CakNun.com

Nasionalisme yang Berpijak Pada Sejauh-Jauhnya Bluluk Indonesia

Liputan 2, Sinau Bareng Gempita 77 Tahun Kemerdekaan RI, Lapangan Gumul Ngasem Kediri, 15 Agustus 2022
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Hati paling dalam kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia tentunya merasakan adanya perasaan cinta kepada tanah air tempat kita dilahirkan atau berasal-usul, perasaan terikat atau tak bisa terpisahkan dari tanah yang kita cintai ini. Kalau kita pergi jauh darinya, kita kangen pulang kembali kepadanya. Itulah tanah air kita, Indonesia.

Cak Nun, Bupati Kediri Dhito dan jajaran Forkompimda beserta ribuan masyarakat melebur menjadi satu dalam Sinau Bareng.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Pada momen-momen tertentu, kesadaran semacam itu terekspresikan lebih mengemuka ke permukaan. Seperti pada bulan Agustus ini, di mana peringatan akan kemerdekaan bangsa Indonesia dirayakan di mana-mana. Tak terkecuali Sinau Bareng di Simpang Lima Gumul Kediri kemarin yang memang ditujukan untuk memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-77. Tidak hanya background panggung yang didominasi warna merah dan putih, tetapi juga di wilayah jamaah. Bendera-bendera merah putih dalam beberapa ukuran kecil dikibar-dikibarkan.

Salah seorang jamaah yang duduk di area depan panggung dan mengenakan peci hitam bahkan menancapkan beberapa bendera merah putih di atas pecinya. Sewaktu KiaiKanjeng menghangatkan suasana dengan lagu Beban Kasih Asmara yang ditembangkan Mas Imam Fatawi, otomatis banyak yang ingin ikut berjoget. Naiklah beberapa jamaah ke panggung berjoget bersama. Mas yang berpeci hitam dengan bendera-bendera merah putih di atas pecinya itu juga ikut berjoget. Berjalan pelan dia dari tempat duduknya membelah teman-temanya dan melangkah ke panggung. Saat itu terlihat, dengan bendera merah putih di atas pecinya, seakan dia mengatakan kepada dunia, kemanapun aku melangkah, Indonesia tanah airku kujunjung selalu.

Pada malam itu Mbah Nun juga mengajarkan nasionalisme kepada anak-cucu. Tetapi nasionalisme yang didorongkan oleh Mbah Nun adalah nasionalisme yang berpijak pada kesadaran kontinuasi yang panjang ke belakang, ke sejauh-jauhnya bluluk bangsa nusantara atau Indonesia. Dengan kesadaran ini, diharapkan kita semua mengenal karakter dan keunggulan orang-orang pendahulu kita di masa lalu. Sehingga mereka tahu, bangsa ini bangsa yang tua dan punya karakter.

Bergembiara dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Simpang Lima Gumul Kediri.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Kediri adalah contoh tentang bangsa yang tua dan punya karakter itu sendiri. Maka, Mbah Nun meminta anak-cucu belajar mengenal sosok-sosok seperti Prabu Joyoboyo, Mpu Bharada, dll. yang merupakan bagian dari sejarah panjang tanah Kediri. Apa yang disampaikan Mbah Nun memang benar sebab hari jadi kabupaten Kediri adalah 25 Maret 804 M. Artinya, saat ini usia Kediri sudah 1218 tahun.

Lebih jauh Mbah Nun mengatakan orang-orang dunia pada masa dahulu banyak yang belajar ke Jawa. Tapi sejarah Jawa disembunyikan. Dunia mengenal peradaban Yunani Kuno dan Mesir Kuno, tetapi tidak pernah kita dengar peradaban Jawa Kuno, karena ada proses penyembunyian tersebut. Mbah Nun meminta anak-anak cucu membangun kesadaran bangsa dengan akar yang jauh ke belakang. Seperti kata Mbah Geyol Novi Budianto, laksana anak panah yang ditarik mundur jauh ke belakang, agar melesatnya jauh ke depan. Itulah sebabnya, Mbah Nun mengatakan Kediri adalah sejarah Bluluk. Karena sudah panjang perjalanannya.

Mas Agus, seorang dalang, dan juru bicara kelompok ketiga workshop malam itu, juga mengkonfirmasi apa yang dikatakan Mbah Nun. Bahwa Kediri melahirkan pujangga-pujangga besar seperti Mpu Seda. Sebagai dalang, malam itu Mas Agus mengekspresikan nasionalisme justru dengan mengenakan busana Jawa, beskap dan blangkon serta memulai pembicaraan dengan menggunakan bahasa Jawa halus. Ini salah satu ekspresi lain dari nasionalisme yang malam itu dapat kita lihat dalam Sinau Bareng di Lapangan Gumul Kediri.

Kembali ke ihwal bluluk-cengkir-degan-kelapa, semua kelompok workshop malam itu menyimpulkan, dengan analisis masing-masing, bahwa Indonesia saat ini masih pada fase degan, belum kelapa. Tentang kesamaan kesimpulan ini, Mas Bupati Dhito merespons bahwa berarti kita sadar posisi kita degan, dan dengan demikian mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk mencapai atau menjadi kelapa.

Puluhan ribu orang duduk rapi, semua mata terfokus ke depan dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Simpang Lima Gumul Kediri.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Dengan pertanyaan tentang Indonesia melalui analisis bluluk-cengkir-degan-kelapa, selain ingin meneguhkan pentingnya nasionalisme dengan akar yang jauh, tak sekadar dimulai dari masa kemerdekaan RI pada 1945, Mbah Nun ingin menjadikan analisis itu sebagai model berpikir bagi pembangunan diri. “Sing penting awakmu dadio kelopo, jadi contoh bagi yang lain bahwa kamu matang. Golekono bluluk cengkir denganmu, supoyo yen ngerti degan, awakmu ndang noto supoyo segera dadi kelopo,” pesan Mbah Nun.

Puluhan ribu jamaah dan masyarakat yang hadir tidak hanya berasal dari wilayah Kabupaten Kediri. Ada yang dari Mojokerto, Jombang, Malang, bahkan ada dari Palembang. Ada pula dari Sulawesi. Bagi Mas Bupati Dhito, fenomena Sinau Bareng malam itu dengan beragam asal-usul hadirinnya membuatnya senang karena kenyataan ini menjadi salah satu wujud bahwa Kediri adalah bagian Indonesia. Respons yang menambahkan berbagai tekanan dan wujud kesadaran nasionalisme yang muncul dalam Sinau Bareng malam itu.

Exit mobile version