CakNun.com

Keindonesiaan sebagai Dasar Cara Berpikir

Liputan Sinau Bareng “Kebangsaan dan Kenegarawanan”, DPP PDI Perjuangan, Masjid At Taufiq, Lenteng Agung, Minggu 10 April 2022, bagian 1
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 6 menit

DPP PDI Perjuangan menggelar Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng dengan tema “Kebangsaan dan Kenegarawanan” pada Minggu malam, 10 April 2022, bertempat di komplek Masjid At Taufiq dan Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan di Lenteng Agung Jakarta.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Seperti dikatakan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto kepada para wartawan saat Buka Bersama menjelang acara, Sinau Bareng ini diselenggarakan atas inisiatif dan keinginan langsung Ibu Megawati Soekarnoputri yang sudah tiga tahun lamanya mengharapkan Cak Nun bisa hadir di DPP PDIP.

Selain mengundang masyarakat umum, Sinau Bareng ini dihadiri para pengurus dan kader PDIP se-Jabodetabek. Usai shalat tarawih, lokasi acara sudah dipenuhi hadirin dan jamaah yang hendak mengikuti Sinau Bareng ini. Tak berselang lama kemudian Cak Nun datang, dan acara langsung dimulai tanpa MC, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada Cak Nun dan KiaiKanjeng. Beberapa saat kemudian Mbak Puan Maharani menyusul datang dan langsung naik ke panggung duduk bersama Cak Nun.

Sejak awal menyapa hadirin dan jamaah, Cak Nun mengajak mereka semua untuk bersyukur dan bermesraan bersama, mencari ilmu bersama, tidak ada ceramah, tidak ada tausiah, tidak ada fatwa-fatwa, yang ada adalah fatwa bersama, sebagai hasil musyawarah random bersama. Cak Nun mengatakan, “Para malaikat datang di atas atap-atap, di sisi kiri dan kanan, di sela-sela Anda. Banyak malaikat yang hadir, karena kita berniat suci malam ini. Kita berniat tulus untuk seluruh bangsa Indonesia. PDIP itu ada untuk Indonesia, bukan Indonesia ada untuk PDIP”.

Mbak Puan Maharani mengamini apa yang baru saja disampaikan Cak Nun. Mindset berpikir keindonesiaan ditanamkan Cak Nun untuk menjadi keberangkatan dan landasan acara Sinau Bareng kali ini yang boleh dikatakan merupakan momentum langka di mana Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di basecamp PDIP yang merupakan partai politik besar di Indonesia. Cak Nun terus mengajak hadirin mentransformasi kesadaran, “Malam ini bukan acara PDIP untuk PDIP, bukan acara untuk kepentingan praktis dan kekuasaan, melainkan ini adalah acara kebersamaan rakyat dan bangsa Indonesia.”

Kepada semua hadirin, Cak Nun menyampaikan bahwa yang punya hajat acara ini dan yang mengundang saya adalah Ibu Megawati Soekarnoputri yang niatnya bukan untuk PDIP tetapi supaya PDIP bisa belajar lebih meng-Indonesia. Karena itu, pada awal acara, Cak Nun mengajak semua yang hadir untuk mensyukuri Indonesia, bergembira karena dan untuk Indonesia. Semua diajak berdiri, dan bersama-sama menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya diiringi KiaiKanjeng.

Selepas lagu Indonesia Raya, Cak Nun mengingatkan pentingnya melampaui logika kelompok dengan mengatakan secara lugas, “Kalau saya masuk kandang Banteng, apa lantas saya menjadi Banteng. (Tidak!). Apakah Bantengnya menjadi saya? Tidak juga kan? Jadi, kalau saya masuk PDIP, meskipun yang mengundang Ibu Megawati sebagai pribadi dan sebagai tokoh nasional, apakah saya pro PDIP? (Tidak!). Pro saya adalah pro kesejahteraan rakyat Indonesia. Jelas ya. Saya mau menemani PDIP atau kelompok lain siapapun sepanjang mereka berjuang untuk seluruh rakyat Indonesia.”

