Hati Yudhistira dan Mripat Srikandhi
Untuk mencapai karya-karya dalam Pameran ini, Uswanto (Dik Us, demikian saya memanggilnya sejak tahun 1976) melewati, menelusuri, memperjuangkan, memprihatini, mengasyiki dan mengikhlasi 5 jalanan berikut ini:
Pertama, mendapatkan perkenan anugerah, gift, bakat, keistimewaan dari Yang Punya Kehidupan dan Yang Maha Pemurah. Tidak seorang manusia pun yang tidak dilimpahi anugerah itu dalam berjuta macam jenis, ragam, bentuk, dan wujud. Tetapi Dik Us dilimpahi anugerah itu dengan kualitas yang khusus dan level atau kadar yang tinggi.
Tentu banyak perupa lain yang punya skill atau kemampuan yang sama sekali tidak di bawah Dik Us, tetapi untuk mewujudkannya menjadi karya 400 gambar wajah, belum tentu memenuhi kelengkapan-kelengkapan multi-dimensional persyaratannya.
Kedua, perjuangan sangat Panjang untuk menemukan, merasakan dan menyadari keistimewaan itu di masa kanak-kanak dan remaja. Kemudian menerapkannya, menyemainya, menumbuhkannya, menyiraminya, menekuninya, mengkhusyukinya, mensyukuri dan menikmatinya di masa dewasa.
Negara, Industri dan peradaban mendorong kebanyakan manusia tidak terutama untuk mewujudkan anugerah itu, melainkan terangsang, terjebak dan tergiring untuk bergerak menuju pencapaian-pencapaian keduniaan yang diming-imingkan oleh peradaban Negara dan Industri.
Ketiga, kesehatan lahir, yang berlangsung, terjaga dan terpelihara secara prima hingga puluhan tahun sampai usia menjelang tua. Kalau tangan gemetar sedikit saja, apalagi sampai tremor, mustahil gambar wajah seperti di Pameran ini bisa diwujudkan. Kalau ketajaman pandangan mata tidak cling, tidak akurat, akan tidak ketemu detail-detailnya, bahkan mungkin perspektif pun tidak presisi.
Di akhir era 1970-an saya kost bersama seorang pelukis. Ketika dia manggambar wajah, sebagaimana yang kita saksikan di Pameran itu, iseng-iseng saya turut pegang potlot atau pensil. Tentu saja atas izin yang bersangkutan. Ternyata saya kemudian merusak gambar wajah yang sedang diproses oleh teman saya itu. Mengubahnya dan merusaknya dari tersenyum menjadi mencureng, dari segar menjadi kumuh. Padahal saya hanya menggoreskan ujung potlot di bagian yang sangat kecil, yakni ujung bibir kanan dan kiri.
Syukur perusakan yang saya lakukan itu akhirnya dibenahi oleh perupanya. Malamnya saya ajak dia makan di warung yang agak lebih tinggi levelnya dan agak lebih mahal harganya.
Keempat, kesehatan batin, yakni faktor yang menentukan muatan-muatan di pusat kehendak jiwa manusia, hati, nurani, sanubari, yang segala hasil gambar dan lukisan, alirannya, jenisnya, intensitas dan kualitasnya — bahkan segala peta konstelasinya dalam kesenian dan kebudayaan — sehakikinya berasal dari pusat kehendak itu di lubuk batin perupanya sebagai manusia.
Kalau Anda menggambar wajah seseorang yang Anda marah atau benci kepadanya, maka hasilnya akan jauh dari kemurnian dan obyektivitas visual maupun estetiknya. Jadi Dik Us sesudah puluhan tahun mengalami bermacam-macam hal dalam hidupnya, setelah puluhan tahun bergaul dengan semua seniman handai taulannya, bisa dipastikan bahwa Dik Us berada dalam ketulusan batin tatkala secara sangat telaten dan teliti menggambar satu persatu ratusan wajah-wajah ini. Tidak akan berlangsung Pameran ini kalau Dik Us tidak memprosesnya dengan ketulusan dan cinta kepada mereka semua yang digoreskan garis-garis keindahannya ini.
Kelima, karya-karya Dik Us yang dipamerkan ini bukan sekadar produk dari bakat, keterampilan dan ketelatenan dalam mengerjakannya. Ia juga lahir dari ketulusan batin, jiwa bebrayan, kasih sayang kebersamaan dengan sapadha-padha atau sesama manusia bahkan sesama makhluk Tuhan. Karya-karya ini tidak lahir dan tidak mungkin diwujudkan kalau penggoresnya, penggambarnya, pelakunya, tidak lulus untuk mandiri dan merdeka jiwanya sebagai manusia.
Dik Us tidak menggambar hanya seniman-seniman satu “geng”-nya saja. Seniman-seniman balane dewe kabeh. Seniman-seniman yang se-”kubu” dengannya, atau yang ia punya hubungan baik, yang satu kelompok atau jaringan. Dik Us mengerjakan dengan tulus dan dengan kemuliaan hati serta untuk semua, yang terkandung di muatan rohaniah judul tulisan ini.
