Mario
Wajah si kakek Karmin Pande makin berang. Matanya nanar. Sekali lagi tangannya melayang dan Mario Balbalan terhuyung oleh tamparan itu.
“Kamu memalukan!” hardik kakek itu kepada cucunya.
Mario tegak kembali berdirinya. Tapi ia hanya diam dan menunduk. Sama sekali ia tak mengadakan perlawanan.
“Kamu anak muda yang terpandang di desa ini. Kamu ngganteng. Kamu tergolong paling pinter. Tapi kamu memilih perempuan tua yang punya anak setua kamu untuk kamu kawini. Itu kebodohan yang memalukan dan memalukan semua keluargamu. Coba pikir!”
Mario tetap mematung. Hanya mengusap-usap pipi dan keningnya. Aku bengong saja menyaksikan. Tetangga-tetangga berkerumun, tapi juga diam saja. Siapa berani menghalangi tangan Karmin Pande, pendekar pencak desa kami yang belum tertandingi sampai usia tuanya. Di samping itu aku sendiri merasa tidak punya hak apa-apa untuk mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
“Kamu harus pikirkan kembali kebodohanmu itu!” bentak Kakek Karmin. Mario tetap pada sikap diamnya.
“Banyak gadis-gadis yang gandrung sama kamu. Tidak hanya di desa ini. Tapi juga di desa-desa lain, banyak orang-orang tua mengincarmu. Bahkan di kota tempatmu kerja dulu!”
Mario tetap tak beranjak. Ia memang pendiam, tapi khusus untuk hal-hal yang serius. Di antara teman-temanku sedesa sebenarnya ia bukan tergolong pendiam. Ia juga jagoan bergurau yang bisa tertawa keras dan terbahak-bahak seperti umumnya anak- anak muda. Ia selalu terlibat dalam senda-gurau, pembicaraan-pembicaraan simpang-siur kami, obrolan yang tidak-tidak–tetapi harus diakui semua kami tak ada yang cukup mengetahui apa sesungguhnya yang bergolak dalam batinnya. Bahkan siapa sebenarnya Mario ini, maksudku bagaimana sebenarnya ia, kami semua tak cukup kenal. Yang jelas, ia temanku sepakbola. Bahkan jagoan kami, sehingga seluruh desa akhirnya tak sengaja bersepakat memanggilnya Mario Balbalan. Nama Mario sebenarnya cukup legendaris untuk kalangan persepakbolaan daerahku. Ia tidak hanya pandai bermain, tetapi juga merupakan jiwa klub sepakbola desaku. Ia menjadi “nyawa”, maksudku, jika ia tak ikut bermain, maka klub bagaikan tak bernyawa. Ini dalam pengertian ketrampilan grup, maupun pada segi kejiwaan para pemain lainnya. Mariolah yang menentukan apakah dalam undian start permainan kami memilih si garuda atau angka, dalam pingsut menyodorkan jari kelingking, telunjuk atau ibu jari. Dan selalu menang. Mario selalu memberi ketentuan yang tepat. Jika kesebelasan lawan mendatangkan dukun, maka Mario jugalah yang mengatasinya. Pernah kami menang bola total, tapi sampai waktu hampir habis tak bisa juga kami memasukkan gol. Maka di menit-menit terakhir, mendadak saja Mario bekerja sendirian, menusuk, menelusup, dan akhirnya menjebolkan gawang lawan. Mario menyelamatkan desa kami dari kemungkinan sakit hati yang mendalam akibat kalah bermain bola. Jadi bisa dibayangkan betapa akrab seluruh desa dengan namanya. Apalagi ia jagoan juga bermain badminton, volley atau pingpong. Kalau soal main kasti, jangan tanyakan. Tetapi selebihnya, betapa Mario ini sukar dimengerti. Contohnya lihat saja kakeknya yang naik pitam karena pemuda ini mau kawin sama perempuan yang usianya dua kali lipat daripadanya, punya beberapa anak yang salah satunya, yakni yang tertua, sebaya umurnya dengan Mario. Bisa dipahami apa sebab kakek Karmin Pande marah-marah, karena tindakan Mario ini memang sukar masuk ke akal siapa saja di desa ini.
“Kamu tetap mbandel?” ujar kakeknya.
Mario diam.
“Ngomong!”
Mario tidak ngomong.
“Ngomong!”
Bergerak pun Mario tidak.
Berkali-kali kakeknya menempeleng, membentak dan menghardiknya, tapi Mario tetap diam. Tetap diam. Akhirnya dengan menggeretakkan gigi dan wajah yang menyala, kakek Karmin Pande menyumpah: “Mario! Kalau kamu tetap pada keputusanmu, maka jangan sebut lagi namamu, orang tuamu, serta seluruh nama keluargamu: kamu tidak akan kuakui lagi sebagai cucuku!”
