Ojo Kepaten Obor Maiyah

Cukup banyak cara berpikir, cara pandang, strategi pandang hingga jurus dan keseimbangan kuda-kuda yang diajarkannya. Ini belum termasuk seratus lebih buku kumpulan tulisan. Belum juga menghitung kolom, artikel, esai, puisi, naskah drama yang kalau ditotal jumlahnya ribuan dan tidak satu pun dari tulisan itu memiliki judul yang sama.

Rekaman audio — mulai ceramah, seminar, diskusi hingga pembacaan musik puisi dan shalawat — yang belum terdokumentasi sehingga terselip entah di mana berapa lagi banyaknya.
Haqqul yaqin, yakin seyakin-yakinnya, semua yang dikerjakan hingga tahun ke-69 adalah langkah yang terbimbing. Satu biji huruf ditulisnya dengan sangat sungguh-sungguh. Satu buah kata ditakar presisi makna denotasi dan konotasinya, dihitung jangkauan masa lalu dan masa depannya, dijaga keseimbangan dunia dan akhiratnya.
Bagiku sungguh sangat jauh, haihaata haihaata, mencapai kualitas tulisan yang presisi keseimbangannya berada dalam spektrum laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah. Itu pun kalau hendak dilukis menjadi garis, yang tampak di depan mata kita adalah cakrawala yang membentang.
Mari kita buka kembali lembaran buku, misalnya Markesot Bertutur, yang ditulis di Harian Surabaya Post dari 26 Februari 1989 hingga 1 Januari 1992 dan di-republish berkali-kali. Kita merasakan huruf, kata, kalimat, paragraf, nuansa, getaran, dinamika pikiran dalam buku itu hidup dan bergerak.
Hal yang sama juga kita temukan dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya, Slilit Sang Kiai, Cahaya Maha Cahaya: Kumpulan Sajak, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, dan buku-buku lainnya. Setiap tulisan tidak hanya berupa kumpulan kata dan kalimat, susunan paragraf dan judul tulisan. Di sana kita menjumpai spektrum dan dinamika kehidupan yang mengalir dan bergetar.
Labirin sel kesadaran tumbuh dan berkembang setelah aku menyimak dan mencerna kata-katanya, merenungi pesan-pesannya, mengendapkan wejangan-wejangannya. Aku tertegun. Ternyata aku tidak hanya menikmati secangkir kopi pada malam-malam Maiyahan. Aku juga dibimbing cara memilih biji kopi, meracik hingga menyajikannya secara bermartabat.
Aku hidup pada zaman di mana para akademisi, ahli tafsir, peneliti, psikolog, sosiolog, agamawan menyajikan beragam-ragam rasa kopi. Namun, sedikit yang piawai membimbing cara meracik kopi. Banyak yang memperagakan jurus-jurus kecanggihan, kecerdasan, kepakaran, kehebatan, namun sedikit yang melatih kuda-kuda berpikir apalagi menemani umat protolan.
Akan semakin sulit menemukan sosok yang nyegoro, yang mengumpulkan kepingan-kepingan saudara kita yang ditinggalkan oleh kemajuan, yang menemani sepi mereka karena dipinggirkan oleh kezaliman kekuasaan dan kesombongan.
Aku tidak mau sekadar menjadi penikmat kopi. Aku tidak ingin latah bermain jurus-jurus kehebatan. Di Mentoro aku belajar. Setiap malam Pengajian Padhangmbulan aku tidak hanya disuguhi nasi. Aku mengolah tanah, membaca cuaca, menanam padi, memproses beras menjadi nasi, lalu menghidangkannya di atas meja keseimbangan.
Hatiku bersyukur tapi perasaanku terasa kecut. Di depan ndalem kasepuhan tubuhku kaku. “Awakmu ojo kepaten obor Maiyah!” Nyala cahaya Maiyah jangan sampai padam dalam dirimu. Ini tanggung jawab, amanah, sekaligus peringatan. Keteledoran mengemban amanah akan berurusan langsung dengan Tuhan, sebagaimana ketika aku sembrono membuang-buang waktu, menelantarkan rezeki berupa akal, tangan, kaki, udara, air, tanah.
Aku mewaspadai jangan-jangan aku menjadi bagian dari mereka yang disebut dalam surat Al-An’am ayat 69. “Orang-orang yang bertakwa tidak ada tanggung jawab sedikit pun atas dosa-dosa mereka; tetapi mengingatkan agar mereka bertakwa.”
Aku menatap diriku: apakah aku mengalami Maiyah dengan perilaku syukur atau kufur? Kalau aku teledor, lengah, sembrono atas apa yang ditablighkan kepadaku, aku sendiri yang menanggung akibatnya.
Jadi, ambil saja satu biji benih dari Maiyah kemudian kita menanamnya dalam kebun (jannah) sesuai haul dan quwwah yang diberikan Allah. Laa yukallifullahu nafsan illaa wus’ahaa. Allah tidak membebani seseorang sesuai daya tampung, kesanggupan, dan kemampuannya. Sabil, syari’ dan thariq setiap jamaah bisa berbeda. Namun hulu dan hilirnya sama, yakni tauhid kepada Allah.
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud. Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” (Q.S. Al-Hijr: 99).
Jagalan, 27 Mei 2022