Meredefinisi Kembali Proses Perjalanan Hidup Kita
“Higher Order Logic” menjadi tema Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Juni 2022, yang berlangsung pada Minggu malam (19/6) di Kayoon Heritage, Genteng, Surabaya.
Sebelum pukul 20.00 WIB, jamaah sudah banyak berdatangan. Tampaknya jamaah yang hadir tidak hanya dari wilayah Surabaya, tetapi dari wilayah sekitar Surabaya. Terbaca pada sesi tanya jawab, jamaah yang memperkenalkan diri selain dari Surabaya ada yang berasal dari Pasuruan, Jember, dan Blitar.
Tepat pada pukul 20.00 WIB, majelis ilmu dibuka dengan nderes Al-Qur’an Surat Al-Kahfi dan diteruskan pembacaan wirid dan shalawat. Selanjutnya pada sesi awal respons jamaah, saya yang bertindak memoderatori majelis meminta beberapa perwakilan jamaah naik ke atas panggung untuk menyampaikan pendapat.
Pendapat Jamaah Tentang “Sinau ora ono Simbah”
Sebelum masuk ke pembahasan tema, saya meminta respons jamaah tentang dawuh Mbah Nun kepada Jamaah Maiyah mengenai “Sinau ora ono simbah” pada Majelis Ilmu Mocopat Syafaat, yang berlangsung pada 17 Juni 2022 di TKIT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
“Sinau ora ono simbah” menurut Mbah Nun adalah Jamaah Maiyah ke depan harus siap mengadakan rutinan majelis ilmu tanpa kehadiran Mbah Nun. Jamaah Maiyah diminta untuk mandiri Sinau Bareng tanpa kehadiran Mbah Nun. Sebab menurut Mbah Nun suatu saat akan ada momen Mbah Nun akan tiada, dan Jamaah Maiyah tetap ada dan harus siap menjalani majelis tanpa Mbah Nun.
Ada dua jamaah Bangbang Wetan yang mengaku pertama kali hadir di Majelis Ilmu Bangbang Wetan malam itu, kami minta maju ke depan untuk menyampaikan respons dan refleksinya tentang dawuh Mbah Nun “Sinau ora ono simbah”.
Pertama, Oki dari Pasuruan mengungkapkan bahwa dirinya pertama kali datang ke Majelis Ilmu Bangbang Wetan pada malam itu, sebelumnya dia sering datang maiyahan di Padhangmbulan, Menturo, Sumobito, Jombang. Perihal “Sinau ora ono simbah”, Oki mengungkapkan sesekali merasa gelo ketika hadir di maiyahan tanpa dihadiri Mbah Nun atau Mas Sabrang. Menurut Oki, gelo itu wajar, karena hubungan kita dengan Mbah Nun, Mas Sabrang dan Marja’ Maiyah yang lain adalah tresno. Tetapi jika memang dasar hubungan kita tresno kepada para Marja’ Maiyah itu, Oki berharap supaya kita bisa merapatkan barisan di setiap maiyahan yang berlangsung, pada ada atau tidaknya Marja’ Maiyah karena suatu halangan sehingga menyebabkan tidak hadir.
Bentuk tresno kita menurut Oki sebaiknya tidak hanya terbatas urusan fisik (ingin bertemu), tetapi kita sebaiknya juga bisa “menghidupkan” apa saja yang telah diajarkan oleh Marja’ Maiyah, meskipun secara fisik beliau tidak hadir.
Kedua, Koko dari Jember merasa sedih jika memang harus “Sinau ora ono simbah”. Sama seperti perasaan yang dialami Koko ketika melihat Mbah Nun sempat kurang sehat pada waktu Sinau Bareng di HUT kampus Unair kampus C beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang Koko saksikan tentang kondisi Mbah Nun waktu itu, membuat Koko setiap malam kepikiran Mbah Nun. Perihal “Sinau ora ono simbah” kalau ditelaah dari spektrum lebih luas, menurut Koko, suatu saat Mbah Nun akan tidak ada secara materi seperti yang dialami tokoh-tokoh besar, yang dikenang melalui ilmu, wawasan, dan perjuangannya.
