CakNun.com

Hak Asasi Manusimon

Pengantar untuk buku Secubit Sakit, Sekulum Senyum, Amboi! Karya Simon HT
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit

Buku ini adalah taman surga jiwa kehidupan manusia, dengan ragam-ragam keindahannya, wujudnya, bentuknya, sistem ungkapnya, style-nya, nuansanya, multi-dimensinya, gelombangnya, dengan keseluruhan kesuciannya.

Kesucian?

Buku ini adalah Hak Asasi Manusimon. Manusimon, artinya, tidak atau bukan sebagaimana Manusia pada umumnya.

Hak bukanlah ‘kebolehan’ atau kemerdekaan untuk melakukan ini itu atau kebebasan untuk begini begitu yang dijamin oleh institusi otoritas dan ilmu yang disepakati di antara ummat manusia. Hak di dalam “Hak Asasi Manusimon” bukanlah sebagaimana yang dimaksudkan oleh pop-slang dan cultural gimmick “Hak Asasi Manusia” yang diterjemahkan dari idiom “Human Right”.

Hak dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “haqq” Bahasa Arab, tetapi diterjemahkan dan dipahami secara distortif dan disempitkan. Termasuk ketika kemudian dipakai untuk menerjemahkan “Human Right” menjadi “Hak Asasi Manusia”. Secara umum dipahami hak adalah semacam kebolehan, “mubah” atau kehalalan manusia untuk melakukan atau mendapatkan hal-hal tertentu dalam kehidupannya.

Hak” dengan batas pemahaman seperti itu bukannya salah, melainkan hanya merupakan bagian dari makna “haqq”. “Hak” hanya salah satu output atau outcome dari “haqq”. “Haqq” lengkapnya “haqqun”. Kalau orang bilang “haqqan”, artinya benar-benar. Kalau disebut “haqiqah” atau “haqiqatan” maksudnya sungguh-sungguh: benar pada level dikonfirmasi dengan “sumpah”.

Demikianlah pemaknaan dari Bahasa Arab, yang dipinjam oleh Bahasa Indonesia. Kalau tidak sepakat, Bahasa Indonesia silakan bikin kosakata sendiri untuk merumuskan maksudnya. Kalau mengambil dari khazanah Bahasa lain, ada ikatan tanggung jawab terhadap orisinalitas sumbernya.

Haqq” berarti benar sekaligus kebenaran. Haqq asasi manusia tidak sekadar kebenaran yang disandang atau terletak di dalam hakikat eksistensi dan wujud manusia, melainkan lebih dari itu: yakni pada “mengada”nya atau “diadakan”nya. Manusia adalah haqq itu sendiri, yang di dalamnya termuat konteks yang selama ini dimaksudkan oleh “hak asasi manusia”.

Haqq manusia adalah fakta yang paling vital yang dinisbahkan oleh Maha Penciptanya. Ia wujudiyah, esensial, substansial, hakiki dan sejati. Haqq manusia adalah kesejatian. Kesejatian adalah kemurnian. Kemurnian adalah kesucian. Kaum Muslimin mengenal “Idul Fithri”, maksudnya ujung pencapaian lelaku puasa di mana manusia kembali ke asasinya atau kefitriannya atau kesuciannya.

Maka memang haqq itu asasi. Asasiyah. Tanpa dikontaminasi oleh klenik ilmu dan budaya, tanpa diracuni oleh mitologi pengetahuan, merdeka dari gincu kebudayaan, takhayul peradaban, bahkan tidak dikontaminasi oleh takabbur-nya Negara, sistem-sistem dan ideologi-ideologi.

Saya mengenal dan berinteraksi serta berada di dalam hutan rimba bebrayan dengan Simon Hate hampir setengah abad. Dan saya mempersaksikan inilah buku kesucian jiwanya.

Simon mengatakan bahwa semula ia bermaksud menulis semacam autobiografi, kemudian menghapusnya dengan pertanyaan “Apa gunanya pengalaman hidupku bagi orang lain?”. Pada akhirnya yang ia tuturkan di hampir 300 halaman ini ternyata lebih dari riwayat hidup, dan itu semua amat sangat berguna bagi manusia yang “haq”-nya benar-benar manusia. Sangat bermanfaat bagi manusia yang asasiyah-nya adalah manusia, yang sanggup membebaskan dirinya dari racun-racun ilmu, pengetahuan, ideologi, kesombongan Negara dan “GR’-nya globalisasi. Bermanfaat bagi manusia yang berhasil mempertahankan lidah kemanusiaannya, sensor kejiwaan asasinya. Yang selamat merawat server, provider, dan receiver “haq asasi”-nya kemanusiaannya sebagaimana ia dulu diadakan oleh Maha Penyelenggaranya.

