CakNun.com

Membuka Kode Kemakmuran

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 6 menit

Suatu hari Cak Dil, Adil Amrullah, sahabat saya di Majalah Kuntum dan di Harian Masa Kini serta pernah bersama-sama mengasuh rubrik sastra Insani Harian Masa Kini, berkata kepada saya, ”Sebaiknya kalau Jum’at setelah Jumatan ini ada yang sedekah makan siang untuk para jamaah Jum’at. Saya lihat banyak tukang becak yang setia Jum’atan, juga para musafir. Mereka akan senang kalau siang itu tidak perlu membeli makan siang dan sudah mendapat makan siang yang dibagikan di masjid.”

Image by Indhira Adhista from Pixabay

Waktu ide tersebut dilontarkan, terasa asing dan aneh. Beribadah, shalat berjamaah Jum’at kok ditambah dengan ibadah sedekah segala. Tetapi dengan cara bagaimana saya kurang tahu, ide tersebut menyebar meluas di banyak tempat. Dilaksanakan. Orang-orang yang masuk kategori miskin atau pas-pasan hidupnya atau yang tidak punya waktu untuk membeli makan siang, setiap hari Jum’at siang tertolong. Banyak masjid membagikan paket makan berat atau snack berat untuk dinikmati sehabis shalat berjamah Jum’at. Istilah ini disebut sebagai Jum’at berkah. Bahkan dermawan Jum’at Berkah ini berkeliling kota dan mencari orang yang membutuhkan makan siang, baik dia Jum’atan atau tidak. Mereka melaksanakan pesan dan amanat dari surat Al Ma’un. Tujuannya sederhana, setiap Jum’at siang diharapkan tidak ada orang kelaparan. Bahkan, saya pernah Jum’atan di masjid di sebuah markas Brimob di mana sajiannya istimewa. Ada makanan snack, gorengan tersaji di tambir, dan hadirin mendapat segelas teh hangat penghapus haus.

Hari Jum’at yang dikategorikan hari besar mingguan umat Islam (sayyidul ayyam) telah diformat sebagai kode pembuka kemakmuran bersama. Ibadah shalat dipadukan dengan ibadah sedekah. Ini mengasyikkan juga. Sebab kalau dilacak dalam sejarah kebudayaan zaman kasultanan ada yang menjadikan hari Jum’at sebagai hari pisowanan alit, lalu setelah sultan, kerabat dan pejabat kasultanan serta hadirin berjum’atan, diadakan makan bersama.

Tradisi menjadikan hari Jumat sebagai kode kemakmuran juga dipelihara oleh keluarga trah atau Bani santri dan keturunan Arab di banyak tempat di pulau Jawa. Waktu itu Jum’at menjadi hari libur bagi sekolah-sekolah Islam dan madrasah sehinga setiap Jum’at mereka bisa berkumpul di salah satu rumah keluarga kemudian bersama-sama shalat Jum’at dan setelah Jum’atan mereka makan-makan lezat masakan keluarga yang ditempati. Tradisi ini berkaitan erat dengan kebiasaan kenapa di kota-kota santri kalau Jum’at pagi toko-toko tutup, baru dibuka setelah siang.

Kalau dilacak dan dikaji serta ditadabburi lebih dalam, ternyata dalam ajaran Islam banyak sekali kode-kode kemakmuran bersama ini. Pada menjelang Idul Fittri umat Islam yang mampu diwajibkan membayar zakat fitrah berupa bahan makanan pokok. Zakat fitrah ini diberikan kepada para fakir miskin. Tujuannya sederhana, agar pada Hari Raya Idul Fitri tidak ada orang yang kelaparan. Kemudian banyak orang kaya dan pengusaha yang atas inisiatif sendiri menghitung zakat mal di bulan puasa dan membagikannya kepada fakir miskin menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tujuannya untuk melengkapi kegembiraan fakir miskin. Hari Raya menjadi momentum untuk menerima zakat fitrah dan zakat mal. Zakat mal berupa uang bisa dimanfaatkan untuk membeli lauk pauk dan pakaian yang pantas untuk shalat Idul Fitri.

Demikian juga ketika datang hari besar Islam, Idul Adha. Keluarga Muslim yang mampu menyembelh hewan kurban dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Mereka pada hari raya ini bergembira karena Idul Adha merupakan kode kemakmuran bersama, meningkatkan gizi masyarakat yang kurang mampu. Pada saat Idul Adha, mereka yang beribadah haji di tanah suci pun menyembelih hewan kurban, karena jumlahnya sangat banyak kemudian dagingnya dikemas rapi dan dikirim ke negara-negara yang warganya membutuhkan.

