Maiyah Penangkal Petir
“Salah satu kurikulum Maiyah adalah yakaadu zaituha yudhlii`u walaw lam tamsashu naar,” Cak Nun melanjutkan. Munculnya sebuah cahaya yang tidak disebabkan dari api yang disulut, itulah yang kita ikhtiarkan di Maiyah. Setiap manusia memiliki potensi yang bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Orang Maiyah, ditegaskan oleh Cak Nun, harus mampu menjadi orang yang bermanfaat, di manapun ia berada, seperti yang disebutkan dalam An-Nuur 35 itu, laksana cahaya yang menyala tanpa disulut oleh api. “Ini saya serius mendoakannya. Anda masing-masing akan yakaadu zaituhaa yudhlii`u walaw lam tamsashu naar. Anda akan menjadi cahaya yang menyinari orang-orang di sekitar anda,” ungkap Cak Nun.

Di tengah diskusi, Cak Nun meminta jamaah untuk membaca surat Al-Anfal ayat 17 yang dilantunkan secara kata per kata, dengan diawali membaca Surat Al-Fatihah dan shalawat. Ijazah ini diberikan oleh Cak Nun dengan tujuan salah satunya untuk mengaktivasi masing-masing catra dalam diri kita, sehingga kita mampu menjadi catra bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. “Alhamdulillah, saya terima kasih, matur nuwun, aku diewangi atiku. Mudah-mudahan Allah menunjukkan keadilannya, kedermawanannya, kasih sayangnya dan keseimbangan yang selalu dirawat untuk kehidupan ini,” Cak Nun mengungkapkan harapannya malam itu melalui ijazah tersebut.
Cak Nun kembali menjelaskan mengenai 3 level mesin penangkal petir dalam diri manusia. Level pertama adalah akal pikiran. Cak Nun menjelaskan bahwa kita memerlukan keseimbangan dalam berpikir, jika kita sejak berpikir saja sudah keliru, maka hasilnya pasti ketidakadilan, akan terjadi konslet, benturan-benturan dan lain sebagainya. Level kedua adalah ruh dan kebersihan hati, keikhlasan kepada Allah dan kelancipan jiwa kita bertauhid kepada Allah. Level ketiga adalah sesuatu yang Allah informasikan melalui ayat-ayat Al-Qur`an yang kemudian menjadi ijazah atau wirid-wirid yang sering kita riyadlahkan.
Melengkapi Ijazah Al-Anfal ayat 17, Cak Nun menganjurkan kepada Jamaah Maiyah Kenduri Cinta malam itu untuk melafalkan wirid Hasbunallah (Hasbunallah wa ni’ma-l-wakiil ni’ma-l-mawla wa ni’ma-n-nashiir) sebanyak 9 kali setiap setelah shalat, yang sebelumnya diawali dengan shalawat sebanyak 9 kali dan istighfar sebanyak 9 kali. Kemudian, Cak Nun juga menganjurkan kepada seluruh Jamaah Maiyah untuk membaca Surat Al-Qadar (inna anzalnaahu fii lailatil qodr) sebanyak 10 kali setiap sebelum tidur. Karena menurut Cak Nun, kita sebagai manusia membutuhkan Qadarnya Allah untuk membantu kita dalam menghadapi dan mengatasi problematika kehidupan.
Melalui surat Al-Qadar ini, Cak Nun mentadabburi bahwa Lailatul Qadar itu bisa dilihat dari perspektif dengan: Lailah adalah masalah yang kita hadapi, di mana bentuknya bisa berupa utang, kesulitan hidup, sakit, tidak punya pekerjaan, belum menikah dan lain sebagainya, sehingga kemudian kita mengharapkan Qadar-nya Allah untuk membantu kita menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi. “Jadi di dalam kegelapan hidupmu saya memohon kepada Allah dengan 10 kali teman-teman membaca Al-Qadar itu, Allah akan memberikan Qadar-Nya”, pungkas Cak Nun.
Diskusi semakin gayeng dengan kesegaran lontaran kelakar Cak Nun. Tawa jamaah membahana setiap Cak Nun melemparkan guyonan-guyonan yang menggelitik, yang memang sudah lama tidak kita rasakan bersama selama hibernasi Maiyahan 2 tahun terakhir ini. Untuk memberi jeda, grup musik Pandan Nanas yang digawangi oleh Bedur malam itu tampil di Kenduri Cinta membawakan beberapa lagu yang iramanya menggembirakan. Jamaah pun turut bernyanyi bersama saat Pandan Nanas membawakan lagu-lagu malam itu.
