Memahami Polusi Udara Lewat Konsep Islam tentang Najis, 2
Musik yang mengiringi nomor Ya Imamar Rusli perlahan-lahan sampai di ujungnya, telah selesai meresapkan teman-teman ke dalam atmosfer kekhusyukan, dan sekarang kembali pikiran diajak belajar. Dua kelompok partisipan Sinau Bareng Jangan Ada Polusi Di Antara Kita telah kembali ke sisi kanan dan kiri dari posisi duduk Mbah Nun. Mereka akan segera mempresentasikan hasil diskusi mereka tentang apa saja yang mereka temukan di antara najis dan polusi.
Namun sebelum itu, Mbah Nun mengingatkan bahwa Sinau Bareng ini akan mengajak semua teman-teman untuk melihat udara dari berbagai sisi, meninggalkan cara yang selama ini dipakai untuk melihat sesuatu hanya dari sisi pandang atau sudut pandang. Mbah Nun mengajak melihat atau berpikir dengan lingkar pandang, jarak pandang, dan resolusi pandang, atau melihat secara melingkar layaknya orang thawaf. “Jangan menyimpulkan sesuatu dari satu sisi pandang. Harus melingkar. Kita harus punya tradisi berpikir atau melihat sesuatu secara melingkar. Hidup ini dicipta oleh Allah dengan disiplin melingkar, bulatan, dengan putaran tak terhingga,” papar Mbah Nun.
Satu contoh beliau berikan, menyangkut pusat bumi tempat mengukur waktu yaitu GMT di London. Dengan ilmu melingkar, kita boleh punya pandangan alternatif, bahwa meski kita berada di sini, bukan di London, titik posisi kita memijak bumi juga adalah pusat, karena bumi adalah bulatan, sehingga setiap titik adalah juga pusat. Salah satu poin yang hendak disampaikan Mbah Nun adalah dengan disiplin melingkar, kita tidak akan gampang gumunan dan akan mendapatkan banyak kemungkinan-kemungkinan. Demikian juga dalam membahas udara bersih, salah satunya lewat dua kelompok yang telah bersiap presentasi.
Kelompok pertama terdiri atas Mas Nugraha (dari Brebes), Mbak Raras (dari Malang), dan Mas Arif (dari Pamekasan). Mas Nugraha berbicara terlebih dahulu. Ada tiga hal yang disampaikan. Pertama, berangkat dari ‘polusi itu najis’. Mengapa bisa demikian? Mas Nugraha menguraikan bahwa kalau kita amati, sifat najis itu adalah kotor, walaupun kita tahu tidak setiap yang kotor adalah najis. Salah satu najis adalah yang keluar dari qubul dan dubur, kecuali air mani. Najis yang keluar dari kedua saluran itu bila terbawa ke dalam shalat, menjadikan shalat tidak sah.
“Nah yang terjadi dalam diskusi kami tadi adalah mengapa air seni itu dinajiskan, kenapa kotoran tersebut dinajiskan. Mengapa syariat Islam menajiskan kotoran yang keluar dari dua jalan keluar tadi,” kata Mas Nugraha. Kemudian dipaparkan bahwa kelompok satu berpikir bahwa sebenarnya syariat Islam menajiskan dua kotoran tersebut karena ada sesuatu atau dzat atau kandungan yang ada pada kotoran tersebut yang apabila bersentuhan dengan kita secara langsung akan menimbulkan mudarat bagi kita. Jadi, simpul Mas Nugraha, najis adalah sesuatu yang kotor dan akan menimbulkan mudarat. Sedangkan polusi, secara definisi, adalah masuknya kotoran atau polutan ke dalam suatu lingkungan yang nanti akan menimbulkan kotoran yang ujungnya sama dengan najis: menimbulkan mudarat bagi manusia. “Ada korelasi antara najis dan polusi, yaitu harus sama-sama kita hindari dan cegah agar najis dan polusi itu tidak ada dan jauh dari lingkungan kita”.
