CakNun.com

Maiyah Penangkal Petir

Reportase Kenduri Cinta edisi Januari 2022
Waktu baca ± 21 menit

Ali Hasbullah kemudian menyegarkan kembali ingatan bahwa forum Kenduri Cinta ini salah satu forum yang unik. Seringkali yang di panggumembincang banyak hal yang lebih luas dari tema, tapi audiensnya tetap enjoy mengikuti dan menikmati. Tak jarang narasumber membicarakan hal yang tidak sama dengan tema yang diangkat di Kenduri Cinta, namun jamaah tetap saja nyaman untuk menyimak apa yang disampaikan.

Dok. Kenduri Cinta

Ali Hasbullah juga mengingatkan sering kita berdiskusi mengenai peradaban, tentang Indonesia, tentang masalah sosial masyarakat, dan mengilmuinya dengan berbagai pendekatan dan logika pemahaman. Itu semua bisa berlangsung, karena memang forum Kenduri Cinta ini menjadi wadah aktualisasi diri bagi setiap jamaah yang hadir di Kenduri Cinta ini berhak untuk berbicara. Cak Nun sendiri menyebut forum Maiyah adalah forum dengan seribu podium, yang artinya semua orang memiliki hak yang sama untuk berbicara tentang apapun saja.

Tetapi memang demikian adanya forum Maiyah yang sudah dirintis dan dijalani oleh Cak Nun selama ini. Apa yang dilakukan oleh Cak Nun memang sebatas menanam benih. Kita sering mengalami penyegaran setelah Maiyahan. Cak Nun selalu mengajak kita untuk membongkar kembali cara berpikir kita yang sudah baku dengan lontaran-lontaran pertanyaan ataupun guliran diskusi yang mengalir begitu saja di setiap Maiyahan. Dan di sinilah letak kemerdekaan Maiyah, di mana kita sebagai jamaah Maiyah diajak untuk memiliki kemerdekaan untuk menentukan mana yang akan kita ambil dan dijadikan bekal hidup, dan mana yang harus kita simpan dahulu, atau mungkin juga ada hal-hal yang harus kita buang sejak dini, agar kita lebih waspada.

Ali menjelaskan bahwa Cak Nun sering menyebut bahwa Renaissance adalah awal mula kehancuran peradaban manusia, di mana mulai peristiwa itu manusia dijauhkan dari Tuhan. Sering Cak Nun mencontohkan hal-hal sederhana seperti film-film dokumenter di National Geographic misalnya, sebagus apapun film dokumenter baik secara visual maupun tema yang dibahas, sama sekali tidak pernah ada narasi mengenai kekuasaan Tuhan yang sebenarnya berkuasa penuh atas apa yang mereka dokumentasikan itu. Sementara kita di Maiyah, selalu menitikberatkan Tauhid, bahwa apapun yang kita lakukan selama kita hidup di dunia ini, mustahil tanpa campur tangan Tuhan. Dari contoh sederhana ini saja kita sudah mengalami pembongkaran cara berpikir. “Apa yang ditawarkan oleh Maiyah memang membongkar hal-hal yang keliru dari peradaban yang ada saat ini,” Ali memungkasi.

Kita Kangen dengan Cak Nun, Tapi Cak Nun Juga Kangen dengan Kita

Di tengah-tengah diskusi berjalan, Cak Nun bergabung ke panggung. Seperti diinformasikan sebelumnya, Cak Nun pada Jum’at(21/1) sejak pagi sampai malam, berada di Tasikmalaya untuk bersilaturahmi dengan teman-teman penggiat Simpul Maiyah Lingkar Daulat Malaya dan juga Jamaah Maiyah Tasikmalaya dan sekitarnya di forum Maiyahan yang diselenggarakan di Gedung Dakwah Islamiyah, Tasikmalaya. Setelah acara, Cak Nun bergegas ke Cibubur untuk bertemu dengan keluarga, dan pada Sabtu malam (22/1), Cak Nun hadir di Kenduri Cinta.

“Jadi yang kangen itu bukan cuma kita, tapi Cak Nun sendiri juga kangen untuk ketemu dengan kita di Maiyahan seperti ini,” Fahmi menyambut kehadiran Cak Nun di Kenduri Cinta malam itu sembari sedikit menjelaskan bahwa dalam masa pandemi, sejak Maret 2021 lalu, Cak Nun memang meminta tim Progress dan Koordinator Simpul Maiyah untuk diatur jadwalnya agar bisa bertemu dengan teman-teman penggiat Simpul Maiyah. Diawali di Sidoarjo, kemudian di Ponorogo, lalu berlanjut di Wonosobo dan Demak. Di awal tahun 2022 ini, agenda tersebut berlanjut ke Tasikmalaya, diselingi Kenduri Cinta dan kemudian akan berlanjut ke Lampung pada 24 Januari 2022.