Secara budaya, kemudian masyarakat melakukan ijtihad budaya dalam membuka kode kemakmuran bersama ini pada hari-hari besar Islam yang lain. Misalnya, saat menyambut 1 Muharram atau Tahun Baru Hijriyah, dulu di kasultanan dan di masyarakat santri dengan membagi bubur Suran untuk menalurikan momentum zaman Nabi Nuh ketika banjir mulai surut dan penghuni kapal mengumpulkan sisa bahan makanan untuk dicampur dibuat bubur dan dimakan bersama. Dan di bulan Shafar dibukalah kode kemakmuran bersama berupa kegiatan berbagi kupat di Jalasutra Piyungan, berbagi apem di Jatianom Klaten dan berbagi lemper di Wonokromo Pleret Bantul, dengan semangat sedekah di bulan Shafar sebagai tolak bala karena dulu dipahami bulan ini sebagai bulan yang banyak muncul penyakit.

Setelah itu, datanglah bulan Maulud, bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. yang juga difungsikan sebagai kode pembuka kemakmuran bersama. Di kasultanan ada perayaan Sekaten, ada penyelenggaraan Pasar Malam Sekaten selama empat puluh hari dan ditutup dengan keluarnya gunungan Grebeg sebagai sebagai sedekah pihak kasultanan kepada rakyat atau masyarakatnya. Masih adalagi kode kemakmuran yang dibuka pada menjelang bulan Ramadlan, yaitu warga masyakarakat dengan berbagi kue apem, kolak dan ketan. Kemudian saat Ramadlan, adalah saat dibukanya kode kemakmuran bersama berupa hadirnya musim takjil di masjid-masjid dan dibukanya bazaar makanan berbuka puasa di banayak sekali tempat.

O, ya, di pantura, sehabis Idul Fitri setelah warga selesai puasa Syawal, ada kode kemakmuran bersama berupa perayaan Bada Kupat di mana warga masyarakat saling berbagi makanan. Dan di pelosok Indonesia jika dicermati akan banyak ditemui kode kode kemakmuran yang berkaitan langsung dengan momentum hari besar agama atau bulan-bulan penting dalam perspektif ajaran agama.

Kalau di kalangan Kampung Naga di Jawa Barat, yang ada bukan saja kode pembuka kemakmuran bersama. Yang ada justru kode pembuka kesejahteraan dan kode pembuka kebahagiaan bersama. Semua perayaan yang menggembirakan dikaitkan dengan tanggal dan hari-hari besar agama Islam. Upacara yang disebut Hajat Sasih ini diadakan pada bulan Muharam, bulan Maulud, bulan Ruwah, bulan Syawal, bulan Rayagung atau Dzulhijjah. Warga dalam Hajat Sasih ini membersihkan makam dan berziarah di makam leluhur. Masing-masing warga membawa sapu lidi. Sesudah upacara di makam selesai, lidi dicuci, dan mereka masuk ke dalam masjid mengelilingi tumpeng. Upacara diakhir dengan doa dan makan-makan.

Kecerdasan budaya para ulama dan leluhur dulu dalam meramu dan memadukan kegiatan ibadah shalat, ibadah sedekah, dan kegiatan ziarah dan lainnya itu menjadikan tersedianya selalu kode-kode pembuka kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, secara rutin mereka membuka kode kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan ini. Bahkan kemudian, pentas wayang kulit dan pengajian pun bisa menjadi kode pembuka kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. Saya ketika kecil merasa senang dan bahagia ketika ada pentas wayang kulit dan saya lihat orang yang datang mendapat bagian dari kemakmuran bersama itu. Tamu yang diundang untuk nonton wayang kulit yang dipentaskan untuk menyambut anak khitan, perkawinan atau syukuran keluarga, dapat menikmati hidangan bakmi panas di tengah malam dan kue-kue. Kemudian para penjual makanan, minuman, mainan anak-anak pun bergembira karena dagangannya laku.

Kemudian pada awal dan tahun-tahun pertengahan diselenggarakannya Pengajian Padhangmbulan di Menturo Sumobito, pengajian yang menjadi ibu atau induk dari semua pengajian Maiyah atau Ngaji bareng di Indonesia ini kemudian saya sadari sebagai kode pembuka kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. Puluhan ribu orang hadir, dan ratusan pedagang meramaikan pengajian ini. Berkah dan rahmat dari langit tumpah meriah ke bumi dan dinikmati oleh semua yang hadir di pengajian dan warga desa serta orang sekitar. Dan sebagai kode pembuka kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan maka kehadiran pengajian Padang Bulan setiap tanggal 15 bulan Qomariah pun selalu dirindukan orang, sebagaimana pengajian Maiyah di banyak kota di pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Saat berlangsung Pengajian Mocopat Syafaat di Kasihan Bantul terasa bagaimana kode pembuka kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagaiaan ini berfungsi optimal. Oleh karena tu adanya pengajian ini sangat dirindukan orang. Kita semua merasa bagaimana rindu itu menguat saat pandemi sehingga pengajian terpaksa diliburkan. Begitu dibuka kembali bulan lalu yang hadir pun berbondong-bondong datang dari berbagai arah.