Yang kedua, urai Mas Nugraha, apabila lingkungan sekitar kita, baik itu komponen air, udara, atau tanah, tatkala sudah terkena polutan atau sudah terjadi polusi, maka salah satu medium untuk mensucikan najis (thaharah) adalah dengan berwudlu, dengan air. Apabila air sudah terkontaminasi oleh kotoran, maka kesuciannya hilang sehingga tak bisa dipakai untuk berwudlu, karena sudah tercampuri kotoran yang menghilangkan air itu untuk bisa dipakai berwudlu atau bersuci. Di sini, terdapat korelasi lagi. Ketika lingkungan sudah terkena polusi atau terkontaminasi polusi, maka dalam thaharah itu akan terganggu. Artinya, kalau terpolusi, kita tak akan bisa mensucikan najis.
Ketiga, seperti halnya yang kedua, ketika lingkungan tercemari kotoran polusi dan apabila masuk dan bersentuhan dengan pakaian kita misalnya, maka pakaian tersebut tak bisa dipakai shalat. Ketika lingkungan terkena polusi, maka tidak bisa dipakai shalat dan akan mengurangi kesempurnaan ibadah kita. Poin yang bisa didapat, merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai khalifah di bumi untuk menjaga dan merawat alam dan lingkungan supaya sama-sama menjadi rahmat bagi kita semua.
Selain itu, ada perluasan dari Mas Arif bahwa jika kita sepakat bahwa najis itu kotor, maka ada juga yang namanya polusi pikiran dan najis pikiran, yakni di luar konteks fikih. Maksudnya, bila mindset atau pikiran kita sudah terkontaminasi dan itu sudah diresapi bahkan lebih jauh dari itu, akan timbul penyakit hati dan kotoran dalam hati, dan apabila ada kotoran dalam hati, akan terwujud dalam tingkah laku, dan ini adalah juga polusi yang sebenarnya, yaitu perilaku atau tingkah laku yang perlu dihindari. Dari paparan Mas Nugraha, Mbah Raras membuat closing statement, bahwa dalam konteks tata kelola hidup kita, kita perlu punya kesadaran untuk ‘mensucikan’, dan hal ini perlu ditanamkan kepada sebanyak mungkin generasi muda. Setiap pribadi perlu didorong untuk memiliki kesadaran menjaga dan mengelola lingkungan menurut asas kemanfaatan yang sebenar-benarnya.
Setelah kita semua menyimak presentasi kelompok pertama, Mbah Nun meminta Mas Ghofur Muhammad dari Simpul Maiyah Mafaza ikut memberikan respons. Satu hal yang dikemukakannya, bahwa term ‘najis’ dan ‘polusi’ itu dalam konteks masyarakat muslim, sejauh diamatinya, jauh lebih dominan kata ‘najis’ dipakai atau dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kiranya bisa dipahami karena najis adalah konsep agama atau syariat. Sedangkan kata ‘polusi’ jarang disebut. Menurutnya, ke depan barangkali bisa dipertimbangkan bahwa kata najis bisa menggantikan kata polusi, sebab puluhan tahun kita mengenal polusi, tapi kita tidak melakukan sesuatu yang benar-benar mengubah.
Perspektif Mikrobiologi
Sekarang Mbah Nun menanggapi dengan bertanya dan mendiskusikan. Mbah Nun bertanya kepada kelompok pertama ini, “Apakah Covid itu termasuk barang najis atau bukan?” Agak ragu-ragu lantaran tak menyangka muncul pertanyaan korelatif semacam itu, akhirnya Mas Arif menjawab, “Najis. Di mana kenajisannya sampai mengganggu pola pikir dan pola hidup. Virusnya ada, tetapi dampaknya sebenarnya tidak seperti yang diberitakan, karena fakta ada beberapa data yang bisa menyanggah….”
