CakNun.com

Menggerakkan Gelombang Kelima

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 4 menit

Kelemahan puncak masyarakat atau bangsa kita sekarang adalah tiada semangat untuk merawat, menyiram, menumbuhkan kembali secara permanen kemudian menggelorakan kesadaran akan nilai menjadi gelombang kesadaran, gelombang pikiran, gelombang kehendak dan gelombang-gelombang tindakan yang positif.

Photo by Yoann Boyer on Unsplash

Biasanya karena dianggap sebagai barang lama, biasa, lapuk, dan dianggap kurang berguna atau kurang fungsional dalam melaksanakan siasat-siasat duniawi gelombang nilai dan gelombang kesadaran nilai ini justru disingkirkan. Kalau perlu dimasukkan kamar pengap dalam jiwa kita dan dikunci dari luar dengan gembok rasa tidak enak. Bahkan banyak yang menggemboknya dengan semacam dendam dan trauma sebab gara-gara nilai dan kesadaran nilai utama kehidupan ini telah membuat nasib duniawi dia menjadi buruk, sengsara, dan melarat.

Oleh karena itu, ramai-ramai orang membuangnya, atau tadi memenjarakan nilai dan kesadaran nilai agar tidak berfungsi dalam rembukan siasat untuk menumpuk kepentingan duniawi. Selalu diusahakan agar nilai dan kesadaran nilai ini hilang dalam peredaran dan pergaulan bersama karena kalau sempat muncul bisa mengganggu transaksi-transaksi yang tengah berlangsung. Transaksi apapun. Sebab transaksi hanya berbicara dalam satu bahasa. Bahasa keuntungan, profit, bathi dalam bahasa Jawanya.

Lha, masalah dasarnya adalah nilai dan kesadaran nilai kelima ini adalah sesuatu yang boleh dikata anti keuntungan, anti profit, dan sekaligus anti bathi. Dan hari-hari ini siapa yang mau memilikinya sebagai pusaka jiwa, menjadi rujukan tindakan, bahkan sebagai strategi untuk meraih sukses duniawi? Ketika semua, atau hampir semua orang berbondong-bondong berjalan cepat atau lari cepat menuju lembah lembah-lembah ‘kemakmuran’ ciptaan rezim yang berkarakter dajjali yang dengan sihir canggih bisa mentransformasi keburukan menjadi menjadi tampak seperti kebaikan, yang mungkar menjadi tampak ma’ruf, yang salah ditampilkan menjadi kemasan indah sebagai kebenaran maka nilai utama kehidupan dan kesadaran akan nilai ini akan kabur dan terkubur dengan sendirinya.

Karena berburu keuntungan, profit, dan bathi lewat aneka mekanisme transaksional, dan kesepakatan rahasia atau terang-terangan dalam menjamin tolong-menolong dalam dosa, maka mereka yang berada di lembah-lembah kepentingan duniawi ini diam-diam terlibat dalam persaingan dan permusuhan. Juga cenderung tidak bahagia, atau mengidap bahagia semu. Mereka dijauhkan Tuhan dari suasana dan atmosfer bahagia yang sejati.

Lantas nilai dan kesadaran nilai seperti apa yang sekarang cenderung tidak laku dan tidak disukai orang ini? Saya harus berterus-terang: ini adalah nilai dan kesadaran nilai ketulusan dan keikhlasan. Nah, sesuatu yang ajaib bernama ketulusan dan keikhlasan ini sekarang berada di mana, bersembunyi atau disembunyikan di mana? Mengapa cenderung dibuat disfungsional dalam kehidupan bersama kita, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita. Mereka yang tulus dan ikhlas cenderung dijauhi, dilupakan, kalau perlu dimanipulasi kehadirannya, dan jahatnya lagi justru sering dijadikan simbol untuk menutupi ketidaktulusan dan menutupi ketidakikhkasan.

