Ku Tak Bisa Jauh darimu, Mbah
Pukul 21.00 Simbah dijadwalkan memasuki sesi sinau bareng di panggung terbuka didampingi oleh Pakde Mus, Cak Sul dan disambut dengan wajah haru penuh kerinduan para anak-cucu Simbah. Ridho sebagai perwakilan dari Maiyah Dualapanan menyampaikan selamat datang kepada Simbah sekaligus mengantarkan tema sinau bareng kali ini dalam nuansa melepas kerinduan dari anak-cucu kepada Simbah dan begitu sebaliknya.
Sesi awal sinau bareng dibuka oleh Pakde Mus dengan menyanyikan lagu Letto yang berjudul Kangen Deso, kemudian lagu Celine dion – My Heart Will Go On lalu lagu Ruang Rindu dari Letto yang dibawakan oleh duet vokal personel Dualapan Band Mbak Dini dan Mas Anggi, dan yang terakhir dibawakan oleh Mbak Hesti lagu dari Ibu Novia Kolopaking yang berjudul Dengan Menyebut Nama Allah. Keempat lagu ini semakin membalut hangatnya kerinduan di tengah-tengah sinau bareng.
Mbah Nun pun menyapa jamaah Dualapanan malam itu dengan takjub dan penuh kebahagiaan, “Saya itu mulai pengajian itu mulai 1972, dan itu sudah ke segala macam tempat di seluruh dunia dari Yunani, Hungaria, sampai ke Jerman pojok-pojok dan Belanda, Thailand, Malaysia, Finlandia sampai ke gunung-gunung alas pulau Jawa ternyata yang paling menyenangkan adalah Maiyahan di Lampung.” Kontan langsung disambut dengan riuh tepuk tangan dan tawa para jamaah.
Mbah Nun memang yang sejak awal ingin menyambangi teman-teman penggiat Simpul Maiyah di beberapa kota. Alhamdulillah salah satunya adalah Lampung yang kebagian. Mbah Nun mengutarakan tujuannya menyambangi anak-cuc nya di daerah di tengah kondisi yang tidak menentu karena pandemi adalah untuk menyenangkan anak-cucunya dan ternyata Mbah Nun merasakan sebaliknya, ternyata malah beliau yang merasa disenangkan oleh sambutan hangat dari anak-cucu yang ada di Lampung.
Pada malam sebelumnya di hadapan jamaah mlMaiyah Tasikmalaya, Mbah Nun meminta para jamaah di rumah Maiyah untuk disediakan sebuah buku besar yang mencatat siapapun yang hadir di rumah Maiyah ketika mengingat sesuatu untuk membiasakan mencatat apapun itu, tujuannya agar setiap simpul memiliki dokumentasi yang baik, ternyata ketika hadir di Simpul Maiyah Dualapanan Mbah Nun dihadiahi sebuah buku perjalanan sinau bareng simpul dari tema awal hingga yang terakhir saat malam itu, sehingga dengan spontan Mbah Nun mengapresiasi simpul Maiyah dualapanan sebagai simpul terbaik di usia yang masih sangat muda.
Lalu Mbah Mun sembari mengalihkan pandangannya ke sebuah gambar Mbah liem (KH. Muslim Rifai Imampuro) sembari menceritakan beliaulah yang pertama kali memberikan sebutan Mbah kepada Mbah Nun saat beliau diundang untuk mengisi acara Maulid Nabi, disebabkan pembawa acara mengucapkan “Baiklah akan disampaikan ceramah oleh bapak Emha Ainun Nadjib” lalu Mbah Liem menghampiri si petugas dan menampar pipinya sambil mengatakan “Mbah Nun, Mbah Nun ayo ulangi Mbah Nun”. Demikian kronologi sebutan Mbah pada Mbah Nun.
Lalu Mbah Nun mengajak para jamaah untuk tidak melewatkan sedikit pun detik waktunya kecuali bertambah juga ilmunya, dan menjabarkan ilmu Nabi Khidir tentang masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang yang dikisahkan kebersamaan Nabi Musa yang belajar kepada Nabi Khidlir yang menemui tiga kejadian. Pertama tamsil tentang membocorkan perahu yang dikhawatirkan akan dirampok oleh perampok yang mewakili dimensi masa kini. Kedua adegan Nabi Khidlir mencekik seorang anak yang menurut ilmu Nabi Khidlir anak ini kelak akan memiliki karakter yang kuat namun berpotensi untuk durhaka pada orangtua nya, kisah ini mewakili dimensi masa yang akan datang. Ketiga, kisah Nabi Khidlir yang memperbaiki sebuah pagar yang di bawahnya terdapat harta warisan yang diperuntukkan untuk kebaikan generasi selanjutnya.
Kemudian Mbah Nun kembali meneguhkan kepada jamaah untuk senantiasa mentadabburi isi Al-Qur’an karena melalui tadabbur memungkinkan untuk dilakukan oleh setiap orang dengan berbagai latar belakang keilmuan dan strata sosial mana pun berbeda dengan tafsir yang mengharuskan terpenuhinya persyaratan-persyaratan tertentu.
Di penghujung acara Mbah Nun mengajak jamaah untuk bersama-sama membaca wirid Padhangmbulan yang berisi makna kasih sayang. Lalu Mbah Nun melalui Mas Fahmi mengijazahkan sebuah wirid supaya Maiyahan ini saling menggembirakan, agar saling berbagi kebaikan dan terlindungi dari segala pihak yang berniat buruk terhadap Maiyah. Pembacaan wirid diawali dengan Al-Fatihah dan membaca surat Al-Anfal ayat 17 sebanyak tiga kali.
Di akhir sesi Pakde Mus mengucapkan banyak terimakasih atas kehadiran para jamaah dan meminta maaf apabila dalam pelayanan terhadap jamaah kurang maksimal dan Pakde Mus mengajak kepada seluruh jamaah untuk tetap hadir pada tanggal 28 Januari dalam sinau bareng rutin tiap bulannya dan senantiasa memupuk semangat untuk membangun Lampung, dan Pakde konsisten untuk selalu mengambil peran sebagai pakde yang selalu membantu menemani Mbah Nun. Dan untuk mengiringi berakhirnya sinau bareng ditutup dengan lagu Slank yang berjudul Ku tak bisa dan wirid Hasbunallah.