Menurut Cak Nun, masalah di Indonesia yang pertama-tama adalah cara berpikir. Cara menginjakkan kaki. Cara meletakkan diri. Kalau hal ini salah, maka akan banyak dampaknya, dan ini ada hubungannya dengan tema kebangsaan yang akan dibahas dalam Sinau Bareng. Namun, sebelum ke sana, sesudah me-remind pentingnya menegaskan keindonesiaan dalam cara berpikir para hadirin, Cak Nun juga ingin memastikan sikap hati mereka yakni untuk punya kesadaran bekerjasama alih-alih bermusuhan, bermesraan alih-alih bertengkar satu sama lain. Jika sepakat saling membahagiakan, syaratnya adalah, “Berarti hatimu harus terbuka. Harus punya rasa pengayoman. Harus punya toleransi satu sama lain. Jembar, nyegoro, dan mensamudera.”

Foto: Adin (Dok. Progress)

Berkaitan dengan soal hati ini, Cak Nun ingin agar para hadirian dan jamaah melantunkan takbir tetapi dengan cara dan pemahaman yang berbeda. Kita dipandu untuk mengucapkan kalimat thayibah sesuai dengan konteksnya. Jika bersyukur mendapatkan sesuatu, ucapannya adalah alhamdulillah. Jika menyesali suatu perbuatan dan meminta ampun kepada Allah, ucapannya adalah astaghfirullah. Bagaimana dengan Allahu Akbar? Allahu Akbar diucapkan lantaram sedemikian kagum kita kepada agungnya ciptaan-Nya dan begitu mendalam makna Allah di dalam hati kita. Namun, bagaimana gerak badan yang cocok untuk mengekspresikannya?

Menurut Cak Nun, Allah sudah memberikan contoh melalui gerak shalat. Saat takbir awal kedua tangan diangkat seposisi dengan kedua telinga dan telapak tangan menghadap ke depan. Setelah diangkat lalu pelan-pelan diturunkan dan kedua tangan mendekap di bawah dada. “Allah akbar adalah kesadaran ke dalam dirimu. Anda mendalami kekaguman Anda kepada Allah dan ciptaan-Nya. Engkau memasukkan kata Allahu Akbar ke dalam jiwamu, maka gerakannya seperti dalam shalat. Jadi Allahu Akbar itu kontemplatif. Merenung. Bukan nantang-nantang atau pamer, atau sombong, tetapi kita sedang menyadari betapa dahsyat ciptaan Allah dan rahmat-Nya.”

Jauh dari berteriak, kemudian Cak Nun dengan suara pelan dan lembut mengucapkan takbkir, dan para hadirin mengikutinya dengan cara seperti diterangkan Cak Nun tadi. Pelan dan lembut. Sekali lagi Cak Nun menegaskan takbir adalah perjalanan ke dalam jiwa dan letaknya ada di dalam hati. Allahu Abkabr bukan alat untuk mengancam atau pamer kepada orang lain.

Setelah meneguhkan keindonesiaan sebagai dasar cara berpikir, utamanya dalam melihat acara Sinau Bareng malam itu, serta mengungkapkan pentingnya hati yang lembut dan berjiwa pengayoman melalui pemaknaan baru atas kalimat thayibah Allahu Akbar, Cak Nun mulai masuk ke beberapa sisi yang menarik disentuh dari khasanah PDIP. KiaiKanjeng diminta membawakan suatu nomor musikal, yang terbagi dua bagian. Bagian kedua ini dijadikan kuis. Siapa bisa menebak judul lagunya, sebuah peci Maiyah sebagai hadiah sudah disiapkan Cak Nun.

Lagu dibawakan KiaiKanjeng. Opening-nya berjudul Parados, kemudian lagu bagian kedua yang menjadi kuis. Semua menikmati, tetapi sambil mulai menerka-nerka lagu apakah ini. Ketika selesai beberapa orang maju. Garuda Pancasila. Bukan. Rayuan Pulau Kelapa dan Maju Tak Gentar. Bukan. Dari Sabang Sampai Merauke. Bukan. Mars PDI Perjuangan. Mbak Puan dikonfirmasi Cak Nun dan jawabannya: bukan. Seseorang kemudian menyebut: Marhaen Indonesia. Dan jawabannya benar. Dia ditanya apakah hapal lagunya, dan dijawab insyaAllah hapal. Cak Nun meminta dia menyanyikan dengan diiringi KiaiKanjeng. Dengan penuh semangat Ia menyanyikannya dengan kaki penuh hentakan dan tangan kanan diangkat ke atas. Cak Nun mengingatkan khasanah sejarah, Marhaen adalah orang kecil/wong cilik yang dijumpai Bung Karno dan kemudian dijadikan lambang rakyat jelata Indonesia.

