Meredefinisi Kembali Proses Perjalanan Hidup Kita
Sinau Pola dari Sejarah
Mas Acang ikut merespons dari dawuh Mbah Nun “Sinau ora ono simbah”. Menurut Mas Acang hal itu sudah beberapa kali Mbah Nun sampaikan kepada jamaah. Termasuk ketika Mbah Nun gerah dan ketika di Bangbang Wetan sedang rame-ramene masalah Lumpur Lapindo, oleh Bu Via, Mbah Nun dipamitno ke jamaah bahwa beliau untuk sementara waktu akan libur, tidak maiyahan.
Jadi menurut Mas Acang, majelis ilmu malam itu merupakan bentuk latihan atau simulasi bagaimana sikap dan cara kita Sinau Bareng jika Mbah Nun tidak ada.
Kalau ditarik ke belakang, Mbah Nun sering mengatakan bahwa Maiyah itu bukan karya beliau. Maiyah itu karya Tuhan yang dititipkan ke Mbah Nun. Bisa dilihat dari bagaimana cara mengumpulkan orang banyak dan bisa betah duduk sampai menjelang pagi. Dan hal itu “di luar” tangan manusia.
Mas Acang mencoba mencari tadabbur ke sirah nabawiyah. Misalnya ketika Kanjeng Nabi kepundut para sahabat banyak yang tidak bisa menerimanya. Tapi Al-Qur’an menegaskan salah satunya bahwa Nabi Muhammad itu seorang bapak dari anak-anaknya dan apakah sudah berlalu kenabian Nabi Muhammad sepeninggalnya.
Menariknya, bagaimana peradaban Islam pasca Nabi Muhammad saat itu. Kejadian gonjang-ganjing yang salah satunya urusan kekhalifahan Islam sepeninggal Nabi Muhammad itu yang membuat Sayyidina Ali memindahkan ibukota dari Madinah Ke Basrah, Irak, akhirnya gonjang-ganjingnya berlangsung di sana. Kejadian itu bisa kita tadabburi sebagai bahan perenungan dan refleksi kita sendiri. Karena menurut Mas Acang, sejarah pasti terjadi satu kali, tapi polanya akan terus berulang. Misalnya kalau dalam khasanah musik, ada salah satu nomor lagu Dewa 19 yang pola musiknya sama dengan salah satu nomor lagu Queen. Lagu hanya akan ada satu, tapi polanya akan terus berulang. Dari hal itu seharusnya kita bisa sinau.
Salah satu yang menarik bagi Mas Acang secara pribadi, Majelis Ilmu Bangbang Wetan maupun majelis ilmu yang lain adalah paseduluran. Mbah Nun nyedulurno siapa saja yang datang ketika maiyahan, semua berkumpul tidak ada batasan, yang ada ajakan mencintai Allah dan Kanjeng Nabi, saling menjaga keamanan satu sama lain dan tidak saling menyakiti. Hal itu sama persis seperti yang dilakukan zaman Kanjeng Nabi hijrah ke Madinah. Kanjeng Nabi itu nyedulurno dan tidak membebani saudara yang baru hijrah ke Madinah. Pola-pola seperti itu yang bisa kita tadabburi supaya kita bersedia belajar dari sejarah. Tidak mengulangi kesalahan yang sama dari sejarah yang dulu.
Menghilangkan “Sampah” Psikologi
Mas Aminullah yang turut hadir menemani kita Sinau Bareng menyampaikan bahwa sebenarnya perjalanan hidup atau eksistensi kita sangat dipengaruhi oleh aransemen logika yang kita bangun. Tetapi terkadang, dewasa ini, banyak di antara kita yang mbundeti merasa buntu alat berpikirnya, sehingga tidak bisa berpikir lepas dan menjawab permasalahan aktivitas hidup kita.
Kalau Mbah Nun pernah mengatakan tentang masa depan, masa kini, dan masa lalu, Mas Aminullah mengajak jamaah untuk berpikir mundur ke belakang tentang masa lalu. Menurut beliau, aransemen logika kita tersusun berdasarkan kompleksitas permasalahan yang kita hadapi, berlandaskan pengalaman hidup. Perihal pengalaman, dari sekian ribu masalah, berapa masalah yang mampu kita jalani dan berapa masalah yang kita hindari? Sedangkan tanpa disadari kebanyakan orang yang kurang memahami, jika menghadapi masalah sering mengambil sikap menghindari masalah tersebut. Maksudnya misalnya, pada masa ketika kita masih sekolah, pada saat besoknya kita menghadapi ujian sekolah, pada malam hari sebelum ujian berlangsung kita menyongsongnya dengan santai bermain game atau kita belajar. Hasilnya akan lebih optimal yang mau belajar daripada yang menjalani ujian sekolah santai sambil nge-game.
