“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian
1.
Kegagalan Sebagai Penyair
Sejak hari saya mengambil keputusan untuk membuat judul “M Frustrasi”, baik untuk puisi maupun kemudian untuk buku, saya sadar sepenuhnya bahwa pilihan itu sangat buruk, tidak memenuhi habitat estetika dan jauh dari nuansa poetika yang berlaku di awal 1970-an maupun hingga sekarang. Tetapi saya tetap bertahan karena ada semacam substansi dan muatan dimensi nilai dari darma hidup. Tetapi, sepertinya itulah awal kegagalan saya sebagai penyair
Saya belajar dan berlatih menulis puisi selama setengah abad lebih tidak membuat saya menjadi penyair yang cukup baik, baik bagi diri saya sendiri, terlebih lagi bagi dunia kepenyairan tanah air. Jangan pula berharap dengan karya-karya buruk itu saya akan pernah bisa menjadi bagian dari penyair-penyair yang penting di Indonesia. Di dalam lakon kepenyairan nasional, saya hanya seorang figuran, bolo dhupakan yang sama sekali jauh dari spotlight panggung kesenian dan perpuisian nasional; Indonesia. Puisi saya tidak terdaftar di dalam buku antologi puisi “Tonggak” yang dieditori oleh sahabat terdekat saya almarhum Linus Suryadi AG, yang benar-benar merupakan tonggak sejarah kepenyairan Yogya dan nasional. Juga bahkan nama saya tidak ada di lembaran Buku Besar Kesenian dan Kebudayaan Indonesia yang disebar ke seluruh dunia melalui Kedutaan-Kedutaan Besar RI di Negara manapun.
Bahkan saya ditimpa bias informasi dan pemahaman. Di era 1970-1975 saya bertugas sebagai Wartawan. Kalau saya mudik ke kampung di Jombang, teman-teman saya sesama penggembala kambing menyapa: “Ndut, jare koen saiki dadi hartawan!?”. Panggilan saya adalah “Gendhut”. Yang teman-teman saya maksudkan dengan “hartawan” adalah Wartawan.
Tetapi tidak harus atau hanya anak-anak dusun yang nuansa berpikirnya seperti itu. Ketika saya takziyah layatan meninggalnya seorang teman Penyair, saya disapa oleh seorang teman seniman teaterawan lain yang sudah lebih 30 tahun tidak ketemu: “He, Nun. Jare kowe saiki wis sugih!?” Begitulah konten pikiran dan muatan hati sahabat-sahabat saya seniman selama sekitar setengah abad. Maka di tengah frustrasi sekarang ini saya berbahagia oleh inisiatif “Mlungsungi” Reriungan Teaterawan Yogya yang sedang intensif di Kadipiro hari-hari ini.
2.
Kuwalat M yang SAW
Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.
Frustrasi adalah suatu keadaan di mana manusia ditekan oleh suatu keadaan yang berkepanjangan yang membuatnya kesakitan, sengsara atau menderita, tanpa ia bisa mengatasi atau mengakhirinya.
Akan tetapi puncak frustrasi yang saya alami sekarang ini tidak ada hubungannya dengan puisi atau kesenian. Kegagalan sebagai Penyair atau Seniman sama sekali tidak mengandung potensi untuk frustrasi. Justru hari-hari ini saya sedang sangat berbahagia bisa men-tutwuri-handayani proses kreativitas Reriungan Teater yang berproses akan mementaskan “Mlungsungi”, di mana sekitar 60 pekerja teater dari 4 Generasi berhimpun menyatu dalam semangat kreatif dan ketulusan kerja keras.
Puncak frustrasi yang sedang saya alami adalah hubungan antara saya dengan Indonesia, dengan Manusia, serta dengan Tuhan.
