Maiyah Penangkal Petir
Alhamdulillah, berangsur-angsur kesehatan Andrean mulai membaik. Memang tidak sesehat seperti dulu, tetapi kondisi Andrean saat ini sudah lebih baik jika dibandingkan saat ia mengalami sakit Lekopenia itu. Andrean menyebut hidupnya saat ini adalah kesempatan kedua yang diberikan oleh Allah.

Setelah sakitnya pulih, Andrean bercerita bahwa Cak Nun masih sering datang dalam mimpinya dan memberikan pesan-pesan. Seperti dialaminya beberapa waktu lalu, dalam suatu mimpinya, Cak Nun memberikan pesan kepada Andrean untuk membaca wirid Hasbunallah saat menghadapi kesulitan. Pada saat itu, diceritakan juga oleh Andrean bahwa pesan yang disampaikan oleh Cak Nun adalah bahwa ia harus ridla terhadap ketetapan Allah yang sedang dihadapi, maka Allah pun kemudian akan ridla. Di sinilah kemudian Andrean berpesan kepada teman-teman untuk bertawasul kepada Cak Nun dan tawasul tersebut dilakukan sebagai wujud ta’dhim dan mencintai Cak Nun.
“Soal tawasul ini kan di beberapa kalangan menolak keras, padahal shalawat itu juga salah satu bentuk tawasul,” Cak Nun menyambung cerita Andrean. “Saya kira kita semua ini tidak cukup memiliki kepantasan dan kualitas hidup serta perilaku kita untuk memenuhi syarat masuk surga. Satu-satunya yang bisa menolong kita untuk masuk surga adalah Rasulullah Saw, maka kita selalu bershalawat kepada beliau,” lanjut Cak Nun.
Ditambahkan oleh Cak Nun, bahwa manusia tidak akan mampu menghisab amalan-amalan yang sudah dilakukan, hanya Allah yang mampu, karena Allah itu lathiifun khobiirun. Allah itu Maha Lembut dan sangat detail dan komperhensif dalam perhitungan amal manusia, sehingga manusia tidak mungkin bisa menentukan apakah amalan kita mampu mengantarkan kita untuk masuk surga. “Jadi lebih baik kita berkhusnudzon kepada Allah untuk terus merasa bahwa kita itu memang ndak pantes untuk masuk surga. Itu sebabnya kita bershalawat kepada Rasulullah Saw, karena satu-satunya harapan agar kita masuk surga dan diterima oleh Allah adalah kalau kita bersama Rasulullah Saw. Itu yang disebut dengan gondelan klambine Kanjeng Nabi,” Cak Nun melanjutkan.
Cak Nun menjelaskan bahwa dalam khasanah Islam modern ini, tawasul masuk dalam perbedaan khilafiyah dan ikhtilafiyah. Dan itu tidak perlu menjadi persoalan, karena setiap kita sudah memiliki keyakinannya masing-masing. “Saya ini kan ndak pernah merencanakan untuk datang ke mimpinya Andrean apalagi sampai menuntun wirid di mimpinya,” Cak Nun merespons pengalaman Andrean. Cak Nun menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa seperti yang dialami Andrean itu pernah terjadi beberapa kali, dan salah satunya dialami oleh Bu Latappa di Mandar. “Jangan salah sangka dan itu tidak akan menjadi bahan untuk saya sombong kepada anda. Itu semua rekayasa Allah. Allah sendiri yang menyatakan; Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan, Allah sendiri yang memperjalankan,” Cak Nun menegaskan.
Salah satu kemalasan berpikir orang modern adalah tidak mau meneliti bahwa ada frekuensi yang lain dalam sebuah ekosistem kehidupan yang dirancang oleh Allah ini. Cak Nun mencontohkan, aliran air yang bergelombang bahwa yang bisa direkam oleh teknologi adalah airnya bukan gelombangnya. Satu contoh kecil itu saja seharusnya membuat kita menyadari bahwa ada frekuensi lain yang Allah sendiri merekayasa agar air bergelombang, tetapi kita tidak mampu melihat gelombangnya. Yang kita lihat adalah airnya. Begitu juga dengan peristiwa mimpi Andrean tadi. Bukan manusia yang merancangnya, tetapi Allah sendiri yang merekayasanya.
