Lingkaran Dinding
— Kau tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini! — kaget aku tanah ini membentakku. Aku memandangnya. Kau lancang. Kau pencuri. Kau mengambilnya sedang ia tetap menjadi hak yang bukan kau! —
Aku menarik napas. Sebenarnya sedikit aku tergeragap. Sebenarnya sudah sejak lama hardikan-hardikan semacam ini memekikkan suaranya di telingaku. Tapi jawabanku hanya diam. Maksudku tetap dalam ketegakkanku. Kupikir aku tak bersalah. Aku memang mengambilnya tetapi itu bukan diawali oleh niatku untuk mengambilnya. Aku hanya berjalan dari peristiwa demi peristiwa demikian saja terjadi melibatiku. Tidak. Aku tidak akan beranjak dari segala yang kuyakini.
— Kau harus pergi dari sini dan kembalikan anak panah itu kepada pemiliknya —
— Aku tidak akan pergi. Bumi dihamparkan buat siapa saja dan masalah disediakan buat siapa saja. Aku tidak akan beranjak sebab tindakan itu tidak membatalkan keberadaan padanya —
— Kau harus pergi dan kembalikan anak panah! —
— Kepada siapa anak panah dikembalikan? Ia telah dibidikkan dan menjadi bukan milik siapa-siapa. Juga bukan milik busurnya. Ia telah merobek perutku. Semula aku ingin menggenggamnya untuk mematah-matahkannya. Tetapi keyakinanku tak mengizinkannya. Ia kuambil, kuelus dan kurumat. Ia bukan lantas menjadi milikku. Segala sesuatu tak ada yang memiliki, kecuali oleh masalahnya sendiri. —
— Kau harus pergi dan kembalikan! —
— Harus pergi ke mana dan kembalikan kepada siapa? Tidak ada sesuatu yang melahirkan sesuatu. Yang melahirkan ialah yang bukan sesuatu. Yang tak bisa disebutkan. Sesuatu hanya dilewati dan sesuatu tak berhak mengurung sesuatu. Kemudian kalau toh aku hendak pergi, dinding dan kegelapan ini tak memungkinkan aku. —
— Kau sendirilah yang menciptakanku! — tiba-tiba dinding itu juga membentakku.
— Kau salah. Aku hanya dilewati oleh kelahiran itu, oleh ciptaan itu. Siapapun tak bisa menyalahkan siapapun, sebab ia harus berurusan lagi dengan yang berdiri di belakangnya, yang di belakangnya dan di belakangnya lagi tanpa ada batasnya. —
— Kau harus! —
— Tidak. Aku tetap pada aku —
— Kau harus! Kau harus! — tanah itu membentakku. Dinding itu membentakku. Kegelapan itu membentakku. Semuanya membentakkau. Semuanya. Semuanya. Kau harus. Kau harus. Kau harus! Anak-anak panah kini berluncuran dari segala arah. Setiap jengkal dinding melepaskan anak panah. Dari kiri dari kanan dari belakang dari depan dari seluruh arah dari setiap bagian-bagiannya dari setiap titiknya bahkan dari bawah dan dari atas dari lintasan cahaya itu dan dunia yang tertawa di atasnya. Anak-anak panah itu menancap di sekujur tubuhku sampai penuh, sampai tak setitik pun tersisa, sampai tak bisa darah keluar kerna sudah mampat, sudah jadi satu antara tubuhku dan ribuan anak panah itu, Aku kesakitan dan lebih dari luka. Seluruh tubuhku menjadi kesakitan itu sendiri. Seluruh beban seluruh luka seluruh sakit dan seluruh senjata yang tersedia dalam hidup dan semesta ini memepat menggumpal dan menindih meremasku. Tubuhku tetap tegak. Jiwaku memekik-mekik. Menggepar-gelepar. Ia pusatkan kekuatannya. Ia pusatkan kekuat-annya ke satu titik kemudian dengan berpijak pada dirinya sendiri ia melesat, meloncat keluar dari tubuhku, Termangu dan pedih dipandangnya tubuhnya yang kaku. Matanya menyala. Segala sesuatu yang dimilikinya mengeras. Perpisahannya dengan tubuhnya tidak memisahkannya dari rasa sakitnya. Tubuh dan jiwaku tetap merupakan kebulatan dalam sakit. Jiwaku menggelegak. Tiba-tiba ia meloncat dan mencabuti ribuan anak panah itu dari tubuhku. Tetapi anak panah tak lepas. Ia hanya lenyap. Namun tetap ada. Ia hanya bisa dipindahkan ke tumpukan dendam yang telah hampir menyundul segala ruang yang mampu disediakan oleh kehidupan. Jiwaku terus meloncat lagi. Digebraknya dinding yang melingkar itu. Sekali. Dua kali. Dan ketiga kalinya dinding itu retak. Kemudian hancur dan ambruk. Tapi kegelapan tetap mutlak dan ia adalah dinding yang lebih tebal dan lebih tak terhingga. Jiwaku duduk bersila. Jiwaku diam. Bergetar dan menggigil. Tetapi perlahan-lahan kemudian dari matanya memancar cahaya. Seberkas. Melebar, memanjang, meluas, dan akhirnya meniadakan raksasa kegelapan itu. Ia menarik napas panjang. Sekarang kegelapan yang hilang itu membawa cuaca dunia baru yang belum bisa dimengerti. Jiwaku sedikit lega. Ia kembali masuk ke dalam tubuhnya. Diusapnya mukanya. Sisa sakit masih terasa dan bekas luka masih segar. Tapi sedetik kenangan pada kesakitan yang barusan lewat, memberinya perasaan yang sebaliknya. Mungkin itu kenikmatan. Atau apa. Tapi tak bisa. Tiba-tiba bumi berguncang-guncang lagi. Aku terjerembab. Lantas seperti ada tangan maha besar yang menamparkan angin deras secara amat keras. Aku terbang dan terbanting. Badai itu kemudian meninggalkan kegelapan baru yang pekat dan legam. Ketika tubuhku mengerekas, tanganku menyentuh benda yang keras. Dinding melingkar kini tegak lagi dan jauh lebih sempit.
Aku tidak sempat berpikir. Mendadak riuh rendah suara-suara dari segala arah memekakkan tubuh dan jiwaku. Suara ini tak butuh ruang sehingga sel-sel terkecil di dalam diriku terbangkit dan menderita. Tiba-tiba lagi anak-anak panah berluncuran juga dari segala arah. Aku diam dan terluka. Aku diam bukan karena kokoh atau tak mau, melainkan karena tak ada lagi ruang yang kosong. Aku luka. Aku darah. Aku sakit. Jiwaku pun tak bisa bergerak ke mana-mana karena sekarang ribuan lagi anak-anak panah meluncur dari arah dalam diriku. Jiwaku tak hanya terkepung tapi tak ada ruang juga di dalam dirinya sendiri. Di mana- mana anak panah di mana-mana anak panah. Aku hilang. Bukan terlempar, tapi anak panah. Aku tak tahu. ***
yk, 79.