Setelah melewati setengah abad, frustrasinya si “M” hari-hari ini sampai di puncaknya. “M” adalah sebutan atau panggilan kepada saya oleh guru saya Umbu Landu Paranggi di awal era 1970-an. Tatkala buku “M Frustrasi” diterbitkan, aslinya yang saya maksudkan dengan “M” adalah Muhammad, Nabi pamungkasnya Tuhan di Planet Bumi. Ada kemungkinan frustrasi yang sedang saya alami itu karena “kuwalat” oleh “M” yang shallallahu ‘alaihi wasallam itu. Saya mensimulasikan di dalam mekanisme pandang pikiran dan hati saya bahwa Nabi Muhammad mengalami frustrasi yang mendalam karena fakta kekufuran dan kemunafikan masyarakat manusia maupun ummatnya sendiri.
Di era 1970-an, “M Frustrasi” hanya pembayangan, imajinasi, animasi atau simulasi. Tetapi setengah abad kemudian, terutama hari-hari sekarang ini: saya mengalami “M Frustrasi” secara empiris, mendalam, menikam-nikam dan serasa sangat menghancurkan.
3.
Dikuasai di 1000 Hal, Berkuasa di 1 Hal
Saya adalah manusia yang dikuasai oleh pihak-pihak lain dalam skala besar, makro dan global, hingga skala dan urusan kecil, mikro dan lokal. Saya adalah manusia yang dalam 1000 hal berposisi dikuasai, dan hanya dalam 1 hal saya menguasai.
Dikuasai dengan berbagai kadar, jenis dan levelnya: ditindas, dianiaya, dipaksa patuh, diinjak-injak, di-bully, dipukuli, di-piloro, tidak boleh berpendapat. Saya disiksa dan dinista kalau mengungkapkan hal yang saya yakini benar. Saya dihardik dan dikutuk kalau menerapkan sesuatu yang saya yakini itu sebagai hak-hak saya.
Hanya atas dasar sangkaan, bukan atas dasar fakta kesalahan, saya dihukum sangat berat sepanjang hidup dan mungkin sampai akhirat nanti.
Saya hanya berkuasa pada (1) satu hal, yakni atas diri saya sendiri. Atas hati, pikiran, mental, psikologi dan manajemen kejiwaan saya sendiri. Itu pun terbatas pada ukuran di mana kuasa saya atas diri saya sendiri tidak boleh diaplikasi menjadi kuasa atas orang lain, manusia lain atau pihak lain. Saya dilarang oleh Maha Pencipta dan oleh saya sendiri untuk dengan kuasa atas diri sendiri itu saya menghebati orang lain, minteri, ngendas-endasi atau adigang adigung adiguna atas siapapun di luar diri saya. Batas yang boleh saya eksplorasi hanya bahwa semua kekuasaan atas saya itu, dalam bentuk apapun, dengan kadar seberapa pun, tidak boleh membuat saya frustrasi, kebingungan, stressed, tertekan, menderita atau sengsara.
Dengan 1000 kekuasaan yang menimpa saya dan dengan hanya 1 kuasa yang ada di genggaman hidup saya, saya diwajibkan oleh Maha Pencipta dan oleh saya sendiri untuk selalu berbuat adil, berpikiran jernih dan seimbang, berhati samudera, bermental baja, bergembira, berbahagia, mengayomi dan melindungi siapapun yang bukan saya.
Saya wajib mengobati manusia-manusia yang sakit dalam keadaan saya sendiri sakit keras. Saya wajib menampung keluhan-keluhan ribuan orang dalam posisi saya sendiri ditimbun oleh gunung keluhan atas hidup saya sendiri. Saya wajib menolong siapapun dan berapa pun orang yang membutuhkan pertolongan saya, tatkala saya sendiri amat sangat butuh pertolongan. Saya wajib mendengarkan, menampung, mengelus-elus hati orang yang antre menumpahkan kesedihan dan frustrasinya, dalam keadaan saya sendiri sedang bertengger di puncak gunung frustrasi oleh posisi saya di Dunia, di Negara, di Masyarakat dan Keluarga.
4.