Nah, sebenarnya masyarakat Indonedia, rakyat Indonesia, warga bangsa Indonesia, warga negara Indonesia sangat mudah masuk dalam suasana dan lingkungkan yang memakmurkan, mensejahterakan, dan membahagiakan manakala bisa meniru metode menciptakan dan membuka kode kemakmuran, kode kesejateraan, dan kode kebahagiaan ini dengan meniru apa yang dilakukan oleh umat Islam dan masyarakat Muslim dulu dan sekarang ini. Maksudnya adalah memfungsikan hari-hari besar nasional sebagai kode pembuka kemakmuran, kode kesejahteraan, dan kode kebahagiaan bersama.

Misalnya dalam memperingati Hari Jadi sebuah kota atau kabupaten pejabat puncaknya mencanangkan hari itu sebagai hari pembebasan kota atau kabupaten itu dari kemiskinan. “Alhamudillah, hari ini kita bersyukur karena di kota kita atau di kabupaten kita sudah tidak ada lagi orang miskin,” katanya mantap.

Atau ada pejabat lain, misalnya seorang gubernur sebuah provinsi yang dalam pidato memperingati hari jadi provinsi itu bisa mengangkat muka dan percaya diri berkata, “Pada hari ulang tahun provinsi kita ini saya umumkan bahwa di provinsi kita sudah hampir tidak ada lagi kesenjangan sosial.”

Atau ada seorang menteri yang dengan pecaya diri saat hari ulang tahun kementeriannya bisa berpidato mantap, “Pada hari ulang tahun kementerian kita ini saya nyatakan, di seluruh Indonesia sudah hampir tidak ada lagi pengangguran. Kalau tahun-tahun dulu angka pengangguran masih puluhan juta, tahun ini tercatat tinggal setengah juta kurang orang yang menganggur.”

Dan lebih dahsyat lagi kalau ada menteri yang mengurusi pertanian mampu berpidato saat hari ulang tahun kementeriannya, “Pada hari ini saya nyatakan kalau Indonesia sudah berhasil menjadi negara swasembada hasil pertanian dan peternakan. Kita mulai tahun ini sudah tidak lagi mengimpor beras, daging, buah-buahan, kedelai. Dan untuk tahun depan kita akan tumbuh menjadi negara pengekspor beras, daging, buah-buahan, kedelai.”

Lalu ada pejabat lain yang memperingti hari nelayan berpidato dengan rendah hati, “Kemarin kita masih mengimpor garam untuk mengawetkan ikan dan untuk industri lain. Alhamdulillah, mulai tahun ini kita stop impor garam, memalukan untuk negeri yang punya pantai terpanjang di dunia. Bahkan dalam lima tahun mendatang industri garam kita akan menghasilkan garam kelas satu dunia dan bisa kita ekspor. Beranjak dari negeri improtir garam menjadi eksportir garam sebuah perjuangan berat. Alhamdulillah itu semua sudah bisa kita lalui.”

Lalu bagaimana memfungsikan hari kemerdekaan sebagai kode pembuka kemakmuran, kode pembuka pintu kesejahteraan, dan kode pembuka kebahagiaan? Itu akan terjadi manakala ada pejabat yang berani dan berprestasi nasional dengan mengatakan bahwa,”Hari Kemerdekaan kita sekarang adalah hari kemerdekaan dan kebebasan kita dari sebagian utang. Baik utang swasta atau utang negara memang masih ada tetapi jumlahnya sudah tidak menakutkan.” Kapan semua ini tercapai? Mungkin masih sangat lama sekali. Mungkin kita perlu terus bersabar menunggu dibukanya kode kemakmuran, kode kesejahtraan, dan kode kebahagiaan bangsa. Hitungannya bisa melewati sedikit pemilu atau melewati banyak pemilu. Tetapi yang jelas, seagai rakyat, sebagai masyarakat, sebagai warga bangsa dan sebagai warga negara kita semua merindukan itu. Merindukan hari-hari besar nasional dijadikan kode pembuka pintu kemakmruan, kode pembuka pintu kesejateraan, dan kode pembuka pintu kebahagiaan kita semua.

Yang jelas kode pembuka kemakmuran, kode pembuka kesejahateraan dan kode pembka kebahagiaan bersama sudah dimiliki oleh masyarakat beragama di Indonesia, khususnya masyarakat beragama Islam, termasuk masyarakat Maiyah. Ini yang perlu dijaga agar kode pembuka kemakmuran, kode pembuka kesejateraan, dan kode pembua kebahagiaan dengan memanfaatkan hari besar agama dan momentum beragama yang penting seperti momentum hari Jum’at dan lainnya tetap bisa selalu berfungsi optimal. Semoga demikianlah adanya.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Asyiknya Berkuntum Ria

Asyiknya Berkuntum Ria

Di belakang pabrik kertas Blabak, waktu itu ada perumahan bagus.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version