Harapan dari Mas Amin, ketika kita menghadapi tahapan permasalahan hidup itu, sebaiknya kita jalani dengan persiapan yang matang dan bekal yang cukup, bukan malah menghindari dan membiarkannya menumpuk. Karena jika masalah yang kita hadapi terus kita hindari dan masalah itu akan menumpuk, secara tidak langsung menjadi “sampah” psikologi kita. “sampah” psikologi itu yang akan menjadikan kita malas mengerjakan apa pun, serta menghambat langkah kita mengjalani masa depan dalam berinovasi, berkreasi dan perjalanan eksistensi kita.
Mas Acang mencoba membedah kembali ke definsi sederhana tentang “Higher Order Logic” di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika kita punya pisau, anak kita yang umurnya masih di bawah 5 tahun akan kita hindarkan dari bermain pisau, sebab pisau akan berbahaya bagi anak tersebut, karena pada usia seperti itu masih sulit diajak berdialog tentang kegunaan pisau. Pada anak kita yang paling kecil itu, sikap kita menjauhkan pisau dari jangkauan anak itu adalah supaya tidak melukai. Sedangkan kepada anak kita yang berumur 12 tahun, kelas 6 SD, pisau bisa kita dialogkan fungsi dan kegunaannya beserta batasannya, walau tetap berada dalam pengawasan kita. Sedangkan fungsi pisau akan bermanfaat jika ibunya anak-anak kita menggunakannya untuk keperluan memasak.
Larangan untuk menggunakan pisau kepada anak kita yang masih di bawah umur 5 tahun itu termasuk Zero Order Logic, karena anak seumur itu belum bisa diajak dialog. Beda ketika pisau itu dipakai oleh anak kita yang berumur 12 tahun, dengan kita tanyakan terlebih dahulu akan dibuat apa pisau itu. Nah variabel fungsi kegunaan pisau ini termasuk First Order Logic. Dan berbeda lagi jika yang menggunakan pisau adalah ibu anak-anak kita, karena sudah masuk set kegunaan pisau untuk keperluan memasak di dapur, hal itu termasuk Second Order Logic.
Mengolah Roso dan Jeda Sejenak untuk Berpikir
Mas Acang mencoba menjawab pertanyaan Oki Pasuruan tentang apakah Higher Order Logic sama dengan mengolah roso sehingga bukan lapis logika Higher Order Logic lebih baik dari yang Second Order Logic, atau First Order Logic, atau yang Zero Order Logic, tetapi bagaimana cara kita menyikapi fungsi lapis logika di setiap permasalahan yang kita hadapi. Menurutnya, di situlah letak fungsi olah rasa dalam belajar lapis logika. Higher Order Logic bisa diasah ketika kita mampu jeda sejenak, tidak reaksional terhadap sesuatu yang sedang kita hadapi. Kalau menurut Mas Sabrang, cara berpikir sistem kedua.
Menurut Mas Acang, dengan banjir informasi sekarang ini, celakanya kita yang dulunya biasanya sempat mikir dalam menyikapi dan menghadapi segala sesuatu, sekarang sudah tidak sempat mikir. Misalnya asal share setiap informasi yang kita dapatkan, tidak melihat isi dan sumber yang menulis informasi tersebut. Itu terjadi karena pendeknya waktu dan rentang perhatian kita di tengah banjir informasi seperti yang kita alami sekarang ini.
Kesempatan untuk jeda sejenak ketika menerima segala sesuatu, membuat roso itu terasah. Sekarang tugas kita, seperti yang digagas oleh Mas Sabrang dengan Symbolic itu melatih kita supaya tidak seperti yang berlangsung di media sosial sekarang ini, asal share informasi karena kita cocok dengan judulnya. Beda dengan yang berlangsung di Symbolic, kita “dipaksa” untuk membaca setiap postingan informasi di Symbolic, karena kita tidak tahu siapa yang menulis, sehingga terpaksa kita membaca isi informasinya.
Waktu jeda sejenak itu kita pergunakan untuk meredefinisi kembali setiap hal yang kita hadapi dan temui dengan menggunakan berbagai lapis logika tersebut. Karena semakin kita tahu banyak variabel permasalahan hidup yang kita masukkan ke diri kita, maka semakin tinggi level logika kita dalam menyikapi setiap permasalahan dalam proses perjalanan hidup yang kita hadapi.
Surabaya, 20 Juni 2022.