Kegagalan dalam Negara
Di ujung setiap siang dan malam keadaan frustrasi itu, hari demi hari, malam demi malam, saya bersyukur dan mengucapkan “Alhamdulillah ‘ala kulli hal”, Puji Tuhan untuk segala hal, yang menggembirakan atau menyengsarakan, yang membangkitkan atau menghancurkan.
Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang seluruh segala kehendak-Nya Maha Menakjubkan. Segala puja-puji atas semua hal yang Tuhan anugerahkan atas hidup saya hingga 68 tahun usia. Tahun 2022 adalah puncak gagal paham saya terhadap hubungan timbal-balik antara konsep Negara, Pancasila dan Demokrasi, dengan Indonesia, dengan bangsanya, masyarakatnya, ummatnya, manusianya.
Satu-satunya fakta yang saya tidak terlalu gagal paham adalah, bahwa semua apa yang saya lakukan dan perjuangkan selama setengah abad lebih: tidak ada gunanya bagi Indonesia. Tidak ada manfaatnya. Muspra alias mubadzir. Tidak mengubah atau memperbaiki apapun. Bahkan Indonesia juga tidak mengetahui saya. Indonesia tidak mengenali apa yang saya lakukan. Alih-alih mengapresiasikannya. Jangankan menghargai atau apalagi berterima kasih. Bahkan bagi Indonesia “wujudi ka’adami”: Ada atau tidak adanya saya, sama saja bagi Indonesia. Bahkan, kalau dilihat secara substansial lebih mendalam dan meluas, bisa jadi jauh lebih parah dari itu. Jauh lebih memfrustrasikan dibanding itu.
Akan tetapi tak ada batas akhir dari cakrawala rasa syukurku. Maka senantiasa kuucapkan sepenuh jiwa. “Alhamdulillah ‘ala kulli hal”: hubungan antara saya dengan Indonesia adalah hubungan cinta yang pincang.
Hubungan cinta bertepuk sebelah tangan.
Hubungan antara kekhusyukan dengan cengengesan.
Hubungan antara kesungguhan dengan keacuhan.
Hubungan antara perhatian dengan kecuekan.
Hubungan antara keluguan dengan penipuan.
Hubungan antara kepolosan dengan kebohongan.
Hubungan antara kemendalaman dengan kedangkalan.
Hubungan antara kehati-hatian dengan kesemberonoan.
Hubungan antara ketulusan dengan kedengkian.
Hubungan antara shiddiq dengan hasad.
Hubungan antara perhatian dengan ketidakpedulian.
Hubungan antara kecermatan dengan kesemberonoan.
Hubungan antara ketelitian dengan serampangan.
Hubungan antara perawatan dengan keserakahan.
Hubungan antara amanah dan serabutan.
Hubungan antara kesalehan dengan kekufuran.
Hubungan antara perlidungan dengan penghancuran.
Hubungan antara ilmu dengan jahalah.
Hubungan antara syukur dengan kufur.
Hubungan antara kesetiaan dengan khianat.
Takbiratul ihram-ku digoyang-hoyang oleh kapitalisme sampah-sampah
Ruku’ku diguncang-guncang oleh yuwaswisu keserakahanan industri
Sujudku ditimpa-timpa oleh hawa kemunafikan politik
Tahiyatku hendak digelimpangkan oleh kepandiran peradaban
5.
Kegagalan Sebagai Warga Teater
Sejak Balita saya dilatih berwudlu, menjaga kebersihan wajah, kejernihan mata dan telinga, kontrol mulut, kehati-hatian tangan dan kaki. Tetapi berpuluh-puluh tahun berikutnya wajah saya dirusak oleh Negara dan Manusia. Kepribadian saya dicoreng-moreng. Citra saya dihancurkan dengan manipulasi, kebodohan dan fitnah, utamanya melalui media-media, yang sangat rakus menikmati kerapuhan jiwa manusia, kebrutalan ekspresi dan kepandiran komunikasi manusia. Tiap kali berpuluh-puluh, beratus-ratus hingga beribu-ribu jenis-jenis fitnah itu menimpa dan menghardik saya.
