CakNun.com

Kepala Kampung

Cerpen ini dimuat dalam Majalah Sastra HORISON No. 10 Oktober 1979 Tahun XIV
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 9 menit

Mereka tegak kembali. Tapi kepala tunduk mereka dan mimik sikap yang terpancar dari kesungguhan air muka mereka, sekali lagi hampir mcmbuatku menangis. Betapa kuatnyapun aku sebagai seorang pribadi yang menduduki jabatan Kepala Kampung, harus kuakui kebutuhanku akan kesetian mereka semua. Di dalam melaksanakan cita-cita luhur pembangunan kampung, dibutuhkan proses yang ruwet untuk meyakinkan kebenaran-kebenaran kebijaksanaanku.

Tetapi ternyata berhasil juga aku menarik kepatuhan mereka yang tanpa reserve ini. Maka, sekali lagi, kepada rakyat dan seluruh jiwa raga kampungku, kepada dunia, langit serta Allah yang arnat kupatuhi, aku meyakinkan bahwa penerapan kekuatanku atas seluruh segi kehidupan kampung ini, jelas adalah kebenaran yang luhur dan riil. Sudah sewajarnya jika aku mempertahankan kebenaran ini, dengan cara apapun, demi keselamatan rakyat dan kampungku. Rakyat harus dijaga. Ingat, harus dijaga. Bukan menjaga. Ini mengandung arti bahwa mereka tidak pernah akan mampu menjaga dirinya sendiri. Maka harus dijaga. Dan ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang mengerti, yakni “maaf” aku ini sendiri.

“Ya Bapak.“

“Sekarang dengarkanlah!“

“Lewat keluruhan nilai tugas dan tanggung jawab kita bersama atas bangunan kampung ini, Tuhan telah menugaskan kepada kita untuk mengatasi dan memusnahkan setiap usaha penghambat pembangunan!“

“Ya Bapak.“

Segera kubisikan kepada mereka rencanaku, Mereka mengangguk-angguk. Semua nampak mengagumi betapa jitu cara yang kupergunakan.

“Sekarang kembalilah kalian semua. Siap siagakan segala sesuatunya. Pegang keyakinan akan kebenaran ini erat-erat. Hanya dengan itu kalian mantap melaksanakan semuanya.“

“Ya Bapak.“

Semua Pamongku berdiri, beranjak dan berlalu.

Seminggu sebelum hari pembakaran yang direncanakan itu sampai, seluruh rakyat telah bergunjing. Sebagian bergirang hati dan mendukung, sebagian menolak, tetapi kebanyakan dari mereka kebingungan saja.

Yang terakhir inilah wajah terbesar dari rakyat. Coba pikir sekali lagi, apakah si bingung ini yang hendak memegang pemerintahan kampung seperti tuntutan anak-anak ingusan itu?

Hari itupun akhirnya tiba. Berangsur-angsur suasana pun meledak. Beberapa puluh pemuda berbondong-bondong membawa kaleng minyak dan obor, menuju rumah perusahaan pedati. Segera tempat ini menjadi pusat ledakan. Rakyat berkerumun, bahkan tak sedikit yang ikut aktip. Terutama pemuda-pemuda. Tapi di sepanjang jalan sebelum mencapai tempat tersebut, puluhan pemuda di atas membakar satu dua pedati yang sedang lewat, yang mereka jumpai. Puncaknya ialah ketika minyak-minyak disiramkan ke rumah pedati itu dan obor dilemparkan. Api menyala. Asap mengepul. Ledakan-ledakan kayu dan barang-barang. Sorak-sorai membahana.

Tapi suasana cepat berkembang. Tiba-tiba datang ratusan anggauta barisan keamanan kampung. Banyak rakyat dan terutama pemuda-pemuda tak mampu berkutik oleh tindakan barisan keamanan. Api segera bisa dipadamkan. Pemuda-pemuda dibawa ke rumahku. Rakyatpun diperintahkan untuk berkumpul di halaman rumahku.

“Rakyatku yang amat kucintai,“ aku berteriak.

Aku berdiri di pendapa. Rakyatku rnemperhatikan dengan seksama. Wajah-wajah mereka penuh api menyala.

“Hidup kebenaran!“ kuteriakkan yel, yang segera diikuti mereka secara membahana: “Hidup kebenaran! Hidup kebenaran!“

Aku memgangkat tanganku, memberi isyarat agar mereka tenang.

