CakNun.com

Laku Minimalismus Menghadapi Perayaan Konsumerisme

Majelis Ilmu Maiyah Mafaza Eropa edisi Februari 2022
Nafisatul Wakhidah
Waktu baca ± 6 menit

Mengawali 2022 Maiyahan Mafaza hadir kembali secara luring untuk kedua kalinya di Daheim Kaffe Yogyakarta serta secara daring via Zoom pada 6 Februari lalu. Pada putaran ke-23 ini Mafaza mengangkat tema “Di Balik Perayaan Konsumerisme”, judul yang tak lain merupakan kegelisahan yang banyak dirasakan berbagai pihak ketika melihat kondisi zaman saat ini baik dari media sosial maupun yang biasa terlihat sehari-hari di lingkungan terdekat.

Dok. Mafaza

Kemajuan teknologi dan masifnya marketing memperlancar para produsen dalam menjajakan usahanya. Tentu akan selalu ada dampak positif dan negatif yang menyertai. Agenda hangout, travelling, dunia fashion, fotografi, media sosial serta ramainya industri makanan aneka rupa yang berkembang begitu pesat harus disikapi dengan kunci dasar dari para leluhur yakni untuk selalu eling lan waspada (ingat dan waspada). Terkadang di balik semua yang indah, mudah, dan apalagi gratis itu juga menyimpan hidden cost yang harus diwaspadai. Seperti sebuah twit yang tak sengaja saya temukan beberapa waktu lalu dari Paul James, “A Big Mac doesn´t cost $3,99, it costs your health. Netflix doesn´t cost $17,99, it costs your time. Social media isn´t free, it costs your focus. Lesson: There is always a hidden cost.”

Pukul 19.30 WIB Mas Adit sebagai moderator mengawali paparannya melalui prolog yang juga sudah tertuang dalam poster mukadimah. Konsumerisme yang terjadi pada dekade terakhir sering kali tak hanya tentang pemenuhan kebutuhan primer saja. Iklan-iklan yang membanjir di platform jual beli justru didominasi oleh barang-barang sekunder. Dampak positifnya antara lain bisa membuka berbagai kemungkinan komoditas baru, namun efek negatifnya tak sedikit yang kemudian memaksakan diri untuk berbelanja hingga terjebak pada pinjaman online (Pinjol) baik legal maupun ilegal. Mirisnya, ending dari pinjol ini bisa berujung pada bunuh diri ketika lelah dikejar dan tak mampu membayarnya.

Mengurangi konsumsi terutama barang-barang yang menggunakan plastik, mengurangi membeli baju jika masih banyak baju yang layak pakai, membeli makanan yang dibutuhkan, makanan yang jelas nilai gizinya, memasak sesuai kebutuhan agar sedikit kemungkinan makanan yang dibuang adalah di antara langkah kecil yang selain menghemat kantong juga merupakan bentuk kepedulian kita akan pemanasan global atau perubahan iklim. Kalau bukan kita generasi sekarang yang menjaga bumi ini, lalu siapa lagi?

Small is Beautiful

Hadir secara luring di Daheim yakni Marja’ Maiyah, Pak Toto Rahardjo didampingi oleh Mas Helmi Mustofa. Selain itu, Pak Sis juga bergabung dalam satu gelombang secara luring dari Belanda. Pada momen ini Pak Toto menyampaikan bahwa Free Market atau pasar bebas adalah puncak dari globalisasi. Semakin kentara mana saja negara-negara produsen dan negara-negara yang dijadikan konsumen dalam peta ekonomi di dunia. Menurut beliau konsumerisme dan kapitalisme ini tidak bisa dilawan secara besar-besaran, apalagi berharap pada negara karena negara pun naif dan tak bisa diharapkan.

Yang bisa kita lakukan, meski berat, adalah terus-menerus membangkitkan kesadaran dan inisiatif untuk berubah, dimulai dari lingkaran-lingkaran masyarakat kecil. Selain itu perlu juga melakukan penelitian berbasis pancaindera yakni dengan mengaktifkan seluruh pancaindera untuk menyaring mana kebutuhan, mana keinginan, mana yang berdasar algoritma media sosial, dan mana yang benar-benar sejati.