Tetapi sesungguhnya Alhamdulillahi ‘ala kulli hal saya belajar dan berlatih menulis lebih dari 10 repertoar teater serta men-support pementasan-pementasannya, bahkan menjadi penyelenggara atau pengusaha pementasannya. Tetapi itu tidak cukup bagi Indonesia, baik media-medianya maupun kepustakaan kaum intelektualnya untuk sekedar mengetahui atau mengingat bahwa saya adalah pekerja kesenian, penulis sastra lakon, teaterawan atau aktivis seni teater.
Juga Alhamdulillahi ‘ala kulli hal seluruh skrip teater yang saya tulis itu seratus persen menggali tema dari kehidupan Indonesia, nilai-nilai, kebudayaan, sejarah dan peradabannya. Tidak satu pun yang berorientasi pada khazanah lakon teater Barat atau Negeri manapun. Dan itu tidak pernah memadai untuk melahirkan catatan tentang kemandirian dan orisinalitas keindonesiaan saya dalam berkesenian.
Alhamdulillahi ‘ala kulli hal di antara karya teater itu ada yang berjudul “Lautan Jilbab”, yang konten dan misinya saya perjuangkan hingga ke Pengadilan Negara, sehingga saat ini lebih 90% wanita Indonesia memakai jilbab, tetapi tidak cukup untuk membuat para pemimpin Islam dan Kaum Muslimin mengingat saya ketika menyaksikan Muslimah berjilbab. Ada slentang-slenting di sekitar saya bahwa penonton “Lautan Jilbab” di Stadion Madiun, juga sejumlah pementasan di Taman Budaya Yogya, yang saya serta di dalamnya, mencatat rekor jumlah penonton. Tapi siapa yang mencatat, sedangkan pelakunya tidak mendaftarkan karyanya di Museum Rekor Indonesia dan Dunia.
Di tengah itu semua saya merasa Tuhan, para Malaikat dan sejumlah Nabi serta Rasul tersenyum mentertawakan saya: “Nun, apamu yang kau sangka pantas diingat oleh Negara dan manusia. Sedangkan Tuhan Yang Maha Kuasa pun bukan pancer ingatan hidup mereka. Ketuhanan Yang Maha Esa bukan prioritas Indonesia”.
6.
Kegagalan sebagai Warga Dunia
Alhamdulillahi ‘ala kulli hal bersama KiaiKanjeng selama 35 tahun lebih saya bekerja keras merambah ranah kreativitas fenomenologi musik yang melibatkan seluruh anasir musik dunia, Barat dan Timur, dibawa keliling Nusantara hingga 4168 tempat sampai saat ini. Tetapi itu tidak cukup untuk membuat blantika musik nasional Indonesia mengenali dan mencatatnya.
Bersama KiaiKanjeng juga kami berkeliling ke banyak Negara, hingga 26 kota-kota besar dunia, mendapatkan penghargaan khusus di Inggris, Italia dan Mesir, tidak cukup untuk membuat Indonesia mengenali kami, apalagi ikut merasa memiliki KiaiKanjeng. Peristiwa KiaiKanjeng dan “The Moslem News Award of Excellent” bersama PM Inggris Gordon Brown tidaklah bermakna apa-apa bagi Indonesia yang besar dan agung. Apalagi hanya sekedar Demung-nya KiaiKanjeng yang diabadikan di Concervatorio di Napoli, Italia. Bagi bangsa besar Indonesia itu hanyalah setitik debu yang menempel di sehelai daun kering. Jangankan dunia, Indonesia pun tidak benar-benar menganggap saya ada.
Bersama KiaiKanjeng kami menghidupkan kembali dan membangkitkan kembali harga diri dari bagian-bagian substansial dari kebudayaan Jawa dan Islam yang sudah lama dikuburkan oleh era modernisme, seperti Tembang, Shalawat sehingga kemudian menjadi mainstream budaya nasional. Tetapi bagi Indonesia dan media-media ultramodern di era Milenial, bukanlah Shalawat dan Tembang para Wali yang merupakan harta benda terpenting.