“Anda tahu ya, saya menanggapi peristiwa seperti yang diceritakan Andrean ini apa saya bangga? Saya tidak ada urusan dengan kebanggaan karena itu bukan prestasi saya, itu bukan kehendak saya dan itu bukan kehebatan saya sama sekali, itu semua adalah Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan,” Cak Nun melanjutkan.
“Nah hidup anda itu seperti itu juga, Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan. Diperjalankan oleh Allah. Sudah ridla saja,” Cak Nun kembali menjelaskan bahwa hidup kita sebagai manusia itu benar-benar lailan, di malam hari yang penuh kegelapan. Semua peristiwa yang kita alamai di dunia, ada momentum-momentum yang subjeknya bukan diri kita sendiri melainkan Allah. Cak Nun menegaskan bahwa tidak ada satu pun momentum dalam hidup kita yang terjadi tanpa campur tangan Allah. “Momentum hidayah itu yang harus anda syukuri setiap hari,” tegas Cak Nun.
Kebijaksanaan adalah yang Utama
Mengenai peristiwa yang dialami Andrean, Cak Nun mengingatkan untuk tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertanyakan, karena jika ada yang bertanya kepada Cak Nun apakah benar-benar mendatangi Andrean dalam mimpi, sudah pasti jawabannya adalah tidak. Untuk membuktikan kebenaran peristiwa itu biarkan saja orang yang mengalaminya yang kemudian meyakininya. “Kebenaran itu penting, tetapi bukan yang nomor satu. Kebaikan itu penting tetapi tidak nomor satu. Yang nomer satu adalah kebijaksanaan,” tegas Cak Nun.
Karena Allah menyatakan dalam Al Qur`an; Ud’u ilaa sabiili robbika bi-l-hikmah. Allah tidak menyatakan bi-l-khoir atau bi-l-haqq, melainkan bi-l-hikmah. Cak Nun menjelaskan bahwa kebijaksanaan adalah hasil dari tetes-tetes yang diendapkan dari kebaikan, kebenaran, keadilan, dan seterunya. Tetesan-tetesan yang sudah diendapkan itulah yang kita sebut sebagai kebijaksanaan, karena jika kebijaksanaan yang kita sajikan maka tidak akan menyakiti orang lain, tetapi akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak.
Cak Nun kemudian sedikit menyoroti perkembangan media sosial hari ini yang begitu pesat berkembang teknologinya. Bagi Cak Nun, platform-platform yang ada saat ini telah mampu menciptakan bentuk-bentuk kemesaraan, kegembiraan, kabahagiaan yang baru bagi manusia. Tetapi yang tidak pernah dihitung adalah bahwa media sosial juga menciptakan kegelapan-kegelapan bagi manusia. Terjadinya perpecahan antar hubungan sosial manusia saat ini juga disebabkan oleh media sosial, dan itu tidak pernah dihitung oleh manusia sendiri. Karena yang menjadi pijakan utama bukanlah kebijaksanaan.
Menyambung penjelasan mengenai media sosial, Cak Nun menambahkan bahwa saat ini banyak manusia tidak menyadari bahwa dirinya mengalami kehancuran. Dan lagi-lagi, yang dikhawtirkan oleh manusia adalah ancaman dari sesuatu yang dianggap material, seperti Dajjal misalnya. Cak Nun menjelaskan bahwa Dajjal itu jangan dibayangkan sebuah makhluk yang memiliki bentuk fisik. Mungkin benar ada informasi mengenai bentuk fisik Dajjal, tetapi juga kita harus waspada bahwa Dajjal juga bisa berupa energi dan frekuensi atau gelombang. Kita tidak menyadari Dajjal yang demikian. Bahkan tentang virus saja kita tidak dapat mendeteksinya secara kasat mata, apalagi tentang Dajjal.