CakNun.com

Ora Nduwe, Ora Iso, dan Ora Tekan

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 5 menit

Setelah jeda satu bulan, “Gondelan Syafaat Kanjeng Nabi” persembahan Sukun Special hadir kembali secara livestreaming kurang lebih selama satu jam di channel YouTube caknun.com pada Kamis malam 23 Juni 2022 dan ini merupakan episode ke-5.

YouTube video player

Mbah Nun membuka bahasan melalui pintu masuk hakikat manusia sebagai makhluk yang tak berdaya. Ketidakberdayaan manusia terletak pada tiga fakta bahwa manusia itu tidak memiliki (ora nduwe), tidak mampu (ora iso), dan tidak sampai (ora tekan). “Secara hakiki manusia itu tidak berdaya, ora duwe, ora iso, dan ora tekan. Karena itu kita butuh gondelan klambine Kanjeng Nabi,” buka Mbah Nun. Keadaan itu berlaku pada bidang apa saja, baik ranah individu, masyarakat, maupun negara.

Contoh sederhana ‘tidak memiliki’ (ora nduwe) adalah manusia bisa melakukan sesuatu dengan tangannya tetapi tangan sejatinya bukan milik dia, karena dia tidak bisa menciptakan tangan itu. Anak terlahir dari orangtuanya, tetapi orangtuanya tidak mampu (ora iso) membuat suara anaknya itu bagus sehingga kelak bisa menyanyi.

Mbah Nun menyitir sebuah ayat Ali Imran (26-27) yang menyatakan “Qulillāhumma mālikal-mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi’ul-mulka mim man tasyā`u wa tu’izzu man tasyā`u wa tużillu man tasyā`, biyadikal-khaīr, innaka ‘alā kulli syai`in qadīr.” Ayat itu menegaskan kemutlakkan kuasa Allah. Dia-lah yang Maha Berkehendak atas ciptaan dan seisinya. Manusia sebagai ciptaan-Nya sekadar menjalankan titah tersebut. Ibarat proses penanaman hingga berbuah padi, Mbah Nun melanjutkan manusia hanya menjalani prosedur peraturan, sementara pertumbuhan hingga hasilnya merupakan kuasa-Nya.

“Itu hukum Allah, itu punya Allah. Jadi, jangan bangga dengan prestasi-prestasimu karena sesungguhnya kau adalah makhluk yang tidak punya apa-apa, tidak berdaya, tidak bisa bikin apa-apa, dan tidak bisa menyampaikan sesuatu ke tempat yang kita kehendaki. Allah yang menyampaikan sesuatu kepada kehendaknya,” imbuh Mbah Nun.

Pada kesempatan Sinau Bareng ini, Mbah Nun menginformasikan pada Agustus nanti rencananya Perdikan Teater akan mementaskan naskah baru Mbah Nun berjudul Waliraja Rajawali. Di dalam naskah itu, terdapat puisi Mbah Nun berjudul Ke Mana Anak-Anakku. Sebuah judul puisi yang langsung mengingatkan kita pada Album musik KiaiKanjeng “Kado Muhammad” yang rilis pada 1996, yang didalamnya ada puisi Mbah Nun berjudul Ke Mana Anak-Anak Itu. Puisi ini seperti bermetamorfosis dari Ke Mana Anak-Anak Itu menjadi Ke Mana Anak-Anakku dan dibutuhkan waktu 26 tahun untuk itu.

Sesudah KiaiKanjeng membuka dengan nomor Pambuko, nomor selanjutnya adalah musik puisi Ke Mana Anak-Anakku yang dibacakan langsung oleh Mbah Nun. Usai puisi ini dibacakan, Mas Doni bertanya siapa yang dimaksud “anak-anak” di situ. Mas Helmi juga ikut bertanya tentang kerakusan dan gila dunia yang telah menimpa anak-anak itu yang merupakan hasil dari bahwa anak-anak itu telah “Dibikin tidak lagi menjadi diri mereka sendiri.” Penanda ketidakotentikan ini diperlihatkan oleh kerakusan atau gila dunia. Mbah Nun kemudian merespons bahwa anak-anak itu merujuk kepada bangsa Indonesia. Puisi itu sebenarnya merupakan perumpamaan terhadap kenyataan sosial di bumi pertiwi.

“Itu juga tergantung kita melihatnya. Kalau melihat itu seperti dicelup,” Mbah Nun menganalogikan dengan jemari yang dimasukkan air, “lehmu nyelup itu pucuknya atau sampai dasarnya. Itu namanya sibgah kalau dalam Al-Qur’an.” Penggambaran tersebut memperlihatkan kedalaman atas pemahaman yang terkuak di dalam puisi.

Mbah Nun lalu melanjutkan kalau orang sekarang tidak cenderung memprimerkan benar atau salah maupun baik atau buruk, tetapi pragmatisme ekonomi seperti, “Aku entuk opo, saya laba berapa, saya dapat bagian berapa. Itu maksud saya. Saya tidak mengatakan yang seperti itu salah atau benar, pokoknya yang kita jumpai begitu, kan. Saya bathi berapa. Apa itu uang, jabatan, posisi, atau apa pun saja. Itu salah satu contohnya.”

