Lingkaran Dinding
Apakah kau menyangka aku sedang menghibur diri, atau menimbun-nimbun kekuatan agar tetap mampu bertahan terhadap keadaan yang kau anggap menyiksa hidupku. Apakah kau melihat aku sebagai kenihilan, kenaifan dan sikap fatal. Apakah kau membaca aku sedang mendongakkan leherku dan memasrahkannya untuk dipenggal kemudian tubuhku dicincang-cincang. Ingatkah kau waktu mendadak kutampar mukamu sedetik setelah kau sebut aku sebagai pemasrah yang fatal. Sebenarnya kau tak salah. Cuma kurang maju sejengkal. Aku memang pasrah. Tetapi kepasrahanku hanyalah kepada sesuatu yang harus ditegakkan. Kepada keharusan. Kepada keniscayaan. Kepada immanensi. Besok pagi tidak mustahil akan kubakar gedung tinggi yang amat menyinggung perasaan itu, dan itulah gerangan rasa pasrahku. Kau memukul daguku, dan kupukul balas dagumu, maka itulah bentuk kepasrahanku. Demikian pula aku pun pasrah kepada kegelapan ini. Kepada lingkaran dinding ini. Tetapi kepasrahanku tidak pernah berhenti. Kepasrahanku adalah bukti yang dinamik, setia dan terus menerus, tanpa boleh sepenggalpun berhenti. Jadi silahkanlah segala lapisan dinding memenjarakanku. Aku tak akan mengelakkan. Aku pasrah dengan cara menggempurnya sehingga aku tidak akan tanggal dari diriku sendiri.
Dalam dinding penjara semacam itu dulu aku pernah menangis. Di bagian proses yang lain aku merajuk. Pernah juga aku marah-marah dan berteriak-teriak mengumpati Tuhan. Kubilang apa maunya dia memberikan genggaman demi genggaman pepat tanpa pernah kumengerti dan hampir tanpa henti. Kubilang mau berapa lama lagi Tuhan ingin bermain-main dan menindih-nindihku. Kubilang berapa ton beban lagi yang hendak ia timpahkan di atas keterbatasan kekuatan makhluk macam aku. Tetapi seperti juga kau mengetahuinya, tidak satu jumput hurufpun Tuhan bersedia menjawab. Jadi sekarang aku lebih mengenal lagi ia. Jadi aku tidak akan pernah berdoa. Doa banya terludahkan oleh oleh mulut manusia-manusia konyol yang manja dan mau enaknya sendiri. Sejak semula Tuhan memang bermaksud melepaskan anak demi anak panah ke seluruh bagian tubuh dan jiwa kita. Kenapa kita musti memohon agar anak panah itu disimpan saja di pinggang Tuhan. Itu tindakan betina. Barang siapa tidak betina pasti selalu menyediakan kesadaran dan kesiapsiagaan bahwa anak panah itu sewaktu-waktu memang diluncurkan ke arahnya, dan bahwa ia harus bekerja membereskannya. Segala yang kau rasakan sebagai kenikmatan atau kesengsaraan, tak lain ialah anak-anak panah. Kita jangan sampai tertipu oleh beda-beda rasanya.
Nah, ini dia anak panah itu. Kegelapan terasa begini kukuh, menghimpit dan membungkusku. Dinding yang tebal dan tegar, membatasi seluruh ruangku, menghunjam jauh ke dasar bumi dan menjulang tinggi jauh ke batas yang hanya mampu kupandang. Aku berkeringat. Luar dan dalam. Panas dan dingin bergantian muncul menelusup dan menggenggamku dengan tekanan yang sama beratnya. Aku berdiri tegak. Seluruh tububku basah kuyup dan sekaligus terik kerontang. Mulutku terkatup. Gigiku gemeretak. Rasa gerah dan menggigil tak kutahu lagi silih bergantinya. Jauh di atas sana cahaya melintas. Satu-satunya yang bisa kupandang, selain kegelapan ini sendiri. Semua yang pernah kukenal melintas-lintas dalam cahaya itu. Kawan-kawanku. Tetangga-tetangga. Bahkan istri dan seluruh keluargaku sendiri. Bayangan keriangan hidup mereka. Suara-suara kebahagiaan mereka. Wajah keceriaan mereka. Ketenteraman dan rasa aman hidup mereka. Kemerdekaan mereka. Tetapi segera kutanamkan kepercayaan, meskipun dengan amat susah payah, bahwa itu semua hanya bayangan yang mampu dihasilkan oleh pandanganku. Aku tidak percaya jiwa mereka tak dikungkung oleh lingkaran dinding juga macam aku. Aku yakin dalam setiap jiwa yang kelihatannya bebas dan di balik setiap tawa ceria kehidupan, berdiri dinding-dinding yang berlapis-lapis dan mencegat. Sebab aku lihat dalam lintasan cahaya itu aku sendiri terbahak-bahak dan berlari-lari dengan ringan tanpa beban. Sepanjang pertemuan dan pengenalanku atas dinding-dinding semacam ini, aku akhirnya tahu bahwa salah satu yang kita mimpi-mimpikan dalam keberadaaan ini telah terdapat pada keadaan jika kita berhasil menjadi orang lain. Menjadi orang lain yang membayangkan ketenteraman dan cahaya yang melintas-lintas. Setiap orang tidak perlu belajar apapun untuk mampu bermimpi semacam itu, tetapi kekeliruan terbesar yang banyak ialah sangkaan bahwa isi mimpi itu sungguh-sungguh terjadi pada tokoh-tokoh yang muncul, yakni setiap orang lain. Kekeliruan itu terjadi karena sangkaan itu mendorong untuk memperoleh keadaan yang sama dengan meminta dari luar dirinya. Dan aku tak akan melakukan hal itu. Aku tidak akan mencari, meminta atau mengemis kepada siapapun selain menciptakannya sendiri dari dalam jiwa. Aku tidak akan mengemis kepada orang tua, kawan karib, istri, lingkungan-lingkungan, hiburan-hiburan ataupun Tuhan. Tuhan tidak mengisyaratkan keberadaan-Nya buat melayani pengemis-pengemis. Ia hadir untuk memasang busur dan meluncurkan anak-anak panah kemudian melihat apakah yang terkenal akan memancarkan dendam dari matanya, atau meratap sambil meminta keenakan. Atau Menengadahkan wajahnya tajam-tajam ke mata-Nya. Tangannya bergerak memegang anak panah yang menancap di pusat dadanya. Mencabutnya perlahan-lahan, memandang darah yang mengalir dan tubuh yang luka tanpa mengaduh.
Libatlah anak panah ini. Meluncur dan perutku sobek. Kegelapan dan dinding ini lebih dahsyat menunjukkan keberadaannya padaku Baiklah. Baiklah.
Tiba-tiba tanah yang kupijak mengguncang-guncangku. Hampir aku terjatuh. Tapi aku bertahan.