Habis ngomong begini Karmin Pande lantas berlalu. Ia naiki sepedanya, berlalu menuju rumahnya. Tetangga-tetangga yang sejak tadi tegang, kini mulai saling berpandangan dan mulut mereka mulai bergeremang. Satu persatu mereka berlalu. Tak seorang pun mendekati atau mengajak omong Mario, karena jelas, Mario begitu rahasia dan begitu tersem- bunyi bagi mereka. Tak ada kalimat yang bisa muncul di benak mereka yang akan mereka pergunakan untuk menembus ketersembunyian itu. Hanya saja, bahwa nanti di rumah mereka akan bergerombol memasalahkan kejadian Karmin Pande yang marah-marah itu, tentu bukan hal yang aneh.
Mario perlahan-lahan melangkah. Duduk di sampingku. Karena sejak siang tadi memang ia duduk-duduk ngobrol denganku. Ini di rumah pacarnya, yakni perempuan yang umurnya dua kali lipat darinya itu.
“Kamboja telah jatuh ya?” katanya, sambil menaikkan kakinya ke kursi. Bersila.
“Ya,” jawabku.
“Kira-kira kapan Perang Dunia ketiga meletus?”
“Wah, nggak tahu lah.”
Mario terus bertanya, dan bertanya lagi. Tapi ini sebenarnya menyelamatkanku. Sebab sehabis peristiwa tadi aku kerepotan akan bersikap bagaimana, akan ngomong apa dan akan memasang wajah yang mengekspresikan apa terhadap Mario. Tapi ia sendiri tak ada perubahan apa-apa. Ia barusan dihardik, dibentak dan ditempeleng oleh kakeknya, tapi semua itu berlalu padanya tanpa bekas apa-apa. Seakan tak pernah terjadi dan ia meneruskan pertanyaan-pertanyaannya kepadaku tentang apa saja. Terus terang aku kurang mengerti, sedikit takjub, dan lagi-lagi merasakan bahwa sesudah bertahun-tahun aku kuliah di kota, sampai kini aku tak mampu merasa berada di atas Mario. Setiap aku pulang ke desa (ia membuatku tak pernah merasa telah berpisah dari semua kehidupan desaku), selalu kami berpanjang-panjang ngobrol. Ia bertanya tentang segala macam, sejak kejuaraan sepakbola nasional sampai soal Galaxy, sejak teknik televisi sampai popularitas Jimmy Carter. Sering ia menyodorkan kepadaku pertanyaan yang lugu sekali, tetapi terasa mencegatku dan “menguliti” kebodohanku. Jelas sebagai pribadi ia tampil tidak di bawahku. Dan satu kemenangan besar yang dimilikinya ialah, dalam pembicaraan panjang setiap kali, selalu berkisar pada masalah-masalah yang di luar-dirinya. Aku mendengar tentang Mario bagaikan mendengar dongeng. Ia dilahirkan oleh Ibu Bapaknya tapi dibesarkan oleh kakeknya sekaligus menjadi murid pencak utamanya, meskipun tidak pernah satu kali pun aku menyaksikan ia bermain pencak. Ia tamat SMP sementara kawan-kawan lain umumnya hanya SD. Ia paling kelihatan terpelajar, tulisannya bagus dan pandai mengetik. Ia bekerja di Perhutani Kabupaten, tapi beberapa tahun kemudian keluar dan pindah ke Kantor Kecamatan. Baru setahun tak betah, pindah sebagai pembantu Carikdesa. Lantas melepaskan lagi jabatan itu. Dan kini ia tak punya pekerjaan tetap.
Ia disuruh tetangga memperbaiki pagar, memanjat kelapa, membelah kayu atau membantu tanam padi di sawah. Tapi wajahnya segar dan hidupnya kelihatan cerah. Aku, oleh cara dia meletakkan diri dalam bergaul, tak mampu menanyakan segala hal itu kepadanya. Kami akrab, tapi ngomong berkisar pada soal-soal lain. Aku hanya mampu menyaksikan bahwa ia yakin pada langkahnya, di lapangan sepakbola, tetapi juga di luar lapangan. Aku hanya mampu menyaksikan bahwa ia selalu tenang dan air mukanya nampak menang. Makin lama baju yang dipakainya tambah buruk dan seenaknya, tetapi air mukanya memancarkan sesuatu yang aku merasa belum pernah memilikinya. Karena itu aku selalu menaruh hormat padanya. Banyak tetangga-tetangga yang menyayangkan perkembangan hidupnya yang terus me- nurun, menurut istilah mereka. Bahkan tak sedikit yang mengejeknya, atau merasa iba kepadanya. Tapi ia nampak berada di luar atau di atas itu semua. Aku sendiri tidak bisa mengejek atau memujinya. Aku hanya merasa bahwa ia tak membutuhkan semua itu. Tak menginginkan pujian atau dukungan, serta tak menolak ejekan atau rasa iba orang. Juga ketika peristiwa dengan kakeknya itu berlangsung, aku hanya kosong. Juga ketika kemudian pacarnya itu datang dari pasar dan Mario langsung mengajaknya ke rumah kakeknya, dan berpamitan padaku. “Aku hanya merasa bahwa di antara sahabat-sahabatku, ia paling tak bisa kulupakan.”