Mungkin Mbah Nun menjadi kesatuan pemahaman semua Jamaah Maiyah, kalau akhirnya Mbah Nun tiada secara materi dan kita harus sendiri tanpa simbah, menurut Koko, pekerjaan belajar menjadi agak berat. Karena kita harus mengumpulkan kepingan-kepingan tadabbur Mbah Nun pada setiap Jamaah Maiyah yang ada di dunia ini.
Menurut kesaksian Koko, kita harus sering bertemu dengan orang lain yang mempunyai kepingan-kepingan ilmu yang dimiliki Mbah Nun, yang jiwa dan ideologinya Maiyah meskipun orang itu tidak pernah belajar dan mengenal Maiyah. Tetapi untuk mencari kepingan-kepingan ilmu itu tidak mudah. Mencari kepingan ilmu itu kalau tidak di maiyahan, menurut Koko, agaknya sulit ditemukan.
Orkes Keroncong Mitra Surabaya Reborn ikut menyumbang suasana kesegaran bagi jamaah yang hadir dengan membawakan nomor-nomor lagu terbaiknya, dan dibawakan secara apik dan asyik untuk didengarkan. Tampak sebagian besar jamaah menikmati setiap nomor lagu yang dibawakan, jamaah ikut bernyanyi dan sedikit menggoyangkan tangan, kepala dan badannya menikmati alunan musiknya, walau tetap pada posisi duduk.
Selanjutnya pada sesi mbabar tema dan pendalaman Sinau Bareng, ditemani Mas Acang dan Mas Hari Widodo. Mas Hari mengawali pembahasan tema “Higher Order Logic” yang disingkat HOL, dengan menjelaskan bahwa sebenarnya HOL itu merupakan bahasa pemrograman atau bahasa matematika. HOL atau logika tingkat tinggi menjadi menarik ketika Mas Sabrang ngendikan di salah satu postingan kanal youtube ofisial “Damar Panuluh” bahwa sebaiknya Indonesia harus dilihat dengan cara HOL. Pertanyaan selanjutnya, Indonesia ini seperti apa kok kita harus menggunakan HOL dalam melihatnya?
Menjelaskan Lapis Logika dan Pendekatan HOL untuk Mengatasi Konflik
Karena kecenderungan Mas Hari berada di wilayah seni, maka Mas Hari menggunakan metode penjelasan HOL dengan menggunakan pendekatan musik sebagai pemantik pemahaman jamaah. HOL, menurut Mas Hari, mempunyai fungsi awal yaitu Zero Order Logic atau biasanya disebut Order Logic. Zero Order Logic adalah kategori logika individu yang berisi statemen atau pendapat pribadi.
Mas Hari mencoba menjelaskan beberapa tahapan logika tersebut menggunakan media Orkes Keroncong Mitra Surabaya. Contoh Zero Order Logic misalnya ketika kita menyampaikan pendapat bahwa Orkes Keroncong Mitra Surabaya bermainnya enak sekali. Selanjutnya Mas Hari meminta kepada seluruh personel Mitra Surabaya untuk mengambil peran masing-masing dan memainkan alat musiknya pada reff nomor lagu yang telah dibawakan di penampilan awal.
Setelah Mitra Surabaya selesai memainkan alat musiknya, Mas Hari bertanya kepada jamaah yang telah mendengarkan permainan musik Mitra Surabaya, apakah pendapat Mas Hari bahwa Mitra Surabaya bermainnya enak sekali masih relevan atau tidak? Nah, First Order Logic atau FOL ini logika berikutnya yang mengandung variabel dalam menentukan pendapat Mas Hari bahwa Mitra Surabaya bermainnya enak. Pada Orkes Keroncong tersebut ada sekitar enam variabel alat musik beserta vokalnya untuk mendukung pernyataan Mas hari tadi.