“Aku khawatir, anda itu geletak’an di jalan-jalan,” Cak Nun menyapa disambut tawa jamaah Kenduri Cinta. “Saya itu kagum dan berterima kasih kepada Allah, karena anak-anak saya di seluruh Indonesia yang saya tilik’i tidak mendapatkan bahaya,” Cak Nun menyampaikan beberapa kesan ketika bertemu dengan teman-teman penggiat dan jamaah Maiyah di beberapa kota. Ini justru menandakan bahwa teman-teman Maiyah mampu survive dalam situasi pandemi dua tahun terakhir ini. Mungkin ada yang sempat jatuh, terkena dampak baik secara langsung maupun tidak langsung, dari situasi pandemi ini, tetapi faktanya semua berhasil untuk bangkit dan kembali melanjutkan hidup.

“Tidak berarti kemudian anda sembrono terhadap Covid, tetapi juga tidak boleh terlalu takut. Hidup anda harus selalu tawassuth. Tetap waspada tapi jangan sampai paranoid, tetap berani tapi jangan sampai sembrono, gitu yaa…, Cak Nun tetap menegaskan bahwa hidup ini harus penuh dengan kewaspadaan. Meskipun saat ini kita bisa Maiyahan seperti sebelumnya, tetapi tetap ada hal-hal yang diwaspadai, tidak serta-merta kita meremehkan sesuatu hal yang ada di hadapan kita.

Sembari melanjutkan sesi Mukadimah, Adi Pudjo turut menyambut kedatangan Cak Nun malam itu di Kenduri Cinta. “Alhamdulillah, terima kasih atas kedatangan teman-teman malam ini, juga antusiasme Cak Nun yang datang malam ini, semoga kita juga bisa mengimbangi antusiasme Cak Nun yang malam ini datang di Kenduri Cinta,” ungkap Adi Pudjo.

Berbicara mengenai tema, Adi Pudjo memiliki sudut pandang bahwa Maiyah sebagai Penangkal Petir semestinya berfungsi layaknya penangkal petir yang ada saat ini. Petir adalah sebuah energi yang sampai hari ini manusia belum bisa memanfaatkannya dengan baik, maka fungsi penangkal petir itu sendiri adalah menyalurkan energi yang datang dari petir untuk disalurkan ke bumi. Seharusnya, manusia memiliki kemampuan untuk memanfaatkan petir untuk menjadi teknologi yang berguna bagi kehidupan manusia. Begitu juga Maiyah, sebagai penangkal petir kita sebagai pelaku Maiyah harus mampu mengolah energi dari “petir-petir” yang muncul dari langit untuk kita olah, sehingga menjadi hal yang bermanfaat bagi kita.

“Ada petir-petir yang konteksnya fisika atau biologi yang alami seperti petir-petir biasanya yang kita alami. Ada juga petir-petir sosial budaya, petir-petir politik, dan yang bertaburan berseliweran seperti peluru nyasar itu petir-petir medsos, ya nggak?,” Cak Nun melambari diskusi selanjutnya. Petir-petir medsos itu yang ditegaskan oleh Cak Nun berpotensi untuk meledakkan kepala kita, kemudian membuat kita baper, membuat kita marah dan seterusnya.

Kita semua ingat bahwa di Maiyah kita membangun hubungan yang kemudian kita sebut sebagai Al Mutahabbiina Fillah. Istilah ini pertama kali muncul disampaikan oleh Cak Fuad di Padhangmbulan. Kita semua jamaah Maiyah berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi kemudian mempersaudarakan diri kita satu sama lain di Maiyah. “Untuk apa anda mencintai Allah kalau ternyata Allah tidak mencintaimu? Maka harus kita tempuh, yang nomor satu adalah segala perilaku yang kita lakukan membuat Allah mencintai kita,” Cak Nun menegaskan bahwa yang lebih utama adalah memperjuangkan agar Allah mencintai kita.

“Kadang-kadang kita ini seringkali tidak lengkap cara berpikirnya,” Cak Nun melanjutkan sembari mencontohkan, bahwa sering kita mendengar dalam pengajian, para Da’i dan Ustadz atau Kyai mengajak kita untuk berjuang mendapatkan ridla Allah, padahal yang lebih utama adalah kita sebagai manusia terlebih dahulu harus ridla terhadap ketentuan Allah kepada kita, baru kemudian kita akan mendapatkan ridla Allah. Kita selalu berpikir menjadi objek yang diberi ridla, jarang sekali kita berpikir untuk menjadi subjek yang memberi ridla.

Lainnya

Exit mobile version