanjeng.
Kenyataannya, KiaiKanjeng sudah diminta pentas di puluhan kota di luar negeri yang tersebar di beberapa benua. Dari Mesir hingga Finlandia, dari Australia hingga Maroko. Tidak ada jalan lain bagi KiaiKanjeng kecuali mesti menguasai macam-macam genre musik dan terutama adalah lagu-lagu negera setempat yang nanti akan dibawakan oleh Gamelan KiaiKanjeng sebagai metode komunikasi sosial yang jauh lebih efektif ketimbang kata-kata. Dengan kata lain, Mbah Nun memberikan gambaran bagaimana KiaiKanjeng oleh tuntutan permintaan akan kehadirannya di berbagai tempat dalam dan luar negeri menjalani laku “tahu banyak tentang banyak hal” dalam jagad musik.
Salah seorang peserta workshop menuturkan bahwa harapan dia kepada KiaiKanjeng adalah KiaiKanjeng melahirkan generasi-generasi penerus. Di sini, Mbah Nun merespons bahwa kelompok-kelompok musik yang berafiliasi kepada musik KiaiKanjeng telah banyak lahir di kalangan jamaah Maiyah. Tetapi yang terpenting Mbah Nun bertanya, “Yang diikuti dari KiaiKanjeng musiknya ataukah prinsip-prinsip KiaiKanjeng dalam bermusik?”. Mbah Nun menekankan bahwa yang utama dari lahirnya ratusan kelompok musik yang katakanlah bisa disebut sebagai “Anak-anak KiaiKanjeng” adalah bahwa mereka harus memahami dan memetik prinsip-prinsip yang dijalankan oleh KiaiKanjeng.
Salah satu prinsip itu adalah keluasan itu sendiri. Siap dengan keluasan semesta musik, dan tidak kekeh berada di satu genre atau jenis musik saja. Musik terlalu luas kalau hanya dijalankan dengan hanya bertempat di satu genre. Maka, karya-karya musik KiaiKanjeng juga mencerminkan hal yang sama, yakni mau berkeluasan dari satu genre ke genre lain Selain keluasan, prinsip-prinsip KiaiKanjeng adalah menjunjung apa yang diremehkan orang, mengingat apa yang dilupakan orang, menggali apa yang dikubur orang, menghidupkan apa yang telah mati, dst. Itulah sebabnya KiaiKanjeng menghadirkan Tombo Ati melalui album Kado Muhammad. Pepujian atau shalawatan yang sudah hampir tidak lagi terdengar, dihadirkan kembali oleh KiaiKanjeng. Dalam setiap Sinau Bareng, Mbah Nun sering mengecek kondisi setiap daerah apakah masih nguri-nguri pujian-pujian lama di mushalla atau masjid ataukah tidak.