Mas Doni kemudian bertanya lagi. “Bila anak-anak merujuk pada bangsa Indonesia, ibu pertiwi itu mengarah ke mana” ungkapnya. Menurut Mbah Nun, ibu pertiwi merupakan simbol, suatu ungkapan idiomatis bahasa dan kebudayaan. “Dia adalah simbolisasi yang kita hormati dari seluruh tanah air bahwa ada hakikat ibu pertiwi. Sama kalau di Arab itu ada Latta dan Uzza. Latta adalah gambaran orang-orang lama yang dikagumi. Uzza adalah orang-orang yang dianggap ideal. Misalnya, pemimpin. Ini menurut Cak Fuad, ya.”

Sinau Bareng Gondelan Syafaat Kanjeng Nabi malam itu sekaligus mendalami khazanah karya-karya KiaiKanjeng. Nomor berikutnya yang dibawakan KiaiKanjeng adalah musik-puisi berjudul Engkau Menjelang (1996). Puisi ini juga terhimpun di dalam album Kado Muhammad.

Kapan datang, Engkau menjelang
Menguakkan kerinduan
Wajah samar dalam bayangan
Mengurungku di kesunyian
Jiwaku terbaring
Luruh dan kelaparan

Dunia sudah habis bagiku
Tak ada yang melezatkanku
Ruang dan waktu, hanya menipu
Hidup mati menjebakku
Sekarang aku tahu
Engkaulah yang Sejati itu

Kekasih,
Oh Kekasih..
Bukakanlah pintu itu bagiku

Allah ku,
Oh Allah ku…
Dunia ini tak lagi memikat hatiku

“Puisi Engkau Menjelang artinya dia sedang akan datang. Tapi belum datang. Dan mungkin saya mengalami dari menjelang dan datang itu pada 30 tahun itu [sesudah puisi ini dituliskan]. Ketika saya sakit, Engkau itu sudah datang kepada saya. Ketika saya sakit, bukan menjelang lagi, tetapi sudah didatangi,” tutur Mbah Nun. Menurut beliau, datangnya sakit menjadi jalan bagi hidayah yang beraneka rupa, baik untuk Maiyah, Indonesia, maupun dunia.

Pada titik ini Mbah Nun menggambarkan betapa hidup itu tidak selinier sebagaimana dipikirkan. Hidup itu ibarat huruf Allah. Ada lurus, tegak, melengkung. “Apa yang secara linier kita pikir adalah cobaan, celaka, dan musibah itu ternyata nanti ketemunya mubeng. Ternyata itu adalah rezeki yang luar biasa. Yang sejati ya yang membuat kamu aman. Wiridan misalnya,” tambah Mbah Nun.

Ketenangan, kesejatian, dan kehakikian itu menurut Mbah Nun ditemukan melalui kalimat thayyibah. Berbagai kalimat thayyibah itu juga tak segaris lurus sebagaimana makna literalnya. Ia diibaratkan Mbah Nun sebagai huruf ha’ dalam lafadz Allah. Selama ini kita memahami alhamdulillah sebagai ungkapan terima kasih atau syukur Allah setelah diberikan sesuatu oleh-Nya. Demikian pula istighfar karena merasa kotor di hadapan Allah lalu mengucapkan astaghfirullah. Bagi Mbah Nun pemaknaannya bisa berlapis.

Alhamdulillah adalah astagfirullah, astagfirullah adalah subhanallah, subhanallah adalah innalillah. Setiap kalimat thayyibah berlaku untuk konteks yang lain. Misalnya, alhamdulillah itu berlaku untuk minta maaf. Kalau kamu memuji Allah atas rahmat-Nya lalu kamu melakukan tahmid atau hamdallah, maka Allah otomatis senang hatinya dan kemudian mengampuni kamu (seakan kamu mengucap istighfar/permohonan ampunan yang dijawab oleh Allah dengan pengampunan). Orang yang mohon maaf kepada Allah pada jumlah tertentu, durasi tertentu, kedalaman tertentu itu kan bentuk pujian juga. Semua bermakna semua. Itu yang namanya bulatan. itu yang kita cari. Itu merangkum apa saja. Itu lahkemesraan kita kepada Allah,” papar Mbah Nun.

Tak ada manusia yang absen dari kedhaliman dan kesalahan. Maka Mbah Nun juga menceritakan doa Nabi Yunus ketika masuk perut ikan paus. Saat masuk ikan paus, Nabi Yunus merasa bersalah dan memohon ampun kepada Allah. Beliau mengucapkan “la ilaha illa anta, subhanaka, inni kuntu minadh dhalimin.”

“Logikanya, orang-orang yang berada di perut ikan itu atau kepengapan masalah itu, maka kalau ingin keluar membaca doa Nabi Yunus. Di situ kan kalimatnya kalimat thayyibah semua. Terus pengakuan inni kuntu minadz dhalimin. Kalau kita mengaku kepada Allah bahwa kita adalah dhalim, apa ada orang yang tidak termasuk dhalimin? Kita semua dhalim. Berapa persen pun. Kasus apa pun. Kita punya peristiwa, kasus, atau rekam jejak kedhaliman, baik kepada orang lain, diri sendiri, maupun kepada Allah. Jadi, tidak mungkin ada manusia yang tidak dhalim. Kita semua adalah orang yang pada tempatnya relevan dan kompatibel untuk menyebut inni kuntu minadh dhalimin,” tutur Mbah Nun.

Ketakberdayaan manusia di hadapan Allah ini yang membuat pentingnya gondelan klambine Kanjeng Nabi. Gondelan ini sekaligus merupakan cara kita mendekat kepada Allah. “Kita wiridan dan berzikir terus. Maka Rasulullah memberi contoh allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika,” tutup Mbah Nun. (caknun.com)

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version