7.
Kegagalan sebagai Warga Negara
Alhamdulillahi ‘ala kulli hal untuk apapun saja yang Tuhan wajibkan berlaku atas hidup saya. Secara pribadi saya mengupayakan seorang Presiden lengser sesudah 32 tahun berkuasa, tidak cukup untuk membuat seorang sejarawan pun bertanya, tidak cukup untuk membuat kaum cendekiawan meneliti. Malah menjadi sumber fitnah yang menuduh saya adalah orangnya Soeharto di hadapan 1 juta rakyat yang berkumpul di Alun-Alun Utara Yogyakarta.
Dengan perjuangan pribadi saya memastikan kemenangan gabungan dua Parpol atas satu Parpol lainnya sehingga seorang Kiai naik menjadi Presiden. Kemudian secara pribadi pula saya mengevakuasi sesudah beliau mengalami impeachment, saya mengupayakan beliau untuk legowo keluar dan pergi dari Istana Negara. Kemudian saya yang diminta oleh sang mantan Presiden itu untuk mengumumkannya di depan semua wartawan nasional dan dunia. Tetapi itu tidak cukup untuk membuat pencatat sejarah nasional mengetahuinya. Bahkan tidak cukup untuk membuat keluarga yang bersangkutan menghormati saya.
Alhamdulillahi ‘ala kulli hal saya membuat seorang pengusaha yang tidak bersalah secara hukum menurut Mahkamah Agung RI, rela mensedekahkan 10,6 Trilyun untuk membangunkan 13.256 rumah penduduk. Itu tidak cukup signifikan untuk dicatat oleh siapapun, kecuali tebaran fitnah yang tak habis-habisnya sampai hari ini. Sedangkan semesta dan galaksi-galaksi ilmu yang saya sebar dan sedekahkan ke ribuan massa di ribuan forum Maiyah, yang rata-rata berlangsung dari pukul 20.00 sd 03.00 WIB, sangat deras sejumlah maling mencurinya untuk menyebarkan fitnah di medsos, merusak saya dan jagat rohani ketulusan masyarakat.
Saya mendamaikan tawur massal di kota sebuah pulau, mengembalikan 1.500 KK ke kampungnya di pulau yang lain sesudah diusir oleh 5.500 yang memusuhinya, mendamaikan potensi pertempuran antara dua kelompok masyarakat di pulau yang lain lagi, serta banyak kasus lainnya di berbagai wilayah Indonesia. Itu tidak cukup untuk membuat publik mengenali saya sebagai warga juru damai.
8.
Kegagalan Mengutuhkan Maiyah
Alhamdulillahi ‘ala kulli hal Tuhan membimbing saya untuk membikin Maiyah, menyebarkannya sampai 63 Simpul dan ratusan lingkaran-lingkaran serta sebaran-sebaran di ribuan titik-titik yang mustahil teridentifikasi karena sifatnya bukan padatan seperti parpol, ormas, kelompok thariqat, klub olahraga dll. di seluruh Indonesia dan sejumlah Negara di dunia.
Membangun kedamaian sosial, mendidikkan kejernihan berpikir, ketulusan hati, kebersihan rohani dan kreativitas untuk masa depan serta keseimbangan sosial. Itu belum cukup untuk dilihat sebagai perawatan keutuhan NKRI dan kemanusiaan. Bahkan kemashlahatan Maiyah dimanipulasi oleh banyak pihak untuk menyebarkan kemudlaratan, kebencian dan permusuhan melalui media-media sosial, online maupun offline.
Saya gagal merawat keutuhan Maiyah yang dianugerahkan oleh Tuhan. Maiyahan berlangsung rata-rata dari 5 (lima) hingga 8 (delapan) jam, dan tidak ada zaman apapun sejak Nabi Adam ada forum dengan ribuan bahkan puluhan ribu orang yang Sinau Bareng dengan kekhusyukan dan kegembiraan sampai hampir pagi.
