CakNun.com

Kecerdasan Masyarakat Maiyah Menghadapi Balon, Mercon, dan Lampion Politik

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 5 menit

Saya menulis esai ini dengan mengaplikasikan ayat-ayat dalam surat Al-‘Ashr atau Wal’ashri. Dalam konteks ini ayat-ayat tersebut saya tadabburi (tadabbur sebagai salah satu bentuk aplikasi ayat) sebagai berikut. 1, Demi waktu, sumber segala momentum penting dalam kehidupan manusia. 2, Sesungguhnya manusia yang tidak memanfaatkan momentum-momentum yang muncul dalam kehidupannya senantiasa berada dalam kerugian. Kerugian spiritual, kerugian material, dan kerugian kultural bahkan kerugian politik. 3, Kecuali manusia yang bisa memanfaatkan momentum-momentun dalam kehidupannya, dia tidak merugi dalam kehidupannya.

Image by MoiCitoyen from Pixabay

Ciri khas manusia yang tidak merugi adalah, pertama, dia beriman dengan iman yang teguh kepada Allah Swt. yang mengendalikan waktu dan momentum-momentum itu. Kedua, dia senantiasa produktif dengan amal shaleh, amal kebaikan dan perbaikan, amal perdamaian dan kedamaian dalam hidupnya. Ketiga, manusia yang tidak merugi senantiasa bersdia mengkomuikasikan dan berbagi melakukan ikhtiar share kebenaran dan kesabaran yang dia unduh dari dalam momentum-momentum itu.

Jadi, dalam momentum-momentum dalam waktu yang diciptakan Allah Swt. antara lain berbuah atau mengandung intisari dari kebenaran dan kesabaran. Inilah yang dikomunikasikan dan dibagikan oleh manusia yang tidak merugi itu. Dalam konteks ikhtiar menjadi manusia yang tidak merugi inilah saya menulis esai ini. Yaitu ketika bangsa Indonesia memasuki dan berada dalam momentum-momentum politik yang mendebarkan, mengasikkan, mencemaskan, mencerdaskan, dan juga bermakna menghibur ini.

Pada ‘tahun-tahun politik’ atau tahun menjelang pemilihan umum masyarakat dapat menyaksikan (menjadi saksi) dan menikmati (menjadi penikmat) apa yang disebut balon-balon politik yang diledakkan untuk mendeteksi respons masyarakat. Semacam test case yang unik, kadang menggemaskan dan kadang menyebalkan. Balon politik ini bisa dilontarkan ke udara oleh pengamat politik yang netral dan pengamat politik yang berpihak. Balon politik bisa juga dilontarkan oleh jagoan survei jajak pendapat dengan sampel yang sangat minim tetapi tersebar, berdasar ingatan kolektif jangka pendek dan dianggap representatif (bukan grounded research atau riset patisipatif untuk mendeteksi jejak budaya, jejak pikiran dan jejak nilai serta ingatan kolektif masyarakat mendalam dalam waktu relatif lama). Hasilnya nanti dicocokkan dengan quick qount waktu pemilu dan dicocokkan dengan penghitungan akhir suara pemilu.

Tentu karena berbasis analisis tren pendapat dari ingatan kolektif jangka pendek, maka hasil survei ini bisa cocok dengan quick count dan hasil akhir penghitungan suara, bisa pula tidak cccok dan tidak nyambung karena tiba-tiba muncul variabel tidak terduga yang mengintervensi proses-proses politik bernama pemilu ini. Variabel tidak terduga ini bisa muncul karena intervensi suprasutruktur dan superstruktur politik yang sering misterius kehadirannya selama ini.

Masyarakat juga dapat menyaksikan dan menikmati gaduhnya ledakan mercon-mercon politik yang kadang berbau fitnah politik, provokasi, propaganda, dan agitasi dengan menggarap isu usang, isu usang yang dikemas baru dan dibumbui baru atau isu baru yang diciptakan entah oleh siapa, yang efeknya dimaksudkan untuk mengagetkan orang. Mercon-mercon politik yang berledakan secara beruntun ini kadang demikian kerasnya sehingga bisa membuat ciut nyali, mendebarkan, menakutkan dan seperti mendatangkan efek teror tertentu karea diduga punya tujuan menjatuhkan mental politik bagi yang bermental kurang kokoh dan tangguh.

Sepertinya, diduga, ada semacam produsen mercon politik yang menerima order dari pengguna mercon dan membiayai proses produksi dan proses distribusi mercon politik ini. Distribusi mercon politik ini bisa dilangsungkan lewat perantaraan medsos atau media biasa atau saling mendukung antara medos yang online dengan media biasa yang offline. Mercon politik kadang diciptakan melalui penciptaan fakta keras, berupa peristwa-peristiwa yang potensial menjadi viral dan bertengger di ranking atas trending topic.

Setelah itu makin mendekati pelaksanaan pemilu maka masyarakat akan dapat menyaksikan dan menikmati pawai lampion politik yang indah yang bergerak di layar televisi dan bergerak-gerak di ruang medsos atau di ruang publik dengan menggunakan baliho dan spanduk serta poster. Lampion-lampion politik ini adalah iklan politik, iklan partai, iklan tokoh partai yang mencalonkan diri menjadi anggota parlemen, juga dilengkapi meme atau ringkasan dari barisan hasil survei yang sering tampak indah mempesona karena dilengkapi dengan lagu mars dan gambar kepala-kepala yang bersih, penuh senyum dan sorot matanya menjanjikan sesuatu yang asyik dan mengairahkan.

