CakNun.com

Kepala Kampung

Cerpen ini dimuat dalam Majalah Sastra HORISON No. 10 Oktober 1979 Tahun XIV
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 9 menit

“Mereka tidak menyetujui campur tangan sementara tetangga kampung atas ekonomi kita. Mereka menentang tetangga kita yang baik budi itu menaruh modalnya di sini. Mereka meminta kita lebih membatasi diri. Mereka mengharap kita jangan memupuk ketergantungan kita sendiri terhadap orang lain.“

Aku tersenyum.

“Baik,“ kataku.

“Aku mengerti prinsip mereka. Tetapi lebih dulu, coba kalian katakan bagaimana sikap kalian, terhadap masalah ini.“

Mereka semua menunjuk dan rnembungkukkan tubuhnya dengan penuh rasa tulus.

“Demi Allah, kami semua dengan gamblang melihat sikap itu sebagai ketololan anak kecil. Karenanya kami mempertaruhkan kepala kami untuk tetap berdiri di belakang Bapak Kepala Kampung.“

Aku bagaikan hendak menangis. Mereka betul-betul Pamong-pamongku yang turut serta membulatkan segala perjuangan luhur ini. Mereka selalu memujiku karena mereka insyaf akan kebenaranku. Mereka rela selalu menyerahkan upeti kepadaku karena demikian besar pengertian mereka terhadap setiap sendi kebijaksanaanku.

“Terima kasih,” kataku.

“Tapi sebelumnya, menurut kalian, tahu apa tikus-tikus itu perihal ketergantungan?”

Salah seorang Pamongku tertawa.

“Mereka lupa daratan, Bapak. Mereka tidak ingat dari periuk siapa mereka mengambil nasi untuk menjejali perut mereka.”

“Bagus. Coba lanjutkan laporan kalian.”

“Begini Bapak,” berkata salah seorang. Menunduk-nunduk ia maju, berlutut dan segera mencium kakiku.

Ini adalah ungkapan kesadaran akan kebenaran. Pada dasarnya yang dicium bukan kakiku, melainkan sumber kebenaran itu.

“Pokoknya mereka menginginkan satu prinsip, yakni kekuasaan rakyat. Pada hakekatnya, menurut pikiran mereka seorang Kepala Kampung berada di bawah seluruh rakyat. Segala keputusan kampung didasarkan atas pertimbangan dan kepentingan seluruh rakyat. Tetapi sebelumnya, hamba ingin mengemukakan betapa menjadi sakit perut hamba karena tak tahan mentertawakan pikiran mereka itu.”

“Ya. Ya. Mereka bagaikan failasuf yang bertahta di langit. Teruskanlah.”

“Mereka mengecam anggauta perutusan rakyat karena dianggap tidak mewakili suara rakyat.”

“Itu lucu. Mereka lupa bahwa dipilihnya seorang Kepala Kampung tak lain karena beliau telah menghayati benar kepentingan-kepentingan rakyat,” seorang Pamong lain menyela.

“Dan di masa pembangunan ini,” sela lainnya, “proses kerja akan terbengkalai jika harus dipakai untuk tetek bengek menampung sekian ribu pikiran, sedangkan jelas wawasan mereka umumnya sempit dan pendek.”

“Okey..Okey. Teruskan.“

“Mereka telah berfikir tidak cermat. Mereka mengecam tindakan Bapak menutup mulut mereka.“

“Mereka belum mampu menangkap makna kebenaran dibaliknya,“ Sahut salah seorang Pamong.

“Mereka masih melayang-layang. Belum praktis dan realis.“

“Mereka tak membayangkan betapa mubadzir waktu kita jika disia-siakan buat menampung pemikiran-pemikiran tak matang.“

“Teruskan!“

“Meraka menuduh Bapak memelihara kebodohan rakyat.“

“Itu gila. Hitung berapa banyak Bapak kita mengirim Guru-guru dan membikin ruang belajar. Tapi para pemuda itu, yang merasa pinter, belajar bersatu saja pun tak becus. Coba lihat, bukankah mereka selalu pecah belah? Bapak berusaha mempersatukan mereka, mereka menolak karena menganggap itu pengkotakan. Ini betapa sempit. Bukankah persatuan memang adalah kotak yang bulat? Kalau pengaturan persatuan dilangsungkan dari rumah Bapak, jelas wajar, karena apa akan diurus dari tengah sawah?“

“Terima kasih. Terima kasih,“ sahutku.

“Teruskan.“

“Mereka bilang tangan komando kepentingan Bapak merupakan panglima dari semua kegiatan kampung. Mereka menuduh segala sarana kegiatan yang kita selenggarakan dilatarbelakang oleh kepentingan kekuasaan Bapak.“

“Itu penglihatan’ yang rabun!“

“Belum menembus lapisan-apisan permasalahan!“

“Kecurigaan yang tidak sehat!“

“Belum memahami logika dari ide persatuan dan belum mendalami penjabaran-penjabaran suatu falsafah!“

“Cukup,“ aku memotong.

“Teruskan.“

“Yang prinsip kukira hanya itu, Bapak. Selebihnya kami hanya mencatat tindakan-tindakan mereka yang sepihak setiap kali melihat ada kekurangberesan keadaan rakyat. Mereka selalu mengalamatkan kesalahan kepada Bapak tanpa menyediakan kasadaran bahwa di dalam kerja besar, keadaan-keadaan tidak jarang kelihatan terbalik. Kemudian terakhir, perihal upah dan kesempatan materiil yang Bapak dan para Pamong peroleh, mereka belum menghayati secara mendetail, betapa jasa-jasa kita sesungguhnya belum bisa dihargai oleh seluruh kekayaan kampung ini pun.“

“Tentang hal yang terakhir ini, bagaimana hasil pengorbanan kita dengan membagi sedikit kepada mereka agar tidak terus-terusan mengganggu laju pekerjaan kampung kita?“

“Hanya sebagian saja. Banyak yang lainnya menolak. Dalam hal ini hamba mengkhawatirkan Tuhan akan murka. Sebab sadaqah kita yang kita berikan kepada anak-nak muda yang belum punya jasa apa-apa, artinya belum berhak menerima imbal, salah-salah bisa merupakan pengeluaran yang dobel mubadzir.“

“Aku mengerti. Tapi mudah-mudahan Allah pun maha mengerti betapa serba terjepitnya kita dalam melaksanakan pembangunan kampong ini.”

“Tetapi yang penting sekarang, buktikan sekali lagi sikap kalian kepada kebenaran pemerintahanku. Sesudah itu baru kutunjukan kepada kalian apa-apa kebijaksanaan baruku.“

Parnong-pamongku bersujud bersama-sama.

“Demi Allah yang Maha Jeli akan setiap kebenaran, kami semua bersumpah tunduk patuh di bawah telapak tangan Bapak yang teramat bijak!“

Lainnya

Mimpi Setiap Orang

Mimpi Setiap Orang

Aku melihat mendadak di langit muncul makhluk aneh yang amat besar, membawa terompet yang juga amat besar ukurannya, mengumandangkan suara ke segala penjuru bahwa Tuhan telah menutup pintu-Nya!

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Jimat

Jimat
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Podium

Podium
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Stempel

Stempel
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Ijasah

Ijasah
Exit mobile version