Saya dimurahi Allah untuk memurahi ummat manusia dan bangsa Indonesia, untuk total mensedekahkan dan menggratiskan ilmu dan pengetahuan yang selalu diperbaharui oleh hidayah-Nya. Tetapi sebagian Jamaah Maiyah terus-menerus mengkapitalisasikan sedekah saya itu, menjualbelikannya, mengecerkannya di media-media sosial tanpa henti-hentinya, memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan politik, serta menyebarkan berbagai jenis fitnah tanpa henti sampai hari ini.
Saya mohon ampun kepada Tuhan karena tidak sanggup merawat rahmat dan hidayah Maiyah dari-Nya sebagai keutuhan hidayah dan gerakan nilai. Di antara Jamaah Maiyah sendiri tidak sedikit yang tidak bisa saya jaga untuk tidak kerasukan Iblis, Setan dan Dajjal.
9.
Kegagalan dan Kesepian di hadapan Tuhan
Alhamdulillahi ‘ala kulli hal sepanjang hidup bacaan saya hanya Al-Qur’an, dan itu menjadi sumber dan wacana utama dari ribuan tulisan-tulisan saya yang terhimpun dalam lebih 90 buku. Juga saya sudah menerbitkan Buku tebal Tadabbur berdasarkan tafsir atas firman-firman Allah. Dan Tuhan membiarkan ummat manusia, Negara dan Dunia buta matanya untuk mengenali saya sebagai pemerhati atau pecinta Al-Qur’an, apalagi sebagai Mufassir atau Mutadabbir.
Kehidupan keduniaan yang muatan utamanya adalah harta benda, kekuasaan dan eksistensi diri, oleh Tuhan sengaja dibuat indah bagi manusia yang kafir atau yang tidak berkomitmen kepada-Nya. Saya tidak gentar dikafirkan oleh sesama manusia, tetapi sangat ngeri kalau ternyata di mata Tuhan saya adalah seorang Kafir. Maka sejak kanak-kanak saya menjaga jarak sangat jauh dari pamrih kepemilikan dan kerakusan atas harta benda, kekuasaan, dan egosentrisme eksistensi.
Saya tidak lantas menjadi frustrasi bahwa semua itu belum mencukupi untuk membuat sesama manusia mengenali saya sebagai seorang Zahid, serta tidak pula bisa saya pastikan bahwa Tuhan tidak murka kepada saya. Memang kosakata “zuhud” dan “Zahid” bukanlah kosakata yang dikenal umum maupun tidak juga oleh rata-rata kaum terpelajar.
Sangat bisa dipahami bahwa memang itulah hulu-hilir dari peradaban penduduk Indonesia dan dunia yang menuhankan keduniawian. Tetapi harus saya teguhkan bahwa itu merupakan output fakta bahwa kebaradaan saya ini tidak kompatibel di atau terhadap Indonesia dan Dunia. Dari urusan keyakinan hidup, pengetahuan dan ilmu hidup, pola dan cakrawala pandang tentang manusia dan kehidupan, saya benar-benar tidak cocok untuk menjadi warga dunia saat ini. Saya tidak punya tempat atau koordinat yang tepat di dalamnya.
Saya sangat sendirian dan merasa amat kesepian.
Dan tatkala saya mewiridkan “Rabbi la tadzarni fardan wa Anta Khoirul Waritsin”, wahai Maha Pengasuhku tolong jangan biarkan aku sendiri, Engkaulah sebaik-baik pemberi warisan – saya tidak punya kesangggupan spiritual untuk mendengarkan apa jawaban atau respons Tuhan.