Ramalan-ramalan politik berdasar animasi atau permainan koalisi antar tokoh dan antar partai termasuk di dalam barisan lampion politik yang kadang menyegarkan. Ini fungsinya persis seperti musik intro sebelum pertunjukan dan pesta politik utama bernama pemilihan umum dimulai. Dengan mengetahui nada dasar dari music intro ini kita akan dapat mengetahui musik model apa yang segera dimainkan. Atau dalam pesta, ini menjadi semacam menu pembuka selera yang biasanya berupa sup atau salad. Biasa, sup karena dimasak dengan bumbu merica, maka ada pedas-pedasanya walau sedikit.

Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah berpenglaman lama menghadapi hadirnya balon-balon politik, mercon-mercon politik dan lampion-lampion politik ini. Khususnya sejak tahun 1971 ketika pemilihan umum dicanangkan sebagai peilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan rahasia di awal Orde Baru. Ini merupakan pemilihan umum kedua di Indonesia setelah pemilihan umum pertama di tahun 1955 yang disebut pemilihan umum paling demokratis dan berlangsung damai di Indonesia. Setelah 1955, tidak ada lagi pemilihan Umum. Pemilihan umum 1971 disusul pemilihan umum berikutnya sampai pemilihan umum tahun 1997 di masa Orde Baru diwarnai oleh tampilnya dan hadirnya balon politik, meron politik dan lampion politik.

Meski yang ikut pemilu hanya tiga partai tetapi suasananya juga mengasyikkan, atau kadang malah mendebarkan dan menakutkan. Setelah tahun 1998, setelah mundurnya Jenderal Soeharto sebagai Presiden, muncullah zaman atau era Pasca Orde Baru yang menggantikan Orde Baru yang muncul pasca Orde Lama. Selama pasca Orde Baru, tahun 1999 sampai hari ini bangsa Infonesia menganut sistem multipartai (yang kebanyakan merupakan pecahan atau diaspora tiga partai politik di masa Orde Baru) dengan pemilu semi distrik yang rumit (di era Orde Baru yang dipergunakan tiga partai dengan sistem pemilihan umm proporsional yang sederhana) dan jargon jujur adil bebas dan rahasia menjadi sayup-sayup nyaris tidak terdengar lagi.

Dan soal munculnya balon politik, mercon politik serta lampion politik, antara yang terjadi pada era Orde Baru dengan era Paca Orde Baru rasa-raanya jas bukak iket blangkon sama juga sami mawon riuhnya. Bentuk kemasan dan bumbu politiknya memang berbeda, tetapi esensinya sama. Balon politik, mercon politik dan lampion politik arahnya tetap dan tujuannya juga sama. Yaitu mengarahkan dan bertujuan untuk merayu agar masyarakat mau atau tetap memilih partai atau kelompok politik produsen balon politik, mercon politik dan produsen lampion politik sambil sekaligus secara halus atau kasar mengarahkan agar masyarakat pemilih jangan memilih yang lain. Kadarnya rayuan untuk memilih dirinya sendiri dan anjuran untuk tidak memilih yang lain ini bisa encer bisa pula padat dan kental sehingga bisa menimbulkan polarisasi politik yang akut di masyaakat.

Tentu masyarakat Maiyah perlu mencermati, mentadabburi, dan mendercasi akan munculnya balon-balon politik, mercon-mercon politik dan lampion-lampion poltik yang frekuensi kemunculannya bisa saja meningkat pada tahun 2022 ini, pada tahun 2023,dan pada tahun 2034 nanti. Berdasar pengalaman yang lalu, rasa-rasanya balon-balon politik, mercon politik dan lampion politik tidak ini tidak berdampak langsung atau menyebabkan secara langsung naiknya kesejahteraan masyarakat, kemakmuran rakyat, keadilan publik. Hadirnya balon politik, mercon politik dan lampion politik ini tidak berdampak pada turunnya harga kebutuhan pokok rakyat, cenderung tidak atau kurang memakmurkan rakyat, tidak membuat dagangan pegusaha kecil laris dan tidak atau kurang mengenyangkan perut rakyat. Entah kalau bukan rakyat. Bahasa musik dangdutnya; yang lapar makin lapar, yang kenyang makin kenyang, begitu sepertinya.

Mengapa? Sebabnya sederhanya. Karena balon politik, mercon politik, dan lampion politik basisnya adalah wacana dan kata-kata bukan aksi nyata, teori yang dihias dengan warna-warni narasi politik dan argumentasi politik. Pendeknya, semua cenderung merupakan karya dari proses artifisialisasi kehendak politik dan artifialisasi slogan-slogan politik. Jadi intisari dari balon politik, mercon politik dan lampion politik bukan praktik, bukan solusi langsung, bukan ekspresi cinta, bukan mekanisme menolong dan menyantuni rakyat secara ekonomi dan budaya yang jujur dan nyata.

Oleh karena itu, masyarakat Maiyah yang sudah dicerdaskan dan didewasakan lewat pengajian, pertemuan dan dialog serta aksi sosial ekonomi mandiri di lapangan dan terbiasa menolong diri sendiri tentu tidak perlu kagetan, tidak perlu gumuman, tidak perlu bingungan, jika sebentar lagi menyaksikan hadirnya dan munculnya begitu banyak balon politik, mercon politik, dan munculnya pawai barisan lampion politik. Masyarakat Maiyah, bisa menikmati semua itu, tentu tetap dengan berhati-hati, dengan penuh pecaya diri (iman) dan tetap selalu waspda (taqwa).

Yogyakarta, Akhir Mei 2022

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Puasa Adalah Dosis

Puasa Adalah Dosis

Selama weekend ini, saya lebih banyak berkomunikasi pasif dengan Cak Nun melalui YouTube.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version