Menangkal Petir-Petir Zaman
Setelah hampir dua tahun tidak dapat diselenggarakan, di bulan Januari 2022 ini penggiat Kenduri Cinta mencoba untuk kembali menyelenggarakan sinau bareng secara offline. Tentu belum sepenuhnya ideal seperti di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Dengan persiapan teknis yang lebih kompleks, seperti penerapan protokol kesehatan dan juga mengharuskan setiap jamaah yang hadir untuk registrasi secara online, koordinasi teknis di lapangan pun dilakukan dengan memperhatikan hal-hal detail. Tentu saja, penerapan protokol kesehatan tetap dilakukan.
Pemilihan lokasi penyelenggaraan Maiyahan Kenduri Cinta di Lapangan Pusdiklat KEMNAKER bukan tanpa pertimbangan. Area terbuka cukup lega, lokasi juga mudah dijangkau, sangat representatif untuk dijadikan tempat penyelenggaraan Maiyahan. Antusiasme jamaah Kenduri Cinta pun cukup tinggi, sejak maghrib, jamaah yang sudah melakukan registrasi mulai berdatangan.
Tepat pukul 19.30 WIB, Maiyahan dimulai dengan pembacaan wirid Akhir Zaman dilanjutkan dengan Wirid Padhangmbulan, Ma Lana Mawlan Siwallah dan Hasbunallah. Suasana khusyuk, jamaah yang sudah hadir lebih awal fokus bermunajat.
Pada sesi mukadimah, Wisnu yang bertugas sebagai moderator menyampaikan bahwa momen Kenduri Cinta edisi Januari 2022 ini diharapkan menjadi pijakan awal untuk restart, dan semoga di tahun 2022 ini, Kenduri Cinta dapat terlaksana rutin kembali setiap bulan, seperti sedia kala. Sebelumnya, lokasi di Lapangan Pusdiklat ini sudah direncanakan untuk penyelenggaraan Kenduri Cinta di bulan Juli 2021 lalu, namun saat itu Covid-19 varian Delta meningkat drastis angka pertambahannya, sehingga Pemerintah memutuskan untuk menerapkan PPKM yang sangat ketat, sehingga Maiyahan urung diselenggarakan di lokasi tersebut, dan dipindahkan di sekitaran Kemang, dan juga diubah jadwalnya menjadi siang hari dengan jumlah jamaah yang sangat terbatas.
Memasuki tema, Fahmi Agustian menyampaikan bahwa tema Kenduri Cinta kali ini diberikan oleh Mbah Nun. Tentu saja, Maiyah Penangkal Petir tidak dipahami secara tekstual, bahwa Maiyah sebagai media penangkal petir. Namun, Mbah Nun secara kontekstual menyampaikan beberapa pointer, bahwa Maiyah sebagai laboratorium ilmu melalui sinau bareng telah membekali banyak wacana keilmuan kepada jamaah Maiyah agar tidak mudah terdistorsi dari hal-hal yang berada di luar dirinya, dan terlebih lagi dari hal-hal yang memang tidak menjadi beban tanggung jawabnya.
Amien Subhan menambahkan, Maiyah telah membekali kita semua agar terbiasa untuk memfilter informasi yang masuk. Era digital saat ini, sangat sulit bagi kita untuk membendung arus informasi yang semakin deras membanjiri, baik melalui media cetak, elektronik, lebih-lebih melalui internet. Menegaskan pesan Mbah Nun pada tahun lalu, bahwa jangan sampai hal-hal yang berada di luar diri kita membuat kita sedih, jatuh, bahkan tumbang.