Pada salah satu variabel alat musik bass atau ukulele saja jika dimainkan akan mengurangi kelengkapan pernyataan Mas Hari bahwa Mitra Surabaya bermainnya bagus sekali. Pada pendekatan logika FOL yang dipersyaratkan harus mengandung banyak variabel untuk mendukung pernyataan kita, maka tidak termasuk pernyataan benar menurut logika FOL jika hanya mengandung satu atau dua variabel pendukung.
Misalnya, jika salah satu variabel alat musik pada kelengkapan variabel alat musik keroncong itu ngeyel merasa menangnya sendiri sehingga menyingkirkan yang lain, maka pernyataan Mas Hari tentang Orkes Keroncong Mitra Surabaya bermainnya bagus itu menjadi tidak bisa diterima publik. Karena syarat bermain enak itu jika semua variabel alat musik bermain bersama saling mengisi peran sehingga tejadi harmoni yang enak didengar.
Selanjutnya, ada logika “Second Order Logic” yang di dalamnya mengandung quantifier. Gampangannya, menurut Mas Hari, ketika kita berpendapat bahwa musik keroncong enak di tengah berkumpulnya berbagai genre musik lain itu apakah tepat? Melalui cara pandang logika SOL, seharusnya kita menyatakan bahwa semua genre musik itu enak didengar. Mau tidak mau, kita harus bersedia memperluas logika kita dari berpendapat bahwa musik keroncong enak didengar menjadi semua genre musik enak didengar, dengan fakta-fakta yang ada. Meskipun dari beberapa sisi genre kita kurang menyukai, tetapi dengan logika SOL mau tidak mau kita harus meluaskan logika kita bahwa semua genre musik itu enak.
“Higher Order Logic” itu lapis logika—yang kalau dalam penjelasan musik adalah bagaimana cara kita memperkenalkan khasanah musik dari berbagai genre ke orang lain yang cenderung tidak suka musik. Sehingga orang-orang di luar musik bisa melihat musik menjadi sesuatu hal yang enak didengar.
Sahrul Ardiansyah dari Surabaya menyampaikan catatan perenungannya yang telah disiapkan dari rumah. “Higher Order Logic” atau berpikir tingkat tinggi menurut Sahrul dimulai dari berpikir yang merupakan proses umum untuk menentukan isu pikiran. Logika adalah ilmu berpikir. Ketika seseorang diberi masalah yang sama, belum tentu bisa menjawah dengan solusi yang sama pula. Harapan Sahrul dalam pendekatan logika HOL adalah sebisa mungkin kita menghargai pendapat orang lain. Melihat apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan.
Hampir sama yang disampaikan Sahrul, Muhaimin dari Surabaya Utara, menyampaikan bahwa HOL itu pernyataan yang ada unsurnya, sama dengan ilmu filsafat. Sedangkan Maiyah itu unsurnya lengkap, semua diterima. Orang pintar dengan orang bodoh, atau orang baik dan yang belum baik, bisa duduk Sinau Bareng di setiap Maiyahan.
Menurut Mas Acang mengutip perkataan Mas Sabrang, perihal sering terjadi konflik antara kaum sains dengan kaum agama, akan berbeda jika agama disampaikan dengan pendekatan HOL. Karena agama itu sangat logis, tetapi agama itu logikanya berbeda dengan pendekatan logika umum. Misalnya metode reduksionis tidak teraplikasikan dalam pendekatan logika umum. Jadi tidak akan ada konflik jika sains dengan agama bertemu pada pendekatan logika HOL. Perbedaan logika itu bisa terjadi jika data set yang melahirkan logika itu berbeda. Jika kita mengetahui hal itu, semestinya tidak ada konflik lagi di antara kita.