Mewaspadai Fanatisme
Kerap kali kita mendapatkan cara pandang dan pemikiran baru dari berbagai tema Sinau Bareng. Baik tentang pemikiran para leluhur yang di masa kini mulai pupus atau dihilangkan oleh hegemoni pengetahuan, atau pun tentang cara pandang untuk menelaah kompleksitas persoalan zaman. Apabila cara pandang itu digunakan pada tempat dan kadar yang tepat kita dapat menyumbangkan manfaat bagi lingkungan sekitar atau pada diri kita pribadi.
Setelah memperoleh pandangan baru tersebut, kita perlu mewaspadai bias kebenaran: meyakini kebenaran mutlak versi kita seraya menegasikan versi selain kita. Mbah Nun mengingatkan bahwa kadar kebenaran yang kita temukan bersifat dhanni. Adapun kebenaran yang bersifat qath’i hanya milik Allah Swt.
Oleh karena itu, kita perlu bersikap rendah hati saat merespons kebenaran di sekitar kita. Proses mengolah kebenaran juga terjadi di luar Maiyah. Kebenaran bisa dihadirkan oleh siapa saja atau berasal dari mana pun — bahkan dari sumber yang kita tidak menyukainya.
Mengantisipasi hal itu Maiyah mengajarkan kuda-kuda kewaspadaan agar kita tidak terjebak fanatisme semu atau kultus palsu. Maiyah membongkar sikap fanatik dan taklid buta, misalnya, melalui Nahdlatul Muhammadiyin yang “menampung” dua kubu.
Dengan demikian kita perlu mewaspadai tumbuhnya benih-benih kefanatikan dalam diri kita. Kita tidak boleh mengulang ironi kesempitan itu. Kita manut dan patuh pada Allah dan Rasulullah karena inilah sejatinya Maiyah. Melalui pintu kesadaran ini kita dapat mengamalkan nilai-nilai Maiyah yang dihidangkan Mbah Nun.