Selesai lagu Marhaen Indonesia dinyanyikan Cak Nun memberikan hadiah peci Maiyah kepadanya, dengan dikenakan langsung di di kepalanya. Cak Nun menggoda, kalau masih butuh hadiah, bisa meminta hadiah kepada Mbak Puan. Lalu dia menjawab dengan sepenuh hati, “Hadiahnya saya minta jaga Indonesia untuk anak-cucu.”

Masjid At Taufiq yang dibangun dengan desain arsitektur nusantara yang indah khas juga mendapatkan perhatian Cak Nun. Beliau mengapresiasi Mbak Puan yang membangun masjid At-Taufiq ini untuk mengenang jasa ayahandanya yaitu Bapak Taufiq Kiemas. Dengan menyitir hadis Nabi tentang jika seseorang meninggal dunia, akan terputus amal-amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan kedua orangtuanya, Cak Nun mengatakan jangan dikira seseorang yang sudah meninggal lantas sudah selesai, karena dia masih punya jasa. Masjid ini dibangun untuk mengenang dan meneruskan jasa Pak Taufiq Kiemas.

Dari nama masjid ini yang diambil dari nama alm. Pak Taufiq Kiemas, Cak Nun melontatkan kepada hadirin apa kira-kira arti kata Taufiq. Biasanya ia dirangkai dengan Hidayah. Taufiq dan Hidayah. Beberapa menyahut dengan melontarkan jawabannya, tetapi tampaknya belum mendekati pemahaman yang hendak disampaikan beliau. Apa kira-kira arti Taufiq? Menurut beliau, Anda disebut mendapatkan Taufiq apabila Anda berbuat buruk dan Allah menghalangi Anda, serta ketika Anda berbuat baik, Allah memudahkan Anda. “Jadi, kalau PDIP mudarat bagi Indonesia, maka akan dihancurkan oleh Allah, dan jika PDIP maslahat bagi Indonesia, maka akan dihidupkan dan diberi jalan yang lancar,” tegas Cak Nun.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Setelah menjelaskan makna Taufiq, para hadirin dan jamaah diajak kembali mengindonesiakan diri dengan rasa, dhouq, hati, dan jiwa. Mbak Puan ditemani para vokalis KiaiKanjeng diminta ikut bernyanyi pada nomor crosscomposition berjudul Medlei Nusantara. Nomor ini berisi lagu-lagu dari berbagai wilayah Nusantara. Ada lagu Tanar Airku. Ada musik Bali. Ada Mars Sriwijaya. Ada lagu Jawa. Dan lagu-lagu daerah lainnya. Asiknya ketika Medlei ini dibawakan, sekitar sepuluh remaja putri yang nanti akan mempersembahkan Tari Saman, secara spontan masuk ke depan panggung, dan langsung menghadirkan gerak tari menyesuaikan dengan setiap bagian lagu Medlei Nusantara. Ketika berpindah dari satu lagu ke lagu lain, mereka juga mengubah gerak badan mereka. Semuanya terasa indah. Mereka dengan penuh semangat dan kebahagiaan membawakannya.

“Ini lho Indonesia. Indahnya seperti ini. Apa kita pernah latihan bersama, bergabung latihan bersama teman-teman penari ini? Tidak. Mbak Puan, tanpa latihan, tanpa rencana, spontan, Indonesia mampu menciptakan keindahan luar biasa. Kuncinya bukan pada kehebatan, bukan pada keahlian. Kuncinya adalah hati yang tulus dan kesediaan untuk bersama satu sama lain,” kata Cak Nun menjelaskan makna gamblang atas keindahan kebersamaan yang barusan terjalin antara KiaiKanjeng dan remaja-remaja putri penari Saman ini, serta tentu saja interaksi aktif dari para hadirin.

Tanpa terasa selama satu jam awal ini, Cak Nun telah menancapkan kesadaran keindonesiaan tidak hanya melalui pendekatan pemikiran tetapi melalui rasa hati dan keindahan. Mbak Puan di atas panggung dan beberapa pimpinan PDIP yang duduk lesehan di sisi kanan panggung, Pak Hasto, Prof. Hamka Haq, dll, semuanya menikmati dan menyerap wawasan berpikir dari Cak Nun dan lahirnya kegembiraan dalam Sinau Bareng ini. Suasana Sinau Bareng berlangsung dengan enak, enjoy, antusias para hadiri dan jamaah, tetapi padat ilmu. (Bersambung).

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version