Lautan Jilbab (3/3)
MUSIK MENGHENTAK.
BERSAMAAN DENGAN ITU TERDENGAR SUARA SORAK-SORAI PARA JILBAB DAN LAIN-LAIN DI PANGGUNG-2. BERDIRI DI DEPAN MEREKA DUA LELAKI.
PARA JILBAB KEPADA DUA LELAKI :
Omongan kalian ngawur! Ngawur!
LELAKI-1 :
Ngawur bagaimana? Kan tadi saya bilang: semua orang di dunia ini setengah mati berjuang mencari kemerdekaan, lha kok kalian ini malah mengikat diri!
JILBAB-1 :
Mengikat diri bagaimana?
LELAKI-1 :
Jilbab kalian itu mencerminkan ketidakbebasan kalian.
PARA JILBAB TERTAWA.
JILBAB-1 :
Dengarlah. Dengan jilbab ini kami justru sedang membebaskan diri!
LELAKI-1 :
Gitu kok membebaskan diri!
JILBAB-2 :
Sekali lagi dengar baik-baik. Kami membebaskan diri untuk memilih pakaian semacam ini. Kami membebaskan diri dari kebiasaan lingkungan, dari anggapan umum, dari gengsi-gengsi modern yang tidak pada tempatnya.
JILBAB-1 :
Dan lagi kemerdekaan atau ketertindasan sama sekali tidak dicerminkan oleh bentuk lahir, melainkan oleh bagaimana proses seseorang menentukan dirinya sendiri.
JILBAB-3 :
Wanita berjilbab bukan lambang ketertindasan! Wanita telanjang bukan lambang kebebasan!
LELAKI-1 :
Juga sebaliknya, dong. Wanita telanjang bukan lambang ketertindasan, wanita berjilbab bukan lambang kebebasan.
PARA JILBAB :
Jadi kalian nggak usah ribut!
LELAKI-1 :
Aku bukan ribut. Cuma heran. Kok mau-maunya pakai jilbab. Apa nggak panas. Rambut apa nggak rusak. Belum lagi kalau harus pakai helm: kepala kan sumuk…
PARA JILBAB :
Nggak mutu! Nggak mutu! Bikin kalimat yang berbobot dong!
JILBAB-1 :
He, bung! Ini drama. Bukan warung kopi. Kalau berbicara, pertimbangkan segi artistiknya, ya!?
LELAKI-2 KEPADA LELAKI-1 :
Kamu ini ngaco juga sih! Memangnya Tuhan kamu suruh memerintahkan agar kaum wanita rajin-rajin pakai miniskirt supaya lalat-lalat gampang masuk, gitu ya?
Wahai kaum wanita yang beriman, pakailah miniskirt… gitu ya? Atau pakai you can see — supaya setiap orang bisa menghitung berapa helai rambut di ketiaknya? Memangnya Tuhan kamu suruh menurunkan ayat-ayat tentang pentingnya np-bra? Atau gimana?
LELAKI-1 :
Ah! Meskipun ini drama, mbok ya ndak usah mendramatisir begitu!
PARA JILBAB :
Salahnya ngawur! Asbun! Waton nyonthong!
LELAKI-1 :
Alah! Tapi kan tidak mentang-mentang pakai jilbab, lantas pasti bagus kelakuannya.
PARA JILBAB :
Siapa bilang pasti?
LELAKI-1 :
Wong ada kok wanita berjilbab yang sama laki-laki malah mag-meg!
JILBAB-2 :
Itu yang salah mg-megnya! Bukan jilbabnya!
LELAKI-1 :
Ada juga yang sebelumnya dikenal sebagai gadis pangilan!
JILBAB-1 :
Sebelumnya tho? Sebelumnya. Artinya, sesudah pakai jilbab, tidak lagi.
LELAKI-1 :
Belum tentu!
LELAKI-2 :
Lho! Pernah nyoba apa?
PARA JILBAB BEREAKSI.
JILBAB-1 :
Ya deh! Terus terang saja kita akui. Memang ada di antara kita yang pakai jilbab ini dulunya rusak. Tapi justru karena itu, memakai jilbab adalah jalan paling frontal dan praktis untuk memperbaiki dirinya.
LELAKI-1 :
Ya, ya. Yang mana contohnya ini?
JILBAB-1 :
Diam dulu, prul! — lantas ada juga di antara kita yang memakai jilbab hanya karena pertimbangan mode pakaian…
LELAKI-2 :
Tapi pasti juga tidak sedikit di antara kalian yang memakai jilbab berangkat dari keyakinan agama…
PARA JILBAB :
Dan politik! Politik!
LELAKI-1 :
Kok politik?
JILBAB-2 :
Ya, politik! Kami memakai jilbab sebagai tanda dan jawaban terhadap tekanan-tekanan dan tiadanya pegangan sebagai warga masyarakat. Itu namanya politik.
LELAKI-1 :
Gitu kok politik!
LELAKI-2 :
Pasang telingamu: harga lombok naik, itu politik! Kamu kedanan buntut, itu karena politik! Kamu sekolah diajari memakai kacamata kuda, itu karena keputusan politik!