Dik Us lulus untuk merdeka dan memelihara kemurniannya meskipun puluhan tahun didera oleh “konstelasi” di komunitas kaum seniman. Dikepung oleh dikotomi utara selatan, barat timur. Atau oleh polarisasi-polarisasi yang dikontaminasi oleh perbedaan latar belakang sosial, Agama, kelas-kelas, bias-bias informasi, komunikasi dan kegagalan-kegagalan sesrawungan, bebrayan dan silaturahmi di arena kaum seniman berbagai bidang. Disrimpeti oleh saling cemburu, iri, gagal dan salah paham, bahkan dengki dan benci.
Dik Us lulus dan lolos dari semua ragam permusuhan “Bharata Yudha” itu dan — meminjam idiom dan terminologi dari Romo Manu Widyaseputra – Dik Us sudah mencapai “hati Yudhistira” dan “mripat Srikandhi”. Bahkan Dik Us, sebagaimana seyogyanya dicapai oleh setiap pekerja seni: sudah melampaui zamannya.
Sekarang zaman ini sudah lepas dari era Bharata Yudha, di mana ada Pandawa ada Kurawa, ada perbenturan antar kekuatan, ada polarisan utara selatan barat timur, ada perang dingin global, ada kekuatan-kekuatan yang bersaing dan bertarung untuk meraih kekuasaan dan keunggulan. Kita sedang manapaki zaman “Pasca Bharata Yudha”. Apalagi mayoritas kelas pamong atau birokrat Pandawa sekarang sudah menjadi Kurawa, jauh dari kesucian hati Yudhistira, jauh dari mental ksatriya Arjuna, jauh dari keteguhan untuk benar dan baiknya Bima, jauh dari kelantipan, kewaskitaan dan kesetiaan Nakula dan Sadewa.
Era Bharata Yudha sudah pupus dan batal karena sudah hampir tidak ada Pendawa. Era Bharata Yudha sudah saatnya ditinggalkan oleh ummat manusia dan bangsa Nusantara. Oleh masyarakat, Oleh bangsa. Oleh ummat manusia di dunia. Terutama oleh kaum seniman, cendekiawan, agamawan dan siapapun saja, kalau mau menempuh perjalanan menuju keselamatan bersama.
Sekarang ini demi keselamatan masa depan bangsa, kita semua atau masing-masing sudah sangat urgen untuk memasuki era “darah putih Yudhistira”, setidak-tidaknya mengapresiasinya, memahami kembali, memaknai secara lebih jujur dan sportif.
Kita adalah Bangsa Brahmana, sehingga peninggalan-peninggalan fisik sejarah kita sangat sedikit yang merupakan lambang-lambang kekuasaan dan kemegahan, melainkan melimpah peninggalan-peninggalan yang bersumber dan bermuatan kebrahmanaan. Itulah bedanya Nusantara dengan Eropa atau Cina. Bahkan tidak mengutamakan polarisasi kekuasaan Ksatrya, apalagi degradasi Sudra yang sekarang masih merajalela. Mentalitas dan konstelasi Cebong-Kadrun sudah kadaluwarsa. Sekarang ini era “Mripat Srikandhi”, kehidupan di dunia tidak bisa diteruskan dengan menerapkan sentimen Kanan-Kiri, Lor-Kidul, gender dalam berbagai spektrum peradaban, “syarqiyah wa gharbiyah”. Bahkan dalam urusan Negara, Nusantara sudah saatnya “nyawijekke” seluruh eksistensi di muka bumi. Itulah pembelajaran utama menjelang 2024. Bukan seperti itu jiwa dan mental putra-putri Ibu Pertiwi.
Nusantara adalah Pusat Kemakmuran Dunia. Pulau Jawa adalah antena penyerap kesejahteraan dan berkah dari langit. Setiap praja atau pamongnya, siapapun dia, sudah saatnya masuk dan bergabung ke dalam “Manunggaling Kawula lan Gusti” dengan seluruh “breakdown” kenegaraan, kemasyarakatan dan spektrum-spektrum universalnya.
Sekurang-kurangnya kita yang berhimpun di ruang Pameran ini, bisa memulai suatu etos yang lebih sejati dan menyelamatkan masa depan kita bersama: bahwa pada akhirnya tema utama kehidupan ini bukan kehebatan, kekuatan, dan kekuasaan. Melainkan ke-nyawiji-an dan multikontribusi untuk melahirkan dan mewujudkan keindahan dan kebijaksanaan dalam kebersamaan.
Apa yang saya kemukakan di akhir tulisan ini, hampir bisa dipastikan akan ditertawakan, diremehkan, dianggap utopia atau khayalan, terutama oleh para abdi kehebatan dan kekuasaan. Itu sama sekali tidak masalah. Asalkan nanti jangat terkejut oleh kejutan zaman. Tatkala meniti hari demi hari mulai besok pagi — Anda tetap istiqamah dan ajeg “Aja kagetan, Aja gumunan, Aja dumeh, Aja Rumangsa Bisa nanging Bisa Ngrumangsani”.. ***
(Yogya 19 Juli 2022, Emha Ainun Nadjib).