Yang saya agak cemaskan adalah jika buku dahsyat ini terbit di suatu era atau tercampak di rimbaraya kondisi zaman yang Tuhan merumuskannya “la yakaduna yafqahuna qaulan”, tatkala menceritakan tentang perjalanan Nabi Dua Tanduk (Dzulqarnain) tatkala di wilayah antara Cina dan Mongolia berjumpa dengan sebuah masyarakat korban penjajahan Ya’juj dan Ma’juj. Sehingga kondisi masyarakat itu menjadi “suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan”. Yang kabur setiap huruf, kata, dan kalimatnya. Yang susah paham, salah paham, gagal paham, tak mau paham, dan setiap kata menjelma fitnah pada kehidupan mereka.

Suatu bangsa yang belum siuman dari penjajahan Dajjal yang membolak-balik nilai kehidupan, yang menyesatkan manusia ke surga yang ternyata neraka, yang memperbudak mereka, menjadikan mereka tidak punya kedaulatan diri, tidak percaya diri, menjadi pekatik permanen dan malah bangga oleh kondisi itu. Jangankan siuman, bahkan mereka tidak mengerti bahwa sedang diperbudak (la yadri wala yadri annahu la yadri, alias Jahil Murokkab, bodoh kuadrat), datang pula Ya’juj Ma’juj yang adalah tikus-tikus got si pemakan segala, yang melakukan apa saja asalkan memberi keuntungan keduniaan, yang sekarang semakin menguasai keuangan dan tanah Nusantara.

Akan tetapi justru kondisi itu malah memperjelas kemurnian hidup Simon dan kesucian pemikirannya. Di buku ini para pembaca bisa mengembarai padang-padang luas pengetahuan dan thariqat ilmu: Demokrasi, Globalisasi, Neolib, Homo Sapiens Silikon dan Gadget, Ondel-ondel, Renaissans (Merampas Manusia dari Tangan Tuhan), Suryomentaraman, Pemerintah, Sawta, Itelijen, OTG, Piramida Keserakahan, Dehumanisasi, Teror Sukses, Raksasa Pembangunan, Ibu Peri, Eksplorasi Ilmu Pengetahuan dan Penaklukan atas Sesama Manusia, Hamba Tak Layak sebagai Budak, Animisme dan Nontheisme, dan bentangan-bentangan keluasan padang-padang sejarah dan hutan-hutan belantara nilai-nilai yang ditempuh oleh manusia.

Tetapi semua yang disebut itu digenggam oleh “khiththah” Simon sendiri tanpa dipengaruhi oleh berbagai macam racun sejarah. Semua nilai, ideologi, isme-isme, gerakan-gerakan sejarah dan semua dialektika dan romantika kehidupan ummat manusia, diolah secara Simon, dicara-pandangi, dispektrum-analisis-i, dimaintain dengan kesejatian alam pikiran Simon. Dikelola dan dipetakan oleh kesucian jiwa Simon.

Simon itu sangat manusia. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keluasan dan keterbatasannya. Keunggulan dan cacatnya. Sejauh dialektika pemikiran dan keberbudayaan yang saya alami dengan Simon, ia berjalan eskalatif dan progresif menuju kualitas “Ahsanu Taqwim” yang Tuhan rumuskan tentang penciptaan manusia, meskipun bisa saja orang mencari-cari faktor “Asfala Safilin” dalam kehidupan Simon, sebagaimana kepada dan pada kita semua.

Simon bukan aktivis atau pengikut aliran apapun dalam sejarah manusia. Simon bukan bagian dari padatan-padatan institusi sejarah masyarakat dan Negara. Di dalam banyak proses aktivisme, Simon adalah inspirator. Ia sumber ide dan gagasan. Ia menunjukkan titik, sisi atau dimensi yang kebanyakan orang di sekitarnya tak melihat dan menemukannya. Simon punya kejelian atau semacam anugerah “fathonah” untuk mencakrawalai suatu keadaan atau situasi yang orang-orang lain tak memperhatikannya. Simon adalah seorang Khalifatullah. “Sebiji” makhluk atau hamba yang menelusuri jalan di belakang punggung Tuhan sehingga menuju arah yang Tuhan meng-iradat-kan atau meng-amr-kannya. Simon suatu tipe unik pengikut Tuhan, yang menjalani hidupnya dan menyelenggarakan proses pemikiran dan penjiwaannya semata-mata berdasarkan yang Tuhan berikan dan tentukan atas eksistensi hidupnya. Simon penyetia “sunnatullah” dalam segala hal yang menyangkut mekanisme intrinsik dalam kejiwaannya.

