CakNun.com

Kenapa “Budaya” Itu Penting

Esai ini terhimpun dalam buku Emha Ainun Nadjib, Sedang Tuhan Pun Cemburu
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Salah satu pengertian “budaya” ialah tingkat-tingkat mutu ekspresi manusia. Kalau seorang suami marah kepada istrinya atau seorang bapak kepada anaknya, kita bisa mengukur tingkat kualitas budaya mereka dengan cara melihat pola ekspresi atau “cara marah” mereka.

Suami dan bapak itu mungkin misuh dan memaki-maki. Atau membanting gelas, memecah kaca, atau bahkan memukuli orang yang dimarahinya. Atau mungkin mereka mengendalikan tenaga amarahnya, mengendapkan inti permasalahan yang membuatnya marah itu, kemudian mengungkapkannya melalui cara-cara yang lebih halus. Misalnya, mencari kesempatan untuk mengajak istri atau anak untuk berdialog, merundingkan persoalan, dan bersama-sama mencari dan menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan problemnya.

Cara yang bermacam-macam untuk marah mengindikasikan taraf kedewasaan budaya seseorang.

Dalam khazanah kebudayaan Jawa, ciri khas “kaum priayi” adalah kesanggupannya untuk mengendalikan segala macam emosi yang menggejolak di dalam jiwanya. Ekspresi budaya seorang priayi yaitu mengandalkan kehalusan. Untuk melihat mereka marah, jangan ditunggu kapan ia membakar rumah, memasukkan tinja ke dalam sumur, atau mengamuk sejadi-jadinya; melainkan barangkali cukup melihat roman wajahnya, sorot matanya, atau segala kandungan implisit di balik perilaku yang seolah-olah tidak marah.

Dengan memberi contoh tentang “priayi” ini tidak dengan sendirinya saya sedang mengidentifikasi tingkat budaya tinggi dengan kadar kepriayian. Yang ingin saya tekankan adalah etos kedewasaan sebuah kepribadian yang termuat — pada aslinya pada kriteria budaya kepriayian. Namun, kita telah ketahui bersama dalam praktik kebudayaan Jawa, etos priayi itu telah mengalami pergeseran, distorsi, bias, bahkan lebih identik dengan dimensi-dimensi feodalistis dan peletakan hubungan antarmanusia secara stratifikatif. Karena itu, sekali lagi, tekanan saya adalah pada proses-proses kualitatif ekspresi manusia yang menunjukkan kematangan budayanya.

Harus diingatkan juga bahwa pola ekspresi itu sebagai indikator budaya manusia dan masyarakat, hanya salah satu dimensi belaka dari pengertian tentang budaya dan kebudayaan.

Pada kesempatan lain tentulah kita memerlukan uraian-uraian yang mengupas dimensi-dimensi lain.

Suku Asmat di Papua, ketika salah seorang warga mereka meninggal dunia, mereka menangis dengan puisi. Mereka meraung-raungkan syair yang musikal selama tiga hari tiga malam. Mereka memiliki pola dan kadar keberbudayaan tertentu, dan muatan syair duka mereka sama sekali tidak kalah dari hasil karya para manusia beradab yang telah mengenal agama-agama dan ilmu pengetahuan modern. Kita diajarkan untuk tidak bersikap arogan atau memandang rendah mereka hanya karena pakaian dan peralatan hidup mereka sehari-hari kita anggap primitif sebab kadar keberbudayaan mereka lebih ditentukan untuk pola dan muatan ekspresinya.

Ketika Rasulullah Muhammad SAW dilempari batu dalam perjalanan dakwahnya di Ethiopia, beliau pulang sambil mengucapkan doa yang sangat puitis dan menunjukkan tingkat budaya yang berkualitas tinggi. Saya pribadi selalu langsung “mengkritik” dan mengambang air mata saya setiap kali mengucapkan doa Rasul tersebut.

Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib dijepit oleh sayap kekuatan Muawiyah yang membelot serta ditikam dari belakang oleh kaum Khawarij, beliau senantiasa bersujud mengucapkan doa-doa yang penuh kedewasaan, kearifan, kelembutan, keadilan nurani, serta mencerminkan kepribadian beliau sebagai seorang demokrat sejati yang mengambil posisi moderat demi memelihara “ukhuwah”.

Cara kita semua marah, cara kita bergembira dan bersedih, cara kita berdagang, cara kita menjalani lalu lintas perpolitikan, cara kita memimpin masyarakat dan negara, sesungguhnya mencerminkan tingkat mutu budaya kepribadian kita. Ketika kita menjalani mekanisme konglomerasi ekonomi yang steril dari nurani keadilan sosial, ketika kita menyelenggarakan kepemimpinan sosial politik yang terpusat pada egosentrisme dan subjektivisme diri maupun kelompok, serta ketika kita menjalankan roda keagamaan dengan sikap “benar sendiri” dan “menang sendiri”, sehingga keahlian kita adalah menajis-najiskan dan membuang orang yang kita anggap kotor sesungguhnya memantulkan lain yang tingkat keberbudayaan kita.

Bisa saja kita berperan sebagai pemimpin negara yang dipuja-puja karena kepakaran strategis dan taktis, atau sebagai pemuka sosial, pemuka kaum beragama yang dijunjung-junjung: ternyata dalam perspektif budaya kita masih menyimpan kadar-kadar budaya primitif yang serius, tetapi tidak kita sadari.

Anak-anak kita begitu lulus ujian akhir langsung mendemonstrasikan cara-cara kurang berbudaya untuk bergembira dan bersyukur. Mereka mencoret-coret baju mereka, berpesta pora, minum-minuman keras, atau bahkan berkelahi satu sama lain.

Renungkanlah: untuk bergembira saja mereka tidak mampu menemukan bentuk yang pas dan pantas. Renungkanlah, betapa kita telah gagal mendidik anak-anak kita tentang bagaimana cara bersyukur yang berbudaya.

Itu sekadar contoh soal kecil. Kita pun tahu bahwa kadar-kadar budaya primitif anak-anak kita itu sesungguhnya sekadar merefleksikan muatan-muatan primitif kita sendiri — yakni kaum tua di negeri ini — dalam menangani realitas sosial, memanajemen politik, ekonomi, dan hukum, serta nilai-nilai kehidupan lainnya yang mendasar.

Oleh sebab itulah, sering kita mendengar bahwa “kesenian itu gunanya untuk mengasah hati nurani dan kehalusan budi”. Dua hal itu merupakan nukleus dari “budaya”.

Semoga tulisan ini bisa mengatur kita semua ke dalam ajang untuk melatih, mengasah naluri dan kehalusan budi kita di tengah gegap gempita zaman yang semakin penuh primitivitas dan kebinatangan.

Malioboro, Rabu Legi, 21 Agustus 1991

Lainnya

Topik