CakNun.com

Lingkungan Terkembang Jadi Buku

SastraLiman edisi Desember 2022, Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta
Rony K. Pratama
Waktu baca ± 8 menit

“Keingintahuan bertemu serangkaian proses penelitian mampu menghasilkan novelet. Kendati usianya belum genap sepuluh tahun, anak ini membuktikan betapa ekosistem belajar di SALAM sungguh memerdekakan kreativitas”

Satu, dua, dan tiga anak bermain kejar-kejaran. Berlari dari ujung satu ke ujung yang lain dengan begitu girang. Anak lain yang sebelumnya merunduk dan menyapu pandangan di layar sontak ikutan. Sementara itu, anak lain tampak menatap tembok di sebelah selatan. Ia memandang pigura dan sesekali mengekspresikan wajah antusias.

Puluhan foto bertemakan Obah itu berjejer rapi memenuhi dinding Pendopo Rumah Maiyah. Bersandingan dengan lukisan karya Pak Nevi Budianto, hasil jepretan Pedrosa Oscar, siswa tingkat SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM) tersebut, turut memeriahkan acara rutin bulanan SastraLiman tadi malam (05/12).

YouTube video player

Acara utamanya adalah diskusi novelet karya anak kelas empat tingkat sekolah dasar SALAM. Nawang Rat Satiti, novelis berusia sembilan tahun, menulis Misteri Penculikan Seorang Aktor Teater. Novelet ini sebenarnya bagian dari tugas Bulan Presentasi, memungkasi semester ganjil tahun 2022 di SALAM. Bulan Presentasi adalah momen “panen pengetahuan” hasil karya riset siswa yang ditekuni semenjak awal semester.

Novelet ini mengisahkan hilangnya seorang aktor teater di tengah pertunjukan. Peristiwa ini menghebohkan jamak pihak. Dua anak perempuan bergerak mencari di mana gerangan perginya aktor tersebut. Setiap jengkal pencarian menuai misteri susulan. Rangkaian alur penceritaan mengalir jernih.

Ibarat cerita investigatif, setiap latar membersitkan jejak-jejak yang mengantarkan tokoh utama memperoleh jawaban. Pembaca seperti mengenakan kacamata tokoh utama dalam menemukan aktor teater. Nawang lihai meringkus tokoh berikut karakternya, alur beserta kesinambungan logisnya.

Kelihaian ini diperkuatnya melalui pemilihan kalimat pendek. Menghindari bentuk kalimat majemuk tipe bertingkat, setara, atau campuran yang kerap mengalihkan fokus pembaca. Novelet ini tak membuat napas pembaca tersengal-sengal.

Ekosistem Bertumbuh

Dimulai pada pukul 19.30, SastraLiman dibersamai oleh Mbah Nun, Budi Sardjono, Tri Wahyuningsih (Fasilitator SALAM), dan Kurniawan Adisaputro (orang tua Nawang). “Acara ini harapannya tidak hanya membahas novelet karya Nawang. Melainkan juga mendiskusikan ide dan proses penciptaan serta pendampingannya,” buka moderator, Eko Winardi.

“Nawang ini ibarat pohon. Berbuah jadi buku. Sebab, ada ekosistem yang mendukung. Ibarat tanaman itu kita harapkan kepada Mbah Nun. Mbah Nun ibarat matahari yang memberikan sinar mentari pagi yang sangat berguna bagi taman dan tanaman,” Eko menambahkan.

Menurut Mbah Nun, bakat Nawang merekah di usia muda. Selain karena lingkungan belajar yang tumbuh subur, bakatnya itu diberikan langsung oleh Tuhan. Ekosistem pendidikan di SALAM memungkinkan pertumbuhan bakat anak.

Metode belajar di SALAM berangkat dari aktivitas penelitian. Pemilihan metode ini berkebalikan dengan sekolah kebanyakan yang acap memulai dari mata pelajaran. “Jadi, anak itu jangan diwulang. Anak itu punya sel sendiri. Anak itu harusnya dirangsang untuk bertumbuh. Metodenya bukan mulang. Wajar saja pendidikan kita salah karena seneng mulang,” ucap Mbah Nun.