Beliau juga mengutarakan pentingnya data dalam komunitas. Pak Toto lalu bercerita tentang kisah Lurah Desa Panggungharjo Sewon Bantul yang berhasil mendata, menganalisis, dan mendeteksi bahwa ternyata 50% pengeluaran Rumah tangga di sana dialokasikan untuk membeli sayur. Oleh sebab itu kemudian dibuatlah lumbung untuk mencukupi kebutuhan internal desa sendiri. Inisiasi tersebut dilakukan berlandaskan data agar dana yang ada tidak cepat keluar dari Panggungharjo.

Ekosistem yang Mendukung

Mas Adit juga bertanya kepada Pak Toto tentang bagaimana meng-counter marketing zaman now yang semakin masif dan mayoritas tidak benar-benar menggambarkan kualitas dari yang dipasarkan. Banyak influencer dibayar besar namun sering kali kualitas barangnya tidak seperti yang diiklankan. Pak Toto membagikan pengalaman sekolah beliau, Sanggar Anak Alam (SALAM), yang dalam perkembangannya banyak orang berguru dan ingin meniru bagaimana metode beliau mengelola sekolah tersebut. Nyatanya banyak yang tidak berhasil karena sesuatu itu harus otentik; dan selain metode, harus diperhatikan bagaimana pengorganisasian masyarakat dilakukan. Sistem dan metode boleh meniru namun selama iklim dan ekosistem komunitasnya tidak mendukung maka perkembangannya pun akan susah. Termasuk kalau seseorang tertarik membeli sesuatu, dan ternyata produk tersebut tidak sesuai ekspektasi, maka konsumen pun akan berpikir ulang untuk membelinya di masa depan.

Mas Helmi kemudian menyambung diskusi dengan bertanya tentang berapa lama sebetulnya umur pakai suatu pakaian. Beliau beranggapan bahwa selama pakaian masih bagus maka ia semestinya bisa berumur panjang. Mas Helmi memberikan contoh, ada pakaian dia yang masih bisa dipakai meski sudah sepuluh tahun usianya. Tentu saja di sini berperan teknik-teknik mencuci dan merawat agar suatu pakaian bisa awet dan tahan lama.

Mas Helmi menambahkan bahwa ada relativitas antara kebutuhan dan keinginan yang sering kali cukup tipis batasnya. Misalnya seorang fotografer membeli kamera bagus tidak hanya karena keinginan untuk memiliki namun kamera dalam konteks seorang fotografer juga berfungsi sebagai alat produksi atau barang produktif, di mana ketika alat produksinya berkualitas baik dan berfungsi sesuai ekspektasi, maka hasil karyanya pun akan lebih bagus, efektif, dan efisien.

Dalam konteks ini, kebutuhan dan keinginan bisa dilihat dalam perspektif bahwa barang yang kita konsumsi atau kita beli itu sekadar untuk pemuas keinginan sesaat ataukah barang itu kita beli dan kita gunakan untuk suatu tujuan jangka panjang misalnya untuk suatu produksi atau karya.

Melanjutkan diskusi, Pak Toto kemudian menyampaikan perihal khazanah “Wirogo, Wiromo, Wiroso”. Wiromo yakni keselarasan dengan irama zaman karena setiap zaman punya ritmenya sendiri. Sedang wirasa adalah keselarasan rasa dan wirogo merupakan keselarasan wujud atau wadag, Contohnya, bagaimana manusia menjalankan kehidupan yang sehat. Jika melihat kondisi pada zaman sekarang tentunya tak mudah untuk menghindar dari eksposur beragam produk di berbagai media yang dicurigai bertujuan agar masyarakat kita semakin konsumtif.

Pak Toto juga menceritakan kondisi dari Suku Boti yang bertolak belakang. Di sana bermacam informasi juga sudah masuk ke tengah-tengah masyarakat, namun mereka memiliki sistem masyarakat dengan tata kuasa sendiri sehingga tahan terhadap gempuran apa pun dari dunia luar. Kiranya itu pula yang berlaku di suku Badui Dalam dan Kasepuhan Ciptagelar yang juga masih menerapkan sistem lumbung dan sistem tempat tinggal kekerabatan. Masyarakat di sana tentunya juga sudah memiliki penjelasan mengapa hal-hal tertentu dilakukan di sana. Sebab melarang tanpa menjelaskan sebab-akibatnya akan susah untuk dipahami kognisi maupun untuk diterapkan dalam keseharian. Metode seperti itu juga bisa diterapkan pada anak-anak, misalnya mereka diajak untuk menentukan makanan yang hendak dikonsumsinya dari kecil, menimbang baik buruk yang menyertai apa yang mereka makan.