“Rakyatku sekalian! Di tengah sibuk-sibuknya kita semua melaksanakan kemajuan-kemajuan bagi kampung kita, ada orang-orang yang dengan seenaknya merusak apa yang kita hasilkan bersama.

“Coba katakan, apakah ini melawan kebenaran?“

“Ya! Ya Ya! Melawan kebenaran! Itu melawan kebenaran!“ suara mereka bergemuruh.

“Sekarang kita jangan banyak membuang-buang waktu. Setiap yang melawan kebenaran rakyat, maka rakyat itu sendiri yang harus secara langsung memberihukuman. Setuju kalian?“

“Setuju! Setuju! Seluju!“

“Hukuman picis?“

“Ya picis! Picis!“

“Setiap orang dari kalian ikut satu kali mengiris tubuh mereka satu persatu, sebab kalian semua masing-masinglah yang dirugikan oleh mereka?“

“Setuju! Setuju!“

“Baik. Sekarang cepat laksanakan. Para petugas! Cepat bawa kemari pemuda-pemuda pelawan kebenaran itu!“

Tawanan-tawanan segera dibawa ke pendapa. Rakyat menyambutnya dengan sorak-sorai amarah. Wajah-wajah mereka penuh api membara. Pisau-pisau segera disediakan dan para tawanan diikat satu persatu untuk digilir oleh rakyat. Rakyatku adalah orang-orang yang keinsyafannya akan kebenaran amat besar, Di antara pemuda-pemudi tawanan itu banyak yang merupakan putera mereka sendiri, keluarga atau famili. Tetapi mereka berpihak kepada kebenaran, dan keyakinan, ini dilaksanakan dengan bersedia mengorbankan apapun, bahkan anaknya sendiri.

Rakyat mulai berbaris dengan mata yang memancar penuh kekuatan berkat kebenaran. Pemuda-pemuda yang diikat tak bisa berbicara satu patah kata pun. Beberapa di antara mereka dendam. Yang lain menoleh ke sana ke mari. Aku tersenyum. Mereka tentu bertanya-tanya: mana gerangan beberapa puluh pemuda yang pertama-tama mernbawa minyak dan obor, yakni yang mengawali pembakaran ini? Kenapa mereka tidak terdapat di antara daftar tawanan?

Aku tersenyum. Pemuda-pemuda bodoh ini telah kujebak. Aku ingin membuktikan kebodohan mereka. Sebenarnya rencana pembakaran mereka bukan hari ini. Aku sadar mereka pasti sudah mempersiapkan segala sesuatunya, juga untuk bagaimana lolos sesudah melakukannya. Maka kudahului rencana itu dengan mengutus beberapa puluh pemuda pembawa minyak dan obor itu, untuk memancing pemuda-pemuda. Mereka tentu kebingungan melihat rencana itu diajukan, tetapi mereka pasti turut ambil bagian meski dalam ketidak mengertian. Dan sekarang jelaslah kedunguan mereka.

“Baiklah rakyatku! Sekarang kita mulai irisan pertama!“

Seorang rakyatnya maju ke depan. Pisau menegang di tangannya. Perlahan-lahan ia mendekati salah scorang tawanan. Seluruh rakyat menatapnya dengan gairah dan bara api dalam jiwa mereka.

“Satu ……… dua tiga!“

Seluruh rakyat bergema. Bergemuruh. Sorak sorai memenuhi bumi dan langit. Irisan picis pertama telah dilakukan.

Sang pemuda tawanan memekik. Darah pelawan kebenaran mengucur.

“Kebenaran pasti menang!,“ aku berteriak membahana.

Diikuti oleh gemuruh rakyatku. “Kebenaran pasti menang! Kebenaran pasti menang.”

Mereka melonjak-lonjak histeris. Aku menangis terharu. Kebenaran selalu menang.

Lainnya

Mimpi Setiap Orang

Mimpi Setiap Orang

Aku melihat mendadak di langit muncul makhluk aneh yang amat besar, membawa terompet yang juga amat besar ukurannya, mengumandangkan suara ke segala penjuru bahwa Tuhan telah menutup pintu-Nya!

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Jimat

Jimat
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Podium

Podium
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Stempel

Stempel
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Ijasah

Ijasah
Exit mobile version