Di depan publik banyak yang berorasi (kepleset menjadi ora sida) tentang pentingnya ketulusan dan keikhlasan ketika membuat kebijakan atau keputusan yang menentukan nasib orang banyak untuk menyembunyikan siasat rahasia mengeruk keuntungan duniawi yang kemudian terbukti apa yang diputuskan ini ketika dilaksanakan justru menimbulkan kerusakan. Di dunia ini, sebagaimana ayat suci mencandra atau mengidentifikasi, telah banyak terjadi kerusakan di daratan dan di lautan (sekarang ditambah adanya kerusakan di udara, di dunia maya) karena perbuatan manusia.

Ketika dikritik sebagai telah berbuat kerusakan mereka marah dan berteriak- teriak kalau pihaknya telah melakukan perbaikan, melakukan pembangunan. Identifikasi kemunafikan individual dan komunal seperti dapat disaksikan dengan membaca ayat-ayat awal surat Al-Baqarah. Bahkan dengan tepat dan makjleb dalam ayat-ayat ini disebutkan mereka yang terbiasa atau malah memuja sikap dan praktik anti ketulusan dan keikhlasan kalau sampai kebablasan bisa terkena penyakit hati dan penyakit kesadaran berupa penyakit summum, bukmun, ‘umyun sampai masa depan jiwa raganya terkunci pada posisi la yarji’un.

Kalau sudah demikian, mereka diberi nasihat atau kritikan atau dibiarkan akan sama saja. Na’udzubillahi min dzalik.

Nah, sesungguhnya, betapa mulia dan efektif nilai dan kesadaran nilai akan ketulusan dan keikhlasan dalam membangun masa depan dan peradaban masa depan yang cerah dan gemilang. Mengapa? Karena ketulusan dan keikhlasan bisa menjadi landasan atau basis yang paling rasional bagi tumbuhnya rasa saling percaya (trust) dalam kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat, kehidupan berbangsa dan kehidupan bernegara. Dengan adanya trust ini semua warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara akan merasa aman, nyaman, dan damai. Kalau sudah demikian sekian banyak masalah bersama dalam lingkup masyarakat, bangsa, dan negara dapat diatasi dengan solusi yang kreatif dan cespleng serta mantab.

Untuk hari-hari ini adalah tugas semua generasi untuk menghidupkan, kemudian menggerakkan serta menggelombangkan nilai dan kesadaran nilai ketulusan dan keikhlasan ini. Ini bisa dilakukan dengan gratis zero biaya. Hanya memerlukan semangat untuk menggelombangkan sehingga menjadi nilai utama yang bisa mendominasi kehidupan bersama. Kalau masyarakat, bangsa dan negara sudah menerima dan sama-sama menggelorakan serta menggelombangkan nilai dan kesadaran nilai ketulusan dan keikhlasan, maka masa depan kita, atau katakan pembangunan serta perubahan positif di tengah tubuh masyarakat, bangsa dan negara yang berada di bawah komando panglima nilai ketulusan dan keikhlasan akan cepat berhasil.

Banyak masyarakat, bangsa, dan negara yang mempraktikkan atau mengkonkretkan nilai ketulusan dan keikhlasan ini menjadi masyarakat, banget, negara yang kuat, maju, percaya diri (karena relasi antar warga dibangun berdasarkan trust dan tindakan bersama dilandasi oleh fatsoen) dan berjaya secara spiritual dan material.

Gelombang nilai ketulusan dan keikhlasan ini termasuk ajaib, merupakan salah satu gelombang nilai yang bisa menyembuhkan masyarakat, bangsa, dan negara dari penyakit kronis korupsi misalnya. Dengan demikian perubahan dan kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara bisa diakselerasi dengan nyaris sempurna. Dan jannya jelas: masyarakat, bangsa, dan negara akan bahagia dan sekali bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-hari di hari ini dan di masa depan.

Mau? Mau dong, begitu saya dengar jawaban generasi milenial, generasi masa depan yang semangat hidupnya selalu terbarukan dengan angin kesadaran yang positif. Ternyata kesadaran akan nilai ketulusan dan keikhlasan ini.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version