Simon melampirkan sejumlah bahan bacaan, buku atau makalah, tetapi semua dijepit oleh jari-jari otentisitasnya sendiri. Muatan dari lembar-lembar kepustakaan yang ia sertakan semuanya bermakna secara Simon, dicakrawalakan secara keluasan pandang Simon. Ini bukan buku “akademis”, tetapi semua tulisan dalam buku sangat bertanggungjawab terhadap ilmu dan fakta kehidupan. Ini bukan jenis “buku ilmiah” tetapi seluruh tuturan Simon ini sangat mengilmui kehidupan, manusia, sejarah, dengan dinamika kesadaran ruang-waktunya.

Padatan-padatan “formal administratif” yang dikenal dan dinisbahkan oleh peradaban manusia, tradisional atau modern atau sesudahnya, tidak ada yang kompatibel untuk diterapkan pada “proses Ulul Albab”-nya Simon. Tidak ada satuan identitas, ukuran, parameter atau identifikasi yang dikenal oleh manusia sampai abad sekarang ini yang tepat untuk dijubahkan pada Simon. Ia pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM tetapi ia sama sekali bukan Sarjana, bukan Filosof atau Ilmuwan sebagaimana klise-klise gambaran umum. Simon puluhan tahun berkiprah dalam aktivisme sosial, pembangunan kemanusiaan, pembenahan pengelolaan sosial, tata ruang kemanusiaan dan kemasyarakiatan, tetapi Simon sama sekali bukan atau tidak stereotipikal dunia aktivisme atau keswadayaan masyarakat sebagai umum mengenalnya.

Sampai bahkan kiprah Simon juga kental, intensif dan progresif di dunia kesenian, sastra, puisi dan teater. Tetapi tata konfigurasi nilai yang tersedia oleh budaya kesenian, ilmu kesenian maupun peradaban kesenian yang ada sejauh ini — tidak akan mampu dan tepat untuk “membungkus” makhluk Simon.

Pada beberapa abad mutakhir dari kehidupan ummat manusia, terdapat berbagai mode, modus, sistem sosial, pola eksistensialisasi atau satuan-satuan progress kehidupan manusia. Ada pola yang outputnya adalah Sarjana, Doktor dan Profesor. Ada pola lain memproduksi pedagang, pengusaha, kapitalis atau konglomerat. Pola lain lagi menyodorkan kepada kehidupan produksi yang bernama Ustadz, Kiai Haji, Habib, Ulama atau bahkan Wali. Ada jenis mesin peradaban lain yang menghasilkan Artis, Selebritis, Seniman, Budayawan, bahkan kemudian Netizen, Buzzer, Youtuber dan macam-macam kelucuan lain. Saya pastikan Simon bukan semua itu dan ragam-ragam kostum identitas sampai era Milenial itu tidak ada yang bisa dikenakan oleh jasad kehidupan Simon, apalagi jiwa dan ruhnya.

Buku “Secubit Sakit, Sekulum Senyum, Amboi!” ini adalah “University of Simon Hate”. Adalah taman (Jannah, sorga) hamparan luas ilmu, pengetahuan dan hikmah yang mungkin tidak semua jenis dan level ilmu dan kerohanian manusia bisa mengaksesnya, menelurusinya, mengembarainya. Perlakuan yang paling mudah terhadap buku ini adalah tidak membacanya, meremehkannya, mencuekinya, take it for granted. Demi meneguhkan bahwa kita adalah masyarakat dan bangsa yang “la yakaduna yafqahuna qaulan”,

Akan tetapi pada suatu larut malam di Kadipiro, Markas Maiyah, Simon bertutur panjang tentang Nabi Muhammad Saw. Mengemukakan dimensi pandang, cakrawala analisis, ketajaman terhadap koordinat-koordinat nilai ke-Muhammad-an, yang selama lebih setengah abad belum pernah saya mendengar buah-buah tuturan semacam itu dari ilmuwan Muslim manapun, Kiai Ustadz Ulama manapun, Habaib dan Auliya dari zaman apapun. Bahkan itu semua memang bukan “bagian penugasan” kepada para Sesepuh yang saya takdhimi misalnya Syakhona Kholil, Mbah Hamid, Mbah Ud, Imam Lapeo, bahkan juga tidak dari para Imam Madzhab Islam. Jangan pula lantas menyangka Simon adalah seorang Waliyullah dengan spesialisasi “fakultas karamah” tertentu. Sahabat saya itu “hanyalah” manusia dengan otentisitasnya, kesejatian, dan kesuciannya.

Kadipiro Yogya 24 Oktober 2021.

Lainnya

Topik