Senada dengan Amien, Ali Hasbullah menyampaikan bahwa kondisi manusia secara komunal, bukan hanya di Indonesia, bahkan di dunia saat ini sudah sangat terfokus pada sudut pandang kapitalisme. Hampir semua orang berpikiran mengenai seberapa banyak keuntungan materi yang didapat. Entah bagaimana caranya, yang diutamakan adalah mendapatkan untung yang banyak. Di masa pandemi ini, kita melihat bagaimana bisnis dunia kesehatan begitu nyata menghasilkan keuntungan materi yang sangat besar bagi para pelaku bisnisnya. Ali menegaskan bahwa Maiyah, dengan begitu banyak bekal yang sudah diberikan oleh Marja’ Maiyah, sudah semestinya membuat jamaahnya tidak mudah tergiur oleh hal-hal yang bersifat duniawi semata itu.
Sekitar jam 21.00 WIB, Mbah Nun bergabung di panggung utama. Setelah malam sebelumnya Mbah Nun hadir di Tasikmalaya, dalam acara Maiyahan bersama teman-teman Lingkar Daulat Tasikmalaya. Kedatangan Mbah Nun di Tasikmalaya itu merupakan lanjutan dari rangkaian silaturahmi Mbah Nun dengan penggiat Simpul Maiyah di beberapa kota yang sebelumnya terselenggara di Sidoarjo, Ponorogo, Wonosobo, dan Demak. Pada kesempatan ini, Mbah Nun menyambangi teman-teman di Tasikmalaya, dan kemudian setelah Kenduri Cinta, Mbah Nun akan melanjutkan rangkaian silaturahmi tersebut untuk menyambangi teman-teman penggiat Maiyah di Lampung.
Mbah Nun pun menyapa jamaah Kenduri Cinta malam itu dengan penuh kegembiraan. “Saya ini khawatir, karena sudah lama tidak bertemu dengan anak-anak Maiyah, jangan-jangan kalian pada putus asa, bergelimpangan di jalan-jalan,” Mbah Nun menyapa dengan guyon yang disambut tawa jamaah. Mbah Nun memang yang sejak awal meminta kepada Progress untuk dijadwalkan menyambangi teman-teman penggiat Simpul Maiyah di beberapa kota. Bersyukur, teman-teman jamaah Maiyah Kenduri Cinta di bulan Januari 2022 ini berkesempatan disambangi oleh Mbah Nun.
Mbah Nun kembali menegaskan bahwa salah satu tujuan Maiyah adalah menciptakan sebuah komunal masyarakat yang tidak hanya Al Mutahabbiina fillah, tetapi memperjuangkan agar Allah juga mencintai kita semua. Ditegaskan oleh Mbah Nun bahwa yang paling utama adalah kita ridhla atas ketetapan Allah kepada kita, sehingga kita kemudian mendapat ridhla dari Allah.
Hidup di era digital saat ini, Mbah Nun menyampaikan bahwa salah satu jenis petir zaman yang memungkinkan menyambar kita adalah petir berupa informasi yang beredar melalui media sosial. Mbah Nun berpesan kepada jamaah Maiyah Kenduri Cinta agar jangan sampai tersambar petir-petir informasi media sosial tersebut, apalagi sampai membuat stress bahkan frustrasi, menghabiskan energi untuk memikirkan sesuatu hal yang sebenarnya tidak menjadi kewajiban kita untuk memikirkannya. Mbah Nun mengingatkan bahwa Allah sendiri tidak akan pernah membebani hamba-Nya melebihi beban yang tidak mampu disangga. Laa yukallifullaha nafsan illa wus’ahaa.
Di tengah diskusi, Mbah Nun mengajak jamaah untuk membaca surat Al Anfal ayat 17, yang diawali dengan Al Fatihah dan shalawat. Secara khusus, Mbah Nun meminta jamaah untuk membaca itu, dan disarankan untuk juga dibaca saat di rumah, setelah shalat, atau di waktu-waktu yang lain. Mbah Nun berharap, semoga dengan dibacanya ayat tersebut, dapat menjadi salah satu media penangkal petir bagi jamaah Maiyah agar tidak tersambar oleh petir-petir zaman.