Lalu Mbah Nun melanjutkan, “Jadi intinya Covid itu najis? Pertanyaan selanjutnya, ini berarti masalah mikrobiologi. Nah kalau mikrobiologi, kira-kira di baju Anda ada Covid atau tidak? Anda bisa memastikan ada atau Anda bisa memastikan tidak ada? Adakah alatnya? Kalau Anda naik pesawat, ada tes reagen, dan ternyata misalnya hasilnya positif. Jadi, kalau bicara mikrobiologi sebenarnya itu tidak kasat mata. Jadi sekarang yang ada Covidnya tidak bisa dilihat. Teknologi belum sampai ke sana….” Dari lontaran pertanyaan pengolahan ini, kemudian Mbah Nun mengemukakan bahwa kalau masalah mikrobiologi berarti tak kasat mata, maka kita tidak bisa memakai logika syariat/fikih saja (seperti diuraikan kelompok satu), dalam arti kita harus memastikan bahwa ada sesuatu yang harus kita qath’ikan secara ilmu, alias itu bukan dhanni/dugaan, melainkan qath’i (pasti) secara ilmu dalam batas tertentu.
Bergerak lebih jauh, Mbah Nun menyebut tiga jenis level najis: mukhafafah (ringan) , mutawassitah (tengah-tengah), dan mughaladlah (berat). Teman-teman dibawa bertanya, apakah jika kita mencuci jilbab, pasti bersih ataukah tidak. Sudah bebas Covid dan bebas benda-benda mikrobiologis ataukah kira-kira masih ada. “Bisakah kita memastikan bahwa kain jilbab tadi sudah bersih ataukah memang agama tidak sampai ke situ memintanya? Yang terpenting, sudah Anda cuci, sudah tak tampak kotoran menempel, maka sudah sah dipakai shalat. Agama sangat memudahkan. Tetapi kalau bicara mikrobiologi dan ilmu, belum bisa dipastikan jilbab tersebut sudah bersih dari Covid….,” urai Mbah Nun.
Demikian juga selanjutnya mengenai udara bila ditinjau dari sudut mikrobiologi. Menurut Mbah Nun, jika Covid disebut air-bond, berarti ada partikel-partikel sangat kecil yang tidak bisa dilihat oleh mata yang bertebaran di mana-mana, sehingga karena itulah kita memakai masker dan menjaga jarak, karena diperhitungkan ada benda-benda atau najis atau polusi atau penyakit yang efeknya terserah fikih, kesehatan, atau akidah, yang pada pokoknya ada benda-benda yang tidak kelihatan karena bersifat mikrobiologis atau ilmunya ilmu mikrobiologi.
Lalu Mbah Nun menegaskan kuncinya, walaupun kita sudah bersuci (dalam konteks najis yang harus dibersihkan sebelum beribadah shalat), namun sejatinya secara mikrobiologis, kita atau pakaian kita belum tentu benar-benar bersih, dan memang agama tidak menuntut sampai ke sana. Di sini, Mbah Nun mengajak teman-teman memetik satu ilmu kerendahan hati. Dalam hal udara bersih, kualitas bersihnya udara juga bergantung kriteria atau parameter yang digunakan. Jika memakai fikih, seperti terlihat pada konteks mensucikan najis dipahami dari sisi mikrobiologis, maka fikih juga ringan/memudahkan. Dengan mengambil contoh mensucikan pakaian, Mbah Nun mengajak bersikap rendah hati, “Wis tak kucek, tak bilas, tak kebas-kebasno, tak pe (dijemur), wis cukup, wis sah dinggo shalat. Bayangkan andaikan fikih itu “ilmiah” (dengan menuntut sampai tingkat mikrobiologi)”.
***
Itulah respons Mbah Nun terhadap presentasi kelompok pertama sekaligus merupakan uraian pandangan beliau berdasarkan prinsip berpikir melingkar yang diterapkan dalam melihat dan membahas polusi udara dengan mengombinasikan konsepsi Islam tentang Najis, polusi itu sendiri, dan ilmu mikrobiologi. Hal yang pada akhirnya mengafirmasi apa yang disampaikan beliau sebelum presentasi kelompok pertama bahwa antara najis dan polusi terkandung banyak kemungkinan yang tak sepenuhnya bisa kita jawab. Di sini, selain tentu saja Mbah Nun mengapresiasi dan mendukung gerakan teman-teman MobiAir, Mbah Nun mengajak teman-teman MobiAir melihat dari sisi-sisi lain mengenai polusi udara. (Bersambung)