SALAM, bagi Mbah Nun, sudah tepat memberikan kesempatan bagi bakat anak untuk tumbuh berkembang. Pendekatan pendidikan di SALAM cenderung dialogis. Anak dipandang bukan sebagai objek, melainkan subjek yang senantiasa punya minat dan karakteristik khusus. Mbah Nun melanjutkan, bakat dan minat anak itu kemudian oleh fasilitator dipertimbangkan lebih lanjut.

Foto: Adin (Dok. Progress)

“Sanggar itu lebih amaliah, kultural, dan alami,” Mbah Nun menjelaskan, “sehingga SALAM itu mengajak kita untuk sinau kepada alam.” Belajar kepada alam berarti mengembalikan relasi esensial manusia. “Lha wong kuwi kang mas e. Kalau menentang alam berarti manusia akan merusaknya,” imbuhnya. Hubungan antara alam dan manusia, menurut Mbah Nun, hendaknya bersifat memberi dan menerima.

Hemat Mbah Nun, SALAM setemali dengan spirit ketamansiswaan. Pada Taman Siswa era Ki Hadjar Dewantara, nomor satu bukan soal pengajaran. Namun, bagi Mbah Nun, “Taman Siswa itu siswa berada di alam. Bukan sekolah untuk merampok alam.”

Praktik eksploitasi manusia terhadap alam mencapai titik nadir. Mbah Nun berpendapat, praktik pengerukan tersebut sama dengan cara penjajahan baru. Pandangan ini menunjukkan analogi lebih lanjut. Betapa SALAM menghargai alam sebagaimana penghargaan lebih tinggi atas kemerdekaan anak. Memfasilitasi anak untuk merdeka mengembangkan bakat dan minatnya sendiri.

Karena novelet adalah bagian dari jagat kesusastraan, Mbah Nun mengimbau supaya Nawang tak dibebani dengan istilah sastra dalam pengertian jagat literer. “Merdekakan dia dulu. Biar benihnya tumbuh. Dan kalau sudah tumbuh, anak itu kita ajak untuk mempertimbangkan,” ujar Mbah Nun.

Mengajak anak untuk mempertimbangkan hal-ihwal, baik urusan pengamatan atas lingkungan maupun refleksi keseharian, membuat makna sastra melampaui dunia tekstual. Mbah Nun menekankan esensi sastra sebagai pemaknaan atas hidup.

“Nawang dan anak-anakku semua, teruskan risetmu. Pokoknya punya target. Setahun gawe loro [novelet]. Bar penculikan aktor teater, besok bikin bedanya angkringan dan indomaret itu gimana to,” pesan Mbah Nun kepada anak-anak SALAM yang malam tadi turut menyimak.

Indonesia, kata Mbah Nun, merupakan tempat paling kaya untuk melahirkan novel atau karya kreatif. Beliau mengharapkan semoga karya kreatif anak SALAM dapat dialihwahanakan ke dalam layar lebar. Penyiapan ini membutuhkan target berkelanjutan. Mbah Nun berpesan agar mentor atau fasilitator yang mendampingi proses belajar anak lebih memberikan pertimbangan.

“Mentor yang memberikan pertimbangan tidak untuk mengkritik. Bocah kuwi tidak untuk diwulang. Ini menekankan pada proses sinaune. Jadi, Nawang harus rajin bertanya dan rajin untuk mempertimbangkan bareng-bareng,” ungkap Mbah Nun.

Selain menguak masalah mikro pendidikan melalui kasus SALAM, Mbah Nun juga menarik persoalan pada tataran makro mengenai praktik pendidikan nasional. “Mainstream pendidikan di Indonesia itu gragas. Pendidikan tidak untuk menemani kehidupan atau keindahan hidup,” kritik Mbah Nun. Di tengah sengkarut dunia kependidikan itu, SALAM adalah satu titik dari benang merah Nusantara. Mbah Nun menilai: benang merah ini paling substansial.

“Gambar besarnya itu kita harus bersyukur karena ada SALAM. Harusnya pendidikan itu ya kayak SALAM itu. Meskipun, [apa yang dilakukan] SALAM tidak bisa diterapkan secara nasional, tetapi setidaknya ada unsur yang dilakukan SALAM. Tuhan selalu memunculkan benang merah di tengah kerusakan-kerusakan,” tegas Mbah Nun.

Lainnya