CakNun.com

Mbah Nun Penghulu Perjodohan Perjalanan Hidup Manusia

Amin Ungsaka
Waktu baca ± 5 menit

نۤ ۚوَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَۙ

Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan (Al-Qalam:1)

“…Tapi sekarang manusia merasa menang melawan apa saja. Manusia saking merasa menang sendiri sampai Tuhan diusir dari kesadaran dirinya. Bahkan pada era sekarang ini ideologi yang berlangsung adalah merebut Tuhan dari kesadaran manusia. Menyingkirkan manusia dari kesadaran bertuhan.” (Salah satu potongan dialog Para Rabbah dalam pementasan drama “Mlungsungi” di Padhangmbulan).

Foto: Adin (Dok. Progress).

Pada posisi tidak tahu bahwa tidak tahu, tentu ideologi sekuler yang sedang Mbah Nun sampaikan yang membuang jauh Tuhan dari kesadaran diri, tentu saya sendiri sedang baik-baik saja. Tidak tampak ada suatu masalah yang serius tentang cara saya menjalani kehidupan sebelum kenal Maiyah, tercermin sekuler, karena menghilangkan ruh bertuhan dan dari kesadaran kita.

Namun semenjak saya mendengar kalimat itu dan akhir-akhir ini Mbah Nun getol menyampaikan bahwa celakanya peradaban modern ini karena cara hidup sekuler. Salah satu contohnya menganggap dunia berada di kutub berseberang dari akhirat. Begitu juga dengan saya waktu itu menganggap bahwa kalau sudah shalat sudah saya anggap “selamat” hidup saya. Tapi memang terasa cara saya melakukan shalat antara hanya sekadar shalat dengan menghadirkan kesadaran Tuhan terasa beda. Bagaikan badan tanpa nyawa kalau melakukan shalat tanpa kesadaran bertuhan. Sedangkan kalau melakukan shalat dibarengi kesadaran bertuhan, shalat akan terasa nikmat, kita seakan bisa merasakan setiap gerakan shalat ada yang bergetar dan mengalir di antara tangan dan tubuh dari kepala sampai kaki.

Saya sangat bersyukur oleh Allah dipertemukan dengan Mbah Nun, Sang Penghulu perjodohan perjalanan hidup saya terutama. Sebab Mbah Nun telah menjodohkan dunia (syariat) dengan akhirat (hakikat sampai makrifat) hidup saya. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya mengenai shalat.

Selain itu secara luas pada wilayah jamaah Maiyah dan masyarakat Indoensia, Mbah Nun menjodohkan akademis dengan agama: mengajak untuk berpijak pada kedaulatan berpikir (benar menurut diri sendiri, benar menurut orang banyak, benar menurut Allah), dan Mbah Nun meneruskan bahwa kita seharusnya tidak berhenti pada benar tetapi harus baik dan indah. Kita melakukan hal benar menurut Allah dengan cara baik yakni Sinau Bareng supaya indah bisa diterima orang banyak dan dipraktikkan pada kehidupan sehari-hari.

Perjodohan antara ayat tekstual juga kami rasakan manfaatnya ketika Mbah Nun sambungkan dengan konteks kehidupan. Mbah Nun pernah menceritakan perihal Majma’al Bahrain pada salah satu acara Silaturahmi Simpul Maiyah Jatim sekitar bulan Maret 2021 di Sidoarjo.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِىَ حُقُبًا . فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ سَرَبًا

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu mengambil jalannya ke laut itu. (Alquran surat Al Kahfi ayat 60-61).

Mbah Nun mengatakan pada ayat yang menceritakan tentang Majmaal Bahrain, pertemuan dua air laut yang dalam Al-Qur’an dikisahkan ketika Nabi Musa bersama muridnya membawa bekal makanan berupa ikan untuk mencari Nabi Khidir, karena tertidur wadah bekal berisi ikan itu tercebur ke pertemuan dua air laut itu, ternyata ikan itu hidup. Kebenaran Allah atas ayat itu oleh Mbah Nun disambungkan dengan cara baik: dikonstektualkan dengan kehidupan sehari-hari. Bahwa menurut Mbah Nun mentadabburi kisah Nabi Musa, ikan dan 2 air laut itu, ketika kita merasa dihimpit dua masalah, jangan merasa kita yang paling susah hidupnya, justru karena itu Allah sedang menuntun kita pada kehidupan yang lebih baik.