Menyambung secara daring dari Belanda, Pak Siswa Santosa merespons bahasan sebelumnya dengan menyitir pesan dari Ki Hajar Dewantara yang kurang lebih berbunyi rasa karsa cipta karya. Bagaimana caranya meriset sebuah produk yang disenangi dan dibutuhkan hingga berdampak pada warga dan ujungnya adalah bisa saling memberi atau subsidi silang. Jangan hanya terus memperkaya toko-toko tertentu yang sudah kaya. Beliau sedikit berkisah tentang pengalamannya ketika membantu Romo Mangun membangun rumahnya di Jogja di mana pekerjaan konstruksi dikerjakan oleh tukang dari warga sekitar dan banyak memanfaatkan barang daur ulang.

Good Bye Gengsi

Adanya bermacam gaya hidup dalam pemenuhan kebutuhan hidup paling dasar (sandang, pangan, papan) menimbulkan pertanyaan, sebenarnya berapa banyak barang yang kita butuhkan untuk mendukung kehidupan kita? Lebih jauh lagi, jika ditilik di balik gemerlap fenomena konsumerisme yang terjadi, bagaimana kondisi tenaga kerja yang berkecimpung di situ? Sudahkah terpenuhi hak-hak mereka, atau masih ada banyak kezaliman yang terjadi, seperti eksploitasi anak di bawah umur yang seharusnya tidak boleh terjadi? Dari sisi kita sendiri sebagai konsumen, sudah ramah lingkungankah keseharian kita selama ini?

Semakin rumit dan “tidak jelasnya” cara pemenuhan kebutuhan hidup manusia di masa sekarang tak bisa dipungkiri memicu munculnya gaya hidup seperti Vegetarianism, Frugalism, dan gaya hidup minimalis (minimalismus dalam bahasa Jerman) yang cukup populer di Eropa dan Jepang. Di Jerman orang tak malu berdesakan belanja di Flohmarkt (pasar loak) yang rutin diadakan di berbagai kota dan bahkan didukung penuh oleh pemerintah daerahnya masing-masing. Sedang di Belanda juga banyak ditemui kringloop, semacam toko daur ulang. Platform seperti eBay juga sangat digemari di Eropa karena memungkinkan konsumen membeli barang secara daring dengan harga yang lebih murah atau bahkan gratis (si pembeli hanya perlu mengambil barang di rumah si penjual). Bermacam barang bisa ditemui di platform tersebut, baik barang bekas maupun baru.

Saya sendiri saat tinggal bersama keluarga Jerman pernah merasakan bagaimana mereka selalu masak setiap hari dan sangat jarang makan di luar. Liburan ski atau camping pun memilih mbontot kebutuhan makanan dari rumah, minum hanya dari air keran (tap water), juga tidak ada gengsi jika masih memakai barang jadul. Ketika mereka sudah tidak lagi membutuhkan baju ataupun sepatu yang dimiliki, mereka sering kali “membuangnya” ke dalam kontainer-kontainer khusus pakaian bekas yang biasanya tersebar di berbagai penjuru kota.

Pakaian yang terkumpul di kontainer tersebut kemudian disalurkan ke toko-toko barang bekas ataupun disumbangkan ke tempat-tempat yang membutuhkan. Tak hanya pakaian, barang-barang yang lebih besar pun tidak jarang mereka sumbangkan ke orang lain dan pasti akan ada yang memanfaatkan barang-barang bekas tersebut, sehingga tidak akan kita temukan fenomena kasur, lemari, ataupun meja makan yang mengambang di sungai.

Bayern, 10 Februari 2022

Nafisatul Wakhidah
Gesundheits-und Krankenpflegeschülerin (Pelajar di bidang kesehatan dan keperawatan) Baden-Württemberg, Jerman. Mengenal Maiyah di Simpul Maiyah Rebo-Legi Malang dan Simpul Maiyah Maneges Qudroh.
Bagikan:

Lainnya

Mosok Dijajah Terus Ker?

Mosok Dijajah Terus Ker?

21 April 2015, dinginnya kota Malang tak mengurungkan niat dulur-dulur Maiyah Rebo legi untuk tetap berkumpul di beranda masjid An-Nur Politeknik Negeri Malang.

Nafisatul Wakhidah
Nafisatul W.