Kedaulatan dan Penerimaan
Apa yang paling saya ingat, yang saya dapat dari Maiyah, dari Mbah Nun, adalah pelajaran soal kedaulatan diri. Bahwa hanya kepada Allah-nya lah seseorang pantas bergantung. Bahwa seseorang harus merdeka dari apapun yang ada di luar dirinya, dari dunia berikut isinya. Seorang harus juga merdeka, terutama, atas dirinya sendiri, atas tubuhnya sendiri, atas pikirannya sendiri. Saya, sebisa-bisanya, menanamkan hal ini pada diri saya sendiri. Karena hari ini, seperti kata Mbah Nun dalam salah satu tulisan beliau, kita semua sedang mengalami apa yang beliau sebut sebagai krisis kedaulatan diri.
Itu pelajaran yang pertama. Pelajaran nomor dua dari Maiyah, yang benar-benar coba saya tanamkan kepada diri saya sendiri sampai saat ini adalah soal penerimaan, penerimaan kepada apa-apa yang sudah terjadi.
Bahwa semua hal yang sudah terjadi adalah atas izin Allah, dan tentu saja, Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Meskipun, kerapkali kita menemukan kesulitan-kesulitan dalam memahami pesan apa yang sedang Allah sampaikan lewat kejadian-kejadian tersebut.
Maka sebenarnya, keterbatasan kita dalam memahami pesan Allah itulah yang menyebabkan kita tidak mampu untuk menerima suatu peristiwa yang telah terjadi. Kematian orang terdekat dan bencana-bencana yang lain, sering menjadi contoh kasus dalam hal ini.
Mungkin kita yang luput dari pesan Tuhan tersebut. Mungkin kita yang kelewat bodoh untuk memahaminya, sehingga kemudian perasaan kufurlah yang muncul di benak kita, bayangan ketidakadilanlah yang kita sematkan kepada Allah kemudian. Memang tidak mudah untuk istiqamah, tetapi pantaskah seorang hamba untuk mempertanyakan keputusan Tuhannya?
Tabik kagem Mbah Nun, dari saya, satu dari sekian Jamaah Maiyah, yang mendaku diri sebagai anak-cucu Simbah. Matur nuwun sanget kagem Mbah Nun, matur nuwun sanget. Mugi Mbah Nun kaliyan sedaya Jamaah Maiyah langgeng pinaringan kesaenan saking Gusti Pangeran.