Saya tidak bisa menyelediki apakah Tuhan menemani dan menghibur saya atau tidak. Saya tidak menemukan fakta-fakta bahwa Tuhan berpihak kepada saya dalam urusan Indonesia dan peri-kehidupan global. Saya tidak bisa menjangkau kenyataan apakah Tuhan membela saya dalam urusan Indonesia dan peta era Milenial ini. Apakah Tuhan menerapkan hukum-Nya untuk bertindak kepada siapapun yang menganiaya saya. Apakah Tuhan menerapkan keadilan-Nya kepada orang-orang yang merusak saya, mem-bully, menganiaya dan menghancurkan integritas saya. Apakah Allah mengaplikasi ‘Wamakaru wamakarallah wallahu khirul Makirin”, “Falam taqtuluhm walakinnallaha qatalahum”, “Waman ya’mal mitsqala dzarrotin syarron yaroh” atau tidak, meskipun saya sangat meyakini Allah Maha Adil dan Maha Tidak Mengingkari Janji.
Akan tetapi itu tidak bisa membuat saya sah untuk menyimpulkan bahwa Tuhan tidak memberkahi saya, sebab rahmat dan barokah-Nya begitu melimpah kepada keafiatan jiwa saya, perawatan-Nya kepada kesehatan badan saya, kepada kelancaran kehidupan keluarga saya, hidayah-Nya yang tanpa henti untuk menganugerahkan ilmu untuk saya sedekahkan. Serta kepada perkenan merampaknya kehidupan Maiyah.
Saya dididik sejak bayi untuk selalu berjuang meneguhan dan merawat iman kepada Tuhan dan berbuat saleh kepada sesama manusia dan alam semesta. Tetapi saya tidak pernah benar-benar tahu apakah Tuhan mengakui iman saya dan bagaimana sikap Tuhan kepada manusia, Negara dan Dunia yang lalai dan dhalim kepada perjuangan sangat Panjang dan upaya-upaya kesalehan saya. Bahkan saya tidak punya peralatan bumi maupun langit untuk mengetahui apakah Tuhan mengakui dan menerima iman saya, akidah saya, akhlak dan segala perjuangan ijtihad kreatif saya.
Saya tidak pernah menemukan bukti atau fakta bahwa Allah mengabulkan doa-doa saya yang menyangkut Indonesia, bangsanya, masyarakat dan ummatnya. Tetapi saya juga tidak berani mengklaim bahwa Tuhan tidak mengabulkan. Sedemikian luas, detail, complicated semesta kehidupan ini sehingga mustahil saya memiliki ilmu, pengetahuan, metoda atau mata pandang untuk mendata dan menganalisis hal itu.
Saya tidak punya sensor akal dan batin untuk mengetahui apakah Tuhan membela saya ketika ditindas oleh Negara dan difitnah oleh manusia di dalam Negara dan Globalisasi.
Sejak kanak-kanak di desa, saya dilatih dan berlatih mengkreatifi segala sesuatu, mengijtihadi semua urusan yang saya berada di dalamnya, menginovasi, menginvensi, meng-khallaq-i apa saja yang Tuhan membukakan peluang. Dengan tujuan agar hidup ini menjadi lebih indah, lebih baik dan lebih tepat kebenarannya, sehingga saya digelimangi kegembiraan dan rasa syukur. Saya ikhlas menerima ketentuan Tuhan untuk “menyembunyikan” saya. Sebagaimana Nabi Ismail saya meneguhkan dalam jiwa saya “satajiduni insyaallahu minas-shobirin” bahwa Tuhan menyembunyikan itu semua dari pandangan manusia, masyarakat, Negara, Pemerintahnya, Dunia dan isi globalnya, serta dari penglihatan ilmu dan pengetahuan makhluk-makhluk-Nya.
Tidak ada kesulitan untuk sumeleh, sabar taqwa tawakkal, serta tak ada potensi frustrasi bahwa saya tidak dikenali dan tidak diakui oleh manusia, Negara, bangsa dan penduduk dunia. Tetapi tidak ada frustrasi yang kadarnya melebihi segala jenis penderitaan, kengerian dan kesengsaraan, selain Tuhan sendiri ternyata tidak mengakui saya beserta apa-apa yang saya merasa memperjuangkannya selama lebih setengah abad, dan yang saya meyakininya sebagai wujud cinta dan kepatuhan saya kepada-Nya.
(Sastraliman, Rumah Maiyah, 5 Februari 2022).