Maiyah is the Real Rahmatan Lil ‘Alamin
Jika kita melihat umumnya model pengajian biasanya modelnya adalah monolog, yakni sang pengisi ceramah dikasih mimbar kemudian yang hadir mendengarkan saja. Cara seperti ini andai sang penceramah tidak pintar dalam hal humor maka acara akan berjalan membosankan dan ngantuki serta yang hadir pun biasanya ekslusif kelompoknya sendiri. Artinya, kelompok yang termarjinalkan misalnya anak punk ataupun kelompok-kelompok yang mestinya diayomi dibersamai malah tidak bisa ikut bergabung. Seakan-akan ada sekat hitam dan putih.
Dan Maiyah menjadi pendobrak model pengajian itu. Maiyah hadir dengan membawa model pengajian dialog yang siapapun saja diperbolehkan hadir dan ikut serta bahkan boleh setuju dan boleh tidak setuju. Entah itu anak punk, ormas, apapun saja dan kelompok apapun saja boleh hadir dan ikut. Di Maiyah kebenaran tidak diletakan di wajah seseorang tetapi diletakkan di kebenaran itu sendiri. Istilah yang familiar bagi Jamaah Maiyah adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.
Bukan hanya itu saja, Maiyah juga mendobrak sisi panggung dengan cara jamaah dan yang berbicara di depan sama tinggi posisinya sehingga tidak ada istilah menggurui. Semua egaliter. Sinau bareng. Dan di maiyahan juga dihadirkan unsur kesenian bersama Gamelan KiaiKanjeng. Atau juga biasanya diselingi unsur kesenian dan kebudayaan lainnya misalnya pembacaan puisi, tari-tarian dan lain sebagainya yang menjadikan Maiyah sebagai ruang bagi jalannya Kebudayaan.
Jika dilihat dari hal di atas yakni penggabungan unsur pengajian, kebudayaan dan kesenian serta siapapun saja apapun ormas atau kelompoknya bisa hadir menjadikan Maiyah is The Real Rahmatan Lil ‘Alamin. Maiyah adalah ruang belajar manusia agar bisa memanusiakan sesama manusia.