***

Mbah Nun yang menjodohkan kita dengan nubuwah dari Allah dengan terus-menerus bershalawat kepada Nabi Muhammad, serta meniru akhlak dan perilaku Nabi Muhammad sebisanya sesuai kemampuan kita. Misalnya Mbah Nun mengajak kita untuk tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan golongan, partai, ras, suku, agama, yang kita pandang ketulusan hati, kesungguhan sinau dan kebaikan orang lain yang mau duduk bersama kita. Mendiskusikan segala hal yang menjadi permasalahan kita untuk menemukan solusi bersama dalam setiap Sinau Bareng.

Mbah Nun yang memperjodohkan manusia yang berkonsentrasi seni, kesehatan, musik, pekerja, ibadah, akademis, untuk diajak duduk bersama dalam kebersamaan belajar hidup sebagai manusia. Dari pementasan teater, musik puisi, KiaiKanjeng, menulis puisi dari karya berjudul “M” Frustrasi dan Sajak-sajak Cinta (1975) sampai karya Karikatur Cinta (2005). Menulis esai dari karya berjudul Indonesia Bagian dari Desa Saya (1980) sampai Lockdown 309 Tahun (2020), serta lahirnya simpul Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, BangbangWetan, dan berbagai simpul lain yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, Asia dan Eropa.

Semua Jamaah Maiyah sebagai anak-cucu oleh Mbah Nun diajak belajar bersama, berwirid, bershalawat dan sungguh-sungguh kepada Tuhan, serta menyadarkan kelemahan kita sebagai hamba Tuhan. Selain itu, Mbah Nun juga melahirkan berbagai pementasan drama teater, salah satunya yang fenomenal adalah pementasan Lautan Jilbab, yang manfaatnya bisa kita rasakan, banyak para perempuan sekarang yang memakai jilbab.

Melalui Gamelan KiaiKanjeng, Mbah Nun juga sedang memperluas cara berpikir, feel serta taste bermusik kita, sehingga tidak terkotak-kotak pada konsentrasi musik tertentu tidak menerima yang selain itu. Justru melalui musik, Mbah Nun memperkenalkan kita pada berbagai khasanah musik dan kebudayan dunia. Dari nomor Lir Ilir sampai Fix You, shalawat Badar, Ummi Kultsum, nomor lagu Kopi dari Suriname, dan berbagai khasanah musik lainnya berhasil Mbah Nun dan KiaiKanjeng ramu untuk menjadi laboratorium Sinau Bareng kita menemukan dan mengembarai berbagai permasalahan hidup manusia.

Pada konteks ayat 77 surat Al-Qasas “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan,” Mbah Nun mengajak kita untuk sungguh-sungguh dan total terhadap apa pun yang kita hadapi di setiap perjalanan hidup ini. Mbah Nun juga tidak pernah mengajak kita untuk makar, justru Mbah Nun mengajak kita untuk berdiri pada kuda-kuda ayat 8 surat Al-Maidah, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Jadi setidak setuju apa pun kita terhadap segala aturan pemerintah, kita diajarkan untuk tetap adil. Keadilan sikap hidup kita terhadap apapun yang membuat dan mengandung potensi kebencian itu, oleh Mbah Nun diterjemahkan dengan “melakukan dan berbuat apa pun yang penting output-nya bermanfaat bagi orang lain.”

Semua yang Mbah Nun perjuangkan dalam menjodohkan setiap perjalanan hidup manusia, itu untuk mengusahakan supaya kita utuh menjalani hidup sebagai manusia, hamba dan wakil Tuhan, serta supaya kita menjadi manusia yang bermartabat sebagai bangsa dan rakyat Indonesia.

Permintaan Mbah Nun kepada jamaah Maiyah pada Padhangmbulan beberapa hari yang lalu untuk sedia mendoakan beliau dengan mewiridkan Ya Latif 1000x setiap hari, saya rasakan merupakan dialektika cinta Mbah Nun kepada anak-cucunya, Jamaah Maiyah. Sebenarnya kita yang butuh keberkahan wirid Ya Latief itu supaya hati kita tersirami Mahalembut Allah, supaya kita selamat dan dituntun oleh kelembutan Allah menjalani hidup ke depan. Supaya hati kita tenang, tidak cemas dan takut terhadap nasib yang akan kita hadapi.

Sugeng Ambal Warsa Mbah Nun, I love you full. Mbah Nun, mohon kami jamaah Maiyah didoakan supaya bisa meneruskan langkah dan perjuangan panjenengan untuk menebar cinta yang memperjodohkan segala hal perjalanan hidup serta kehadiran kami membawa manfaat bagi lingkungan sekitar.

Surabaya, 26 Mei 2022

Lainnya