Tidak hanya itu, Mbah Nun juga memberikan ijazah, yang dianjurkan untuk dibaca setiap selesai shalat. Ijazah tersebut adalah; membaca sholawat 9 kali, kemudian dilanjutkan membaca istighfar 9 kali, lalu ditutup dengan membaca wirid hasbunallah sebanyak 9 kali. Kemudian, Mbah Nun juga menyarankan agar setiap sebelum tidur, jamaah Maiyah membaca Surat Al-Qadar sebanyak 10 kali.
“Anda harus ingat, bahwa Allah memperjalankan hamba-hamba-Nya pada malam hari,” Mbah Nun melanjutkan. Menyitir ayat pembuka dari Surat Al Isra; Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan minal masjidi-l-haraami ilaa-l-masjidi-l-‘aqsho. Dan menurut Mbah Nun, salah satu alasan mengapa kita dianjurkan membaca Surat Al-Qadar sebelum tidur adalah, agar kita dapat merasakan lailatul qadar, yang sejatinya tidak hanya terjadi di bulan Ramadhan saja.
Setelah jeda musik, Andrean salah satu penggiat Kenduri Cinta menceritakan pengalamannya mengenai penangkal petir dalam dirinya. Andrean beberapa tahun yang lalu melewati masa-masa kiritis karena sebuah sakit yang ia derita. Pada masa-masa kritis itu, di sebuah momen, Mbah Nun hadir dalam sebuah mimpi, dan memberikan panduan wirid yang begitu lengkap. Setelah terbangun dari tidur, seketika Andrean yang sebelumnya tidak mampu bangun dari tempat tidur, merasakan kondisi tubuh yang segar. Ia kemudian melaksanakan shalat, dan mengamalkan ijazah dari Mbah Nun yang disampaikan melalui mimpinya saat itu.
Diceritakan oleh Andrean, kenapa Mbah Nun bisa hadir dalam mimpinya, dan bahkan beberapa kali hadir seperti memberikan pesan dan peringatan kepada dirinya, karena Andrean setiap selesai shalat selalu bertawasul kepada Mbah Nun dengan membaca Al-Fatihah yang dikhususukan untuk Mbah Nun. Amalan itu selalu dilakukan oleh Andrean, yang kemudian diyakini oleh Andrean kenapa Mbah Nun beberapa kali hadir dalam mimpinya.
Mbah Nun kemudian menjelaskan, apa yang dialami oleh Andrean itu merupakan salah satu keajaiban yang dirancang oleh Allah. Mbah Nun menegaskan bahwa tidak pernah merencanakan untuk hadir di mimpinya Andrean, bahkan Mbah Nun sendiri pun tidak merasa hadir di mimpinya Andrean. Pada wilayah tersebut, sudah pasti Allah yang berkehendak untuk melakukannya. Satu hal yang juga ditegaskan oleh Mbah Nun, bahwa apa yang dialami oleh Andrean itu tidak sedikit pun kemudian membuat Mbah Nun merasa menjadi manusia yang spesial karena mampu melakukan hal-hal yang menurut Andrean di luar nalar manusia pada umumnya.
Apa yang dialami oleh Andrean pernah juga dialami oleh salah satu jamaah Maiyah di Mandar. Mbah Nun menceritakan apa yang dialami oleh Bu Latappa, pada sebuah momen juga mengalami masa kritis, dan menurut Bu Latappa, Mbah Nun kemudian hadir di dalam mimpinya saat itu, untuk bernegosiasi dengan Allah agar Bu Latappa diberi kesempatan untuk kembali sehat.
Mbah Nun menegaskan kembali bahwa hal-hal seperti itu bukan sesuatu yang dirancang oleh Mbah Nun. Sepenuhnya merupakan kehendak Allah yang menentukannya. Peristiwa-peristiwa seperti ini pun berpotensi menjadi petir, termasuk bagi Mbah Nun sendiri. Maka dari itu Mbah Nun berpesan bahwa yang paling utama di Maiyah adalah pijakan Tauhid yang mutlak.