Tawasul kepada Cak Nun
Malam itu, Andrean yang merupakan salah satu penggiat Kenduri Cinta yang sempat non-aktif, karena beberapa hal, malam itu turut bergabung di Kenduri Cinta, karena ada beberapa hal yang ingin ia ceritakan. Pengalaman spiritual yang ia alami dalam beberapa tahun terakhir menurutnya tidak lepas dari persambungannya dengan Cak Nun dan tentu saja Maiyah dan Kenduri Cinta.
“Dulu waktu saya masih aktif menjadi penggiat Kenduri Cinta, saya itu tidak berani mendekat dengan Cak Nun, karena saya merasa banyak dosa dan merasa tidak pantas dekat-dekat dengan beliau. Satu-satunya kesempatan saya bisa bertemu Cak Nun dengan leluasa adalah saat sebelum saya menikah untuk meminta doa restu dari Cak Nun,” Andrean mengawali kisahnya. Peristiwa meminta doa restu itu terjadi pada medio 2016. “Kunci saya cuma satu; setiap kali sehabis shalat, saya bertawassul kepada Cak Nun,” lanjut Andrean.
Setiap setelah Maiyahan, Cak Nun memang selalu mampir ke sebuah warung, sekadar untuk melepas lelah sembari menikmati teh hangat, lalu sebatang dua batang rokok. Pada momen itu, Andrean memberanikan diri untuk meminta doa restu kepada Cak Nun. Saat itu, Cak Nun memeluk Andrean kemudian mencium ubun-ubun Andrean sembari mendoakan agar hajat Andrean dilancarakan oleh Allah. Setelah itu, Cak Nun berpesan kepada Andrean; “Ati-ati yo le, setelah nikah cobaanmu semakin berat,”begitu kira-kira yang diingat oleh Andrean.
Pesan dari Cak Nun saat itu selalu dipegang Andrean agar ia semakin waspada. Ujian pertama bagi Andrean datang tepat dua hari setelah ia melangsungkan resepsi pernikahan, ayahnya meninggal dunia. Setelah menikah, kesibukan Andrean semakin padat dalam pekerjaannya, sehingga ia memang kemudian non-aktif dari Kenduri Cinta.
Di tahun 2018, ujian kembali datang kepada Andrean. Dalam bisnis yang ia geluti, ada piutang dari rekanan bisnis yang tidak dibayarkan oleh rekan bisnisnya hingga miliaran rupiah. Di tahun-tahun itu, Andrean memang mengalami kelancaran dalam bisnis, ia bahkan sempat membelikan rumah dan memberangkatkan umroh kedua mertuanya ke tanah suci. “Saya ini memang ada bakat nakal sejak kecil,” Andrean melanjutkan ceritanya.
Di Tahun 2018, saat ia menanggung kerugian hingga miliaran rupiah itu, Andrean juga menderita sebuah penyakit yang disebut Leukopenia, sebuah penyakit yang disebabkan karena jumlah sel darah putih dalam tubuhnya sangat sedikit. Andrean bahkan sempat mengalami kadar 0% sel darah putih dalam tubuhnya, sehingga ia sempat turun berat badannya sampai 30 Kg.
“Sakit yang saya derita sampai saya mengalami kritis selama 3-4 hari, dan semua rumah sakit sudah menolak untuk menangani kondisi saya saat itu,” lanjut Andrean. Dikisahkan Andrean, istrinya sempat mengundang teman-teman dan beberapa gurunya untuk membaca surat Yasin dan berdoa di rumahnya saat Andrean sudah terbaring dan tidak berdaya. “Dalam keadaan seperti itu, satu hal yang selalu saya lakukan adalah bertawassul kepada Cak Nun,” ungkap Andrean.
Pada satu momen kritis itu, Andrean sempat terlelap tidur. Dalam tidurnya, Cak Nun hadir dalam mimpi Andrean dan memberikan sejumlah urutan wirid yang kemudian menjadi salah satu amalan sehari-hari Andrean. Setelah Cak Nun hadir dalam mimpi itu, Andrean tiba-tiba merasa segar dan bisa bangkit dari situasi kritisnya. Selama momen kritis tidak bisa bangkit, Andrean tetap melaksanakan shalat dengan diawali tayamum. Tentu tidak seperti orang shalat dalam kondisi sehat, Andrean melakukannya dalam kondisi berbaring. Wirid yang diijazahkan Cak Nun pun selalu ia amalkan. Mimpi itu sangat membekas, bahkan dalam mimpi itu Cak Nun berpesan kepada Andrean bahwa sakit yang ia derita itu